April 2006.
“Boleh Nadine jujur tentang banyak hal sama Tama?”
Aku menghela napas, suatu hal yang pasti kutahu dari lisannya adalah sebuah ketulusan jauh dari retorika harga diri yang selalu ia bawa-bawa saat berbicara di depanku. Tampak setiap frasa yang terlontar barusan berisi beban tentang apa yang ingin ia utarakan saat ini.
Aku tidak mengiyakan apa pun pernyataannya barusan, hanya deretan sunyi yang masih mengunci lisan-lisan kami di antara distorsi gemuruh yang sahut menyahut; seraya kilatan cahaya yang tampak sesekali menyambar; menggelegar bergema di seluruh lembah; memberikan sebuah suasana yang sangat berbeda saat aku berada di antara kedua gadis ini.
“Tentang apa Nad?” ujarku memecah keheningan yang diisi suara curahan mega yang tampak tidak terputus sejak tadi. “Kalo cuma tentang hal gak penting, mendingan gak usah.”
“Shinta,” ujarnya singkat, ia lalu menjatuhkan tubuhnya, berlutut di depanku seraya memagut kedua tanganku begitu erat.
“Maafin Nadine, Tam,” hiba gadis itu seraya terdengar isak yang begitu pilu menjelajah ke setiap sudut gubuk ini.
“Kenapa sama Shinta, Nad?” tanyaku, tetap dalam kesombongan untuk tidak menelusup jauh ke dalam penyesalan yang tampak begitu tulus dari seorang Nadine Helvelina saat ini.
“Aku udah banyak jahat sama Shinta,” ujarnya lalu memandangku, air matanya menganaksungai di kedua pipinya. “Aku sengaja pake Agung buat jauhin kamu sama Shinta, karena aku cemburu ngeliat kamu sering ketawa bareng Shinta dari SMP.
“Hal yang gak pernah Nadine dapetin saat Nadine ada di samping Tama,” ujarnya lagi, “maafin Nadine Tam, maafin Nadine.”
Aku tertunduk, semua ungkapan tulusnya benar-benar sukses merobek hati yang saat ini sedang gundah karena keegoisannya. “Kamu sadar gak, betapa Shinta itu berarti buat aku?” Kamu tahu gak, kalo Shinta itu lebih dari seorang sahabat buat aku?
“Aku rela berkorban apa pun, yang penting Shinta bahagia,” ujarku lagi, “tapi kalo kamu halangin kebahagiaan Shinta, berarti kamu udah halangin kebahagiaan aku juga.”
“Maafin Nadine, Tam,” ujarnya lirih seraya dekapannya benar-benar erat. “Maafin Nadine.
“Maafin keeogisan Nadine yang udah halangin Shinta buat sama Tama,” ujarnya begitu pilu. “Nadine gak tahu kalo Tama segitu sayangnya sama Shinta.
“Nadine sadar, kenapa Tama jadi jutek akhir-akhir ini. Nadine tahu kalo Tama udah denger semua cerita dari Shinta, dan Nadine akuin itu semua salah Nadine,” hibanya seraya mendekapku dengan sangat erat. “Nadine minta maaf banget sama Tama.”
Ia begitu bersungguh-sungguh, aku bisa merasakan di setiap aliran darahnya yang terasa begitu menggetarkan kalbu kini. Kusambut dekapannya dengan pagutan tanganku di punggungnya, entahlah apakah ini yang ia butuhkan, tetapi hanya ini yang kutahu bisa menenangkannya.
Sama seperti tahun lalu, di bawah guyuran hujan tiada akhir, mengalunkan harmoni alam yang menyiratkan kedamaian di setiap tetesan curahan langit. Di dalam hangat dekapan Nadine, aku kembali mengingat apa yang sudah terjadi dalam satu tahun perjalanan hidupku bersamanya. Sebuah masa yang juga tidak pernah bisa hilang imajinya dari dalam kepala.
“Nadine janji, Nadine gak akan jahat lagi sama Shinta. Tapi Nadine mohon sama Tama, jadilah Tama yang kayak biasanya, Nadine gak mau Tama jadi kayak gini,” hiba gadis itu, terisak begitu pilu, di dalam syahdunya suasana saat ini.
Tidak ada frasa yang ingin kuungkapkan kini, hanya helaan napas begitu berat saat aku mendengar semua lisan dari Nadine. Aku beradu pandang dengan Talita, saat ini hanya menatapku lekat-lekat di atas senyuman getir yang berbeda dari biasanya.
Ia sedikit tertunduk, aku tahu bahasa tubuh itu.
