April 2006.
Aku sungguh tidak peduli dengan apa-apa yang terjadi saat ini. Mata-mata mereka seolah-olah memandang curiga kepadaku yang saat ini merekrut tiga orang gadis yang sedari awal kegiatan ini sudah berada di perimeter.
Masa bodoh.
Sejurus ketika iring-iringan siswa mulai memasuki bus yang telah berjejer rapi dan berlomba-lomba membakar tak sempurna rantai panjang hidrokarbon dalam mesin terkompresi; dilengkapi dengan induksi udara terpampatkan yang berasal dari putaran turbin yang diputar oleh tekanan gas buang, beberapa kali Agung mencoba untuk menghadangku dengan menggunakan teman-temannya.
Namun, usahanya bak menegakkan benang basah saat acapkali mereka selalu kepergok oleh guru yang mendampingi kami. Hanya ada pandangan sinis terlontar dari sorot mata Agung yang saat ini pergi dengan bus lainnya.
Sementara tim kecilku naik bus pertama menuju ke observatorium terkenal peninggalan Hindia Belanda itu. Setidaknya Shinta dalam kondisi aman untuk beberapa saat.
“Kenapa kamu milih Shinta, Tam?” tanya Pak Adrian, salah satu guru pembimbing olimpiade astronomi yang sekaligus guru matematikaku.
Enggan rasanya untuk menjawab apa yang sesungguhnya terjadi. Bahkan sedetik pun tidak terbesit untaian pernyataan yang sadik mengapa aku memilih Shinta yang bukan berasal dari kelas unggulan. Namun, pandangan mata Pak Adrian sungguh menginterogasiku di temaramnya cahaya kabin bus pabrikan Swedia yang sedari tadi melahap ringan tikungan menurun menuju ke Bosscha.
“Shinta itu sahabat saya, Pak,” tukasku ringan.
“Sahabat apa pacar?” timpal Pak Adrian yang memang sedari dahulu bisa sekadar membaca gerakan mikro para siswanya. Bahkan banyak di antara mereka yang menunjuk Pak Adrian sebagai mentor hati ketika dalam keadaan gundah.
“Shinta pernah cerita ke Bapak?”
Tidak ada jawaban dari lisan Pak Adrian, ia mengambangkan senyuman yang kuartikan sebagai afirmasi dari dirinya.
“Pacar sih bukan, Pak,” ujarku pelan, “dia lebih dari sekadar pacar buat saya.”
“Kayaknya jodoh nih kalian,” ujar Pak Adrian seraya menepuk-nepuk pundakku. “Jawabannya sama soalnya.”
Aku tersenyum. “Jodoh urusan Sang Malik, Pak. Tapi kalo berusaha ke sana ya pasti ada aja jalannya.”
“Jadi alasan kamu cuma karena hal itu?”
Aku menggeleng pelan. “Saya kenal Shinta dari kelas 2 SD, Pak. Dia selalu tahu instruksi apa yang ada di kepala saya, tanpa saya harus minta.
“Buat saya, kerjasama tim bukan hanya ngumpulin beberapa ahli, tetapi harus ada juru bicara yang bisa merepresentasikan tim tersebut.”
Pak Adrian mengangguk-angguk tanda menyetujui apa-apa yang menjadi ideologiku barusan. Sedikit pun, tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, langkah ini langsung terpimpin ke tempat di mana timku duduk pada barisan ketiga. Dari kelima orang yang kupilih, hanya Dino lah yang kurang akur.
Bukan tanpa sebab, ia adalah orang yang tidak pernah menyukaiku sejak SMP. Namun, selama masa itu aku tidak pernah berada satu kelas dengan Dino. Semesta baru merestui pertemuan kami pada kelas X SMA.
“Sekarang bagi tugas deh,” kata Nadine seraya aku berkumpul lagi bersama mereka.
“Ini modul yang dikasih Bu Siti tadi,” ucap Nadine seraya menyerahkan enam kertas yang dicetak bolak-balik untuk kami pelajari.
“Yaudah,” ujarku singkat.
“Gue sama Shinta bagian bikin presentasinya,” tukasku cepat karena membaca bagian belakang modul tersebut.
Modul ini dibagi ke dalam tiga bagian.
Sepertiga awal bagiannya merupakan instruksi penggunaan teleskop yang menurutku cukup rumit, mengingat ukurannya cukup besar; sepertiga berikutnya adalah daftar konstelasi yang terlihat di langit pada bukan April; dan sepertiga terakhir adalah tugas kami sebagai pengamat.
Tidak rumit sebenarnya, hanya mencocokkan rasi bintang yang berada di langit dengan daftar yang diterima dan membuat laporan berdasarkan pengamatan tersebut dalam bentuk lembaran presentasi digital dan akhirnya akan dijadikan bahan untuk teman-teman yang lainnya berdiskusi pada pekan depan di kelas masing-masing.
Sebenarnya rencana awalnya adalah masing-masing kelas dibagi dalam empat kelompok sehingga mereka memiliki laporan masing-masing. Namun, pihak Bosscha menolak karena tentunya akan rumit apabila membiarkan 16 kelompok melakukan pengamatan, sehingga sekolah memutuskan untuk menyerahkan tugas itu kepada beberapa siswa saja.
Mereka meminta siswa yang pernah mengikuti olimpiade astronomi. Kebetulan aku dan Arman adalah siswa yang mengikutinya. Persyaratan itu pun disetujui oleh pihak sekolah.
Tidak butuh waktu lama bagi raksasa Swedia ini tiba di tujuan. Otot-otot momen puntirnya begitu perkasa melahap aspal Lembang hingga naik ke tujuan kami di Bosscha. Sejurus ketika kami tiba di depan obsevatorium itu, petugasnya sudah menyambut kami.
Udara dingin Lembang terasa begitu syahdu menusuk kulitku, cahaya temaram yang berasal dari lampu taman yang berwarna kuning justru menambah romansa malam yang cukup cerah ini. Ekor mataku tidak pernah lelah memandang ke arah langit, di mana bintang bertaburan laksana permata yang disebar di atas permadani hitam nan indah.
Pandangan ini pun tidak terdistorsi dengan polusi cahaya, mereka begitu jauh berada di bukit seberang. Sungguh romantisme malam yang tidak dapat diungkapkan selain dengan melantunkan pujian yang begitu tinggi kepada Sang Malik yang menciptakan triliunan bintang di jagat raya; saling bersinergi di garis edarnya masing-masing bersamaan dengan gerakan gravitasi yang tetap menjaga mereka di tempatnya.
Berulang kali aku memuji keindahan ini, keindahan yang tentu saja diciptakan dan bukan terjadi begitu saja. Zat Omnipotent tersebut pastilah Sang Alfa dan Omega, Sang Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna.
Berulang kali aku merendahkan diri ini, kami manusia adalah makhluk yang begitu kecil apabila dibandingkan dengan apa-apa yang ada di alam semesta ini. Seperti yang diketahui, Sol adalah bintang terdekat yang menjadi pusat revolusi bumi, tetapi itu jauh kecil ketimbang Sirius.
Bagaimana dengan raksasa Betelgeuse atau Antares?
Terlebih bagaimana dengan raksasa merah ~M6 pada spektrum Hertzsprung-Russell bernama Stephenson 2-18 yang memiliki radius 2.150 kali radius Matahari?
Bukankah itu amatlah besar?
Apakah arti manusia dibandingkan itu semua?
Kami manusia adalah makhluk kecil nan sombong, sedikit ilmu tanpa iman di dalam hati tentu akan sukses menaikkan pengakuan diri bahwa kita lebih superior ketimbang orang lain. Sungguh aku menyesal sudah memandang rendah Nadine tadi siang, menyadari bahwa raga ini adalah makhluk kecil nan lemah, tetapi sombong.