April 2006.
“Tam, ada yang dateng,” ujar Talita pelan.
Shinta langsung melepas dekapannya, memandangku dengan tatapan yang begitu berbeda seraya tersenyum dan menjauhiku. Ia lalu mencari tempat untuk bersembunyi, seraya suara derap langkah kaki terdengar begitu jelas saat kuarahkan wajahku ke atas.
“Talita, Tama!” panggil suara itu, “ngapain kalian di sini?”
“Bu Teana,” ujar Talita, sementara aku hanya menghela napas.
“Cepet naek, udah pada ditungguin buat makan siang juga.”
Aku hanya memandang ke arah Talita dan Shinta, kuanggukkan kepalaku pelan seolah merestui mereka untuk segera menyusul Teana yang saat itu hanya memandang kami dengan tatapan yang begitu tajam. Tetapi sungguh apa yang ia lakukan tetap tidak mengubah apapun pendirianku untuk tetap berdiri di sini, bergeming dan menikmati suasana Maribaya yang masih begitu asri.
“Kamu gak naik, Tam?” tanya Teana, nadanya begitu berbeda saat ia berjalan turun ke arahku.
Tanpa kuarahkan ujung mata ini kepadanya, aku hanya menggeleng pelan, menghela napas begitu panjang seraya menunggu bahwa guru UKS ini tengah berjalan pelan ke arah raga ini. Aroma tubuhnya yang begitu khas bahkan bisa terasa sejak ia berada jauh dari perimeterku saat ini.
“Emang penting ya, nyuruh Shinta sama Lita naek?” tanyaku datar, sejurus gadis itu sudah berada di sebelahku, menyandarkan kedua tangannya di atas pembatas dan membungkukkan sedikit badannya.
“Enggak sebenernya,” ujarnya lalu tersenyum, memandang ke arahku dengan tatapan yang tidak kumengerti sedikitpun, “cuma pengen menyendiri aja.”
“Sama kayak kamu, suka ke perpus cuma buat ngilang dari orang-orang.”
Aku memandang ke arahnya, “beda Kak.”
Ia tersenyum lebar saat aku memanggilnya dengan sebutan itu, sejurus ia terlihat menghela napas panjang memandang mengikuti ekor mataku. Ia tampak nyaman berada di sana, padahal aku tahu benar, gadis ini tidak pernah menyukai berada di tempat seperti ini.
“Bukannya, Kakak gak pernah suka ya, sendirian di tempat yang sepi gini?” tanyaku, tanpa menoleh ke arah gadis itu.
“Emang enggak,” ujarnya singkat, ia tampak menghela napas, “tapi udah jadi tugas aku kan buat mastiin anak-anak yang ikut acara ini baik-baik aja.”
Aku mengangguk, menyetujui tanpa mengatakan sepatah katapun kepada gadis itu. Ia hanya memandangku dengan tatapan sedikit heran seraya tersenyum. Sungguh aku masih belum mengerti tentang arti senyuman gadis itu hingga akhirnya keheningan kembali menyelimutiku di antara dinginnya udara Lembang siang ini.
“Udah ah,” ujarku singkat seraya memandang ke arah Teana, “aku mau balik.”
“Eh Tam,” ujar gadis itu, menahan tanganku seraya memandangku dengan serius, “kamu ada masalah apa sama Nadine?”
Kuhela napas panjang seraya menggelengkan kepala, “aku sih gak punya masalah.”
“Gak tau kalo dia.”
Aku lalu tersenyum kepada guru penjaga UKS yang bahkan lebih sering berada di perpustakaan ketimbang di tempatnya berada seharusnya, “mendingan kita makan siang aja Kak.”
Ia hanya mengangguk lalu berjalan mendahuluiku, “aku duluan ya Tam.”
-=o0o=-
Sang Sol terus saja bersembunyi di balik mega, hingga tidak terasa jam di tangan kananku menunjukkan pukul lima-belas-lewat-tiga-puluh-menit. Suasana terasa semakin syahdu ketika angin semilir terus mengusap tubuhku dengan manjanya, seolah ada pesan yang ingin disampaikan oleh alam kepada kami.
Harum dedaunan yang terendus indraku memberikan sebuah sinyal yang begitu kukenal, ya ini adalah harum air hujan yang biasa menyapa seraya embusan angin menerpa dedaunan, menciptakan simfoni gemercik alam yang begitu kurindukan ketika butiran langit akan segera membasahi bumi.
Aku termenung, menyendiri, menyingkirkan diriku dari hiruk pikuk remaja yang sesekali memecahkan gelak tawa di antara satu dan lainnya. Sesekali aku memandang ke arah Shinta yang saat itu tampak menyadari keberadaanku di sini. Hanya senyum simpul yang ia berikan seraya sorot mata teduh namun penuh makna yang selalu ditunjukkannya kepadaku.
Hanya anggukan ringan yang kuberikan kepadanya, salah-salah nanti Agung akan menyakitinya lagi. Bisa apa lagi aku selain memperhatikan gadis yang begitu kujaga sejak dahulu dari kejauhan? Sungguh aku begitu merasa terhina, tidak mampu lagi rasanya untuk memendam perasaan seperti ini di depannya.
“Bengong aja kamu,” ujar Talita, tiba-tiba sudah duduk di sebelahku.
Aku tersenyum, “gak bengong lah, aku lagi merhatiin Shinta aja.”
“Udah tau kali,” ujar Talita, suaranya yang begitu lembut, “lagian dari tadi kayaknya gak semangat banget kayaknya kamu Tam.”
Aku hanya menggeleng, tersenyum kepada gadis itu, seraya menghela napas cukup panjang. Entah apa yang harus kujelaskan kepada gadis ini, yang pasti tidak ada hal yang dapat kukatakan tentang apa yang kurasakan semenjak aku menginjakkan kaki di tanah Parahyangan kemarin.
Semuanya terasa bagaikan sebuah tetesan keajaiban yang menyentuh kalbuku dengan begitu lembut, membuka segala pandanganku tentang cinta yang selama ini tidak pernah kuakui. Perasaanku memang hanya tertutup untuk Aerish, menampikkan segenap perasaan yang seharusnya berada di sekelilingku kini.
“Aku gak ngerti Lit,” ujarku pelan, kugelengkan kepalaku seraya memandangnya di akhir lisanku, “kenapa ini semua kerasa begitu tiba-tiba dateng.”
Talita menyunggingkan senyuman indahnya, “gak tiba-tiba Tam, kamunya aja yang gak peka.”