April 2006.
Tenggelam dalam perayaan cinta yang salah ibarat terhisap ke dalam lubang hitam. Seperti diketahui, blackhole atau lubang hitam adalah benda angkasa yang memiliki massa begitu berat dalam bentuk begitu kecil. Sebuah micro-blackhole berukuran 100 mikrometