April 2006.
Satu masa telah dilewati.
Hujan sejak tadi siang berhasil mengubah seluruh agenda hari ini. Sore yang seharusnya digunakan untuk acara di lapangan wisma harus ditunda pada esok pagi. Para guru pun masih terus berdiskusi apakah dengan kondisi seperti ini masih relevan pergi ke Bosscha.
Aku hanya termenung sendirian di sudut wisma ini, menghabiskan waktu demi waktu hanya memandang ke arah hamparan pepohonan di bagian belakang bangunan. Sesekali angin dingin yang menusuk membangkitkan bulu romaku, tetapi detik demi detiknya masih terus kunikmati.
Kawanan mega mendung perlahan mulai merangkak menjauhi cakrawala Lembang, membiaskan pendaran sayu sang Sol yang tampak perkasa berwarna jingga di ufuk barat.
Hujan perlahan masuk ke mode intermediate, meninggalkan aroma petrikor yang sangat membius saraf sadarku kini. Berulang kali hati ini menyebut, mengangungkan seluruh nikmat dari Sang Jabbar yang benar-benar tidak dapat kuungkapkan dengan frasa apa pun.
Waktu masih terus berlalu sombong, bahkan tiap embusan napas yang terbuang percuma ini tidak dapat menghentikan lajunya walaupun hanya satu mikro detik.
Aku masih saja bergeming di sini, menikmati curahan sang Sol yang makin hangat mendekap sore di Kota ini.
“Tam,” panggil suara lembut itu seraya derap langkahnya terdengar mendekatiku.
“Lit,” sahutku tanpa menoleh ke arahnya, seraya gadis itu duduk di sebelahku.
“Kamu lagi apa sayang?” tanya gadis itu manja.
Sungguh rasanya runtuh seluruh tubuhku ketika mendengar desah manja suara Talita memanggilku barusan. Entah seperti apa wajah gelapku di mata seorang gadis sekaliber Talita.
Panas rasanya di sekujur mukaku. Seraya napas menderu ditambah dengan denyut jantung yang begitu cepat seolah-olah menambah gugup diriku di depan Talita yang memandang dengan wajah memerah.
“Kamu lucu deh.” Ia tertawa kecil seraya memandangku. “Padahal dari tadi pagi udah ngelakuin segala macem.”
Kuhela napas panjang. “Tetep aja, rasanya pas kamu panggil sayang tadi, kayak ada yang beda aja.”
“Beda gimana deh?”
Aku memandangnya. “Seumur hidup aku, gak pernah ada yang manggil sayang.”
“Shinta?” tukas Talita.
Aku menggeleng ringan. “Kan aku udah bilang, dia itu sahabat aku.”
“Sekarang jadi cinta?” ledek Talita seraya tertawa kecil.
“Sebenernya udah lama sih aku sadar,” ujarku seraya melempar pandang ke arah horizon yang tertutup bukit. “Getarannya aku udah sadar.
“Tapi aku gak mau salah arti.” Aku lalu memandang ke arah Talita. “Bahkan ke kamu.”
Ia mengernyitkan dahinya, memandangku begitu heran. “Maksud kamu?”
“Aku dulu sempet mikir pas awal kelas X, kalo,” ujarku ragu.
Suasana mendadak hening saat frasa terakhir itu kulontarkan. Talita terus memandangku dengan penasaran, seolah-olah ia ingin mengetahui apa-apa yang ada di benakku saat ini.
“Kalo apa ih?”
Kuhela napas pendek. “Sorry, Lit. Aku sempet mikir kalo kamu naksir aku pas kelas X dulu. Tapi gegara gosip Aerish sama Nadine terus kamu mundur.”
Talita lalu memandangku dengan sorot mata yang berbeda. Air mukanya berubah seraya helaan napasnya menderu, dadanya naik turun dengan cepat dan ia pun perlahan menjauhiku.
Tidak ada respons apa pun dari gadis itu. Ia hanya memandangku dengan tatapan yang tidak pernah kusuka. Sebuah tatapan tajam yang terlihat mengintimidasi karena kesalahan frasa yang kuucapkan barusan.
“Lit, maaf kalo aku salah ngomong.”
Ia menggeleng. “Enggak lah.”
Ia lalu tertawa kecil. “Kalo kamu tahu, kenapa kamu gak nembak aku gitu?”
Apa-apaan gadis ini?
Mengapa ia malah melontarkan pertanyaan yang tidak mungkin kujawab.
“Aku sadar diri, aku bukan cowok populer macem Lingga,” ucapku seraya memandang ke arahnya. “Dari pas masih MOS kan juga dia keliatan naksir tuh sama kamu.”
“Kenapa Aerish?” tanyanya lagi.
Kuhela napas pendek. “Jujur, kamu itu ketinggian Lit.”
Sebuah pukulan ringan nan manja mendarat di lenganku. “Ngeledek banget sih kamu. Aku sama Nadine aja tinggian Nadine.”
Aku tertawa kecil. “Yee, bukan tinggi badannya Lit.”
“Terus apa dong?”
Aku tersenyum kepadanya. “You just too perfect.”
“Apanya?”
“Everything on you,” tukasku.
“Kamu pinter, kamu cantik, kakak kelas seantero sekolah banyak yang nyuratin kamu. Bahkan sekarang adik kelas juga ikut-ikutan nyuratin kamu.
“Aku sadar diri, dengan segala kekurangan aku.”
Ia lalu tertawa lepas. “Enggak gitu dong, sayang. Tapi kamu sadar gak sih, kalo aku sering ngeliatin kamu pas SMP?”
Aku menggeleng cepat. “Aku itu gak pernah tau dan gak mau tau. Meskipun kamu duduk di sebelahnya Shinta.”
“Cantikan mana aku sama Shinta?”
Aduh gadis ini.
Mengapa ia bertanya hal-hal yang sulit untuk kujawab?
Membandingkan dirinya dengan Shinta ibarat membandingkan dua segmentasi mobil EU yang berbeda kelas. Kalau kata orang-orang not apple-to-apple. Aku tidak mungkin menceritakan preferensiku terkait mana yang lebih cantik.
“Harus ya aku jawab?”
Ia menangguk cepat. “Jawab dong, sayang.”
Kuhela napas panjang seraya memandang ke arah rembang petang yang makin jingga di ufuk barat, menyisakan kehangatan yang terus mendekapku dengan romansa sang Sol.
“Tiap wanita punya sisi kecantikan yang berbeda. Gak ada seseorang lebih superior dari orang lain,” ujarku dengan segala ideologiku.
“Termasuk masalah kecantikan.”