“Okay,” ujarku pelan, “okay, gue maafin lo.”
“Tapi untuk saat ini, gue gak mau ketemu lo dulu, bisa?”
Gadis itu lalu mendekapku lebih erat. “Nadine tau, ini salah Nadine, tetapi kenapa harus gak ketemu?”
Aku menghela napas pendek. “Sama kayak lo, jagain gue biar gak ketemu sama Shinta kan?”
“Kalo lo tega ngelakuin itu ke Shinta, harusnya lo mikir gue juga bisa ngelakuin itu ke lo,” ujarku ketus, sungguh aku benar-benar kecewa dengan apa yang telah gadis itu lakukan kepadaku.
Kali ini, tidak ada frasa yang terlontar dari lisan Nadine. Hanya hening suara helaan napas terdistorsi dengan gemuruh alam yang bersahutan di balik derasnya air. Benar-benar tidak menampakan akan berhenti dalam waktu dekat.
Pagutan kedua lengannya terasa makin erat di pundakku, seolah-olah berusaha meluluhlantakkan kerasnya rasa kecewa yang telah mengkristal karena satu persatu perlakuannya. Aneh rasanya, didekap seorang gadis yang seharusnya bisa menjadi teman yang begitu hangat nan setia. Namun, yang kurasakan saat ini hanyalah sebuah perasaan hampa yang tidak bertepi.
Gadis itu ada di dekapku, sangat erat dengan tubuhku. Namun, aku merasakan bahwa Nadine yang ada saat ini hanyalah bayang semu yang makin lama presensinya makin menghilang, tidak meninggalkan jejak apa pun di hatiku.
Kecewa, ya itu yang aku rasakan saat ini.
“Tam,” panggil Talita, “maaf sebelumnya, bukannya aku mau belain Nadine.”
“Tapi kayaknya kamu terlalu berat ngehukum Nadine kalo sampe kamu gak izinin dia ketemu kamu lagi,” ucap Talita terdengar sayup, begitu sendu seraya pandangan mata nanarnya menatapku, seolah-olah menceritakan bahwa gadis ini berempati dengan apa yang dialami oleh Nadine.
Entah mengapa, seolah-olah aku tidak terima dengan apa yang telah ia lakukan kepadaku. Kata-kata itu terus menerus menggema di kepala; terus menyudutkan Nadine dengan segala macam keburukan dan kesalahan yang telah ia perbuat.
“Apa pun akan Nadine lakuin,” ujar Nadine lirih di telingaku. “Apa pun akan Nadine lakuin buat Tama.
“Asal jangan gak ketemu sama Tama,” ujar Nadine lagi. “Nadine gak bisa diginiin sama Tama.”
Aku menghela napas panjang, mencoba berdamai dengan pergulatan hati, terus saja menggelontorkan segenap energi untuk menata hatiku yang saat ini begitu berantakan. Entah apa yang ingin kukatakan kepada gadis itu. Entah apa yang ingin kusampaikan dari lisanku. Namun, memilih untuk diam adalah hal yang paling tepat untuk saat ini.
“Buat gue,” ujarku pelan, “Tata adalah segalanya Nad.
“Gue kenal Tata dari gue kelas 2 SD dan buat gue, Tata lebih dari sekadar sahabat,” ujarku lagi, “dia udah gue anggap kayak pacar gue.
“Bahkan lebih,” ujarku lalu menatap ke arah Talita yang hanya memandangku dengan tatapan nanar di balik temaramnya gubuk ini.
“Apalagi,” ujarku singkat seraya menjauhkan tubuhku dari Nadine. “Sekarang aku udah jadian sama Talita.”
Tidak ada kaget terpancar dari raut wajah Nadine saat ini, ia hanya bisa memandangku dengan senyuman yang mengambang ketika tanganku merangkul tubuh Talita.
Ia bahkan mengangguk perlahan ketika Talita sedikit salah tingkah dengan apa yang kulakukan kepadanya saat ini.
Tidak banyak intensitas cahaya yang menelusup dari celah-celah kecil yang ada di gubuk ini, hanya beberapa ratus lumens saja, tetapi aku bisa lihat dengan jelas raut wajah Nadine yang berubah. Senyuman mengambangnya pun ikut hanyut bersama dengan derai curahan air langit yang terus menerus menikam tanah, jelas terlihat limpahan air mata yang menganak sungai di pipinya.
“Sedih ya,” ujar Nadine, terisak seraya memandang ke Talita yang tampak gelisah saat pundaknya kurangkul begitu erat.