April 2006.
Sesaat kemudian, sekumpulan remaja yang barusan memenuhi lahan parkir di area ini langsung tercerai berai. Riuh suara yang tercipta dari tiap-tiap lisan terlontar membuat sebuah kegaduhan, cukup mengganggu di telingaku. Bukan aku tidak suka keramaian, tetapi ini semua karena rasa yang telah membuat hati ini begitu tidak nyaman.
Sungguh rasa kecewa yang kurasakan lebih dari apa pun yang dapat ditoleransi saat ini. Batinku seolah terus berontak, mempertanyakan apa yang telah seorang Nadine lakukan kepada Shinta, sahabat yang telah menjadi kekasih hati ini sejak lama.
“Masih kepikiran ya, Tam?” tanya Talita pelan.
Aku mengangguk. “Bohong kalo aku gak kepikiran, Lit.
“Begonya, aku baru sadar sama perasaan aku sendiri saat Shinta ngomong begitu tadi pagi,” ujarku pelan, merasa menjadi orang paling bodoh telah menyia-nyiakan segenap perasaan cinta Shinta yang begitu luar biasa.
Talita tersenyum seraya menggenggam tanganku yang saat ini begitu kelu. Entah apa yang kurasakan kini. Namun, aku benar-benar tidak dapat mengungkapkan apa pun yang saat ini bergejolak di dalam dada. Segenggam sekam emosi terus-menerus membakar rasa yang telah lama pergi untuk gadis bernama Nadine; mungkin saat ini telah merasa di atas angin.
Talita lalu memimpin langkahnya. Pagutan jemarinya masih terasa begitu hangat di kala dinginnya udara Maribaya pagi ini. Kuikuti kemana derapnya menuju, raga ini hanya menjadi pengikutnya kini; membenamkan diri dalam lautan kekecewaan yang entah bagaimana aku harus ungkap lagi. Sesak rasanya hanya dapat melihat gadis tercinta dipagut jemarinya oleh laki-laki yang sebenarnya tidak ia cintai.
Namun, apa yang dapat kulakukan untuk dapat membuat Shinta menjauhi Agung?
Apa yang harus kulakukan selain hanya bisa menatap lekat-lekat keindahan gadis itu mulai terlihat sirna di antara redupnya cahaya sang Sol yang diselimuti mega?
Bagaimana caranya menjauhkan mereka di bawah gadengan kumulus di atas kami yang seolah menakut-nakuti dengan suara gemuruh pelan, terdengar sedikit menentramkan di pagi ini?
Tak henti-hentinya celotehan manja Talita menggelitik indraku. Senyumannya yang begitu manis bahkan dengan mudah kutepis di dalam hati. Tidak ada hal yang lebih menenangkanku selain melihat Shinta. Sesekali gadis itu masih mencuri pandangnya, meletakkan ekor matanya ke arahku meskipun hanya sedetik-dua detik.
Ia terus saja menyunggingkan senyum yang selalu kurindukan, bahkan saat ini berada di perimeter ini.
“Sorry, Lit,” ujarku pelan, “aku bener-bener gak bisa berenti mikirin Tata.”
Talita lalu menghentikan langkahnya. Ia menolehkan wajah manisnya ke arahku seraya menyunggingkan senyuman yang begitu indah. Rasanya begitu fana di antara pagutan kedua tangannya di antara jemariku. Tidak ada kata-kata yang teruntai dari lisannya, tetapi aku benar-benar mengerti apa yang coba ia siratkan di sepasang bibir tipis merah muda miliknya. Ia benar-benar tidak pernah menyerah untuk menarikku dari kehancuran ini entah apa yang menjadi dasar ideologinya.
“Kamu gak marah, Lit?” tanyaku pelan, menghela napas pendek seraya memandang ke arah mata cokelatnya yang begitu indah.
Ia menggeleng pelan, masih dengan senyuman yang sama. “Gak ada sedikit pun aku marah sama kamu, Tam.
“Justru aku mau coba bikin kamu ngerti, kalo masih ada orang yang peduli sama kamu sekarang.” Talita lalu menurunkan pandangannya, menyembunyikan air mukanya yang sempat berubah sesaat sebelum ia menundukkan kepalanya.
“Aku adalah salah satunya.”
Ucapannya seketika membuatku terperanjat setengah mati. Gadis ini sukses membekukanku dalam bahasa tubuhnya yang selalu menyapa penuh dengan kelembutan. Sekali lagi, aku terdiam di dalam bisunya lisan Talita; teruntai di antara tatapan tulus; diiringi senyum yang mengembang seolah tak pernah lelah untukku.
“Kenapa harus kamu, Lit?” tanyaku pelan.
Kuhela napas panjang, tak pantas rasanya sosok seanggun Talita harus menyerahkan segenap perhatiannya kepada diriku yang begitu hina ini.
“Kenapa harus aku yang kamu peduliin?”
Gadis itu masih memandangku. Senyumannya begitu indah membuatku tidak dapat mengujarkan satu patah kata pun. Kecuali perasaan sesal yang makin lama makin menumpuk; menambah sesak tiap helaan napas yang teruntai ketika waktu yang begitu berharga ini seolah berhenti.
Ia menggeleng pelan, tetapi pasti. Sepasang Labia oris-nya pun sedikit terbuka, selayaknya hendak mengujarkan sesuatu. Namun, segalanya hanya diakhiri dengan helaan napas panjang. Aku bisa melihat dadanya terlihat turun begitu pelan dan akhirnya senyumannya pun sirna.
Hanya pandangan penuh elegi yang tampak dari sepasang matanya, begitu tajam menghujam hatiku.
“Apa kamu pernah tanyain itu, Tam?
“Apa kamu pernah tanyain, kenapa kamu begitu jatuh cinta sama Aerish?”
Pagutan tangannya makin menguat. “Kamu tanya ke diri kamu sendiri, kenapa kamu begitu merendahkan diri kamu ke Aerish?”
Tidak ada lisan yang dapat kusenandungkan untuk mematahkan lantunan Talita barusan. Hanya gelengan pelan dan helaan napas panjang yang bisa kuberikan untuk menjawab pertanyaan gadis itu.
“Kamu juga enggak bisa jawab, kan? Sama, Tam.
“Kalo kamu tanya apa, ato kenapa, aku pun enggak bisa jawab. Cuma hati aku yang tahu dan aku gak bisa ungkapin itu ke kamu.”
Mungkin aku terlalu naif, menganggap apa-apa harus menuruti logika. Padahal siapa yang bisa mengatur hati yang berkehendak untuk mencinta?
“Maafin aku, Lit. Aku emang bego,” ujarku penuh sesal yang tercipta begitu saja saat pandangan Talita terhentak melihat ke arahku. “Aku gak bisa tahu apa yang terjadi di luar Aerish.”
“Gak gitu, Tam,” ujar Talita pelan.
Aku menggeleng. “Aku paham, Lit, makasih udah ada buat aku, meski mungkin aku gak pernah anggap itu.
“Makasih udah kasih aku semangat, meskipun aku baru paham sekarang.”
Gadis itu langsung menundukkan pandang. “Maafin aku, Tam.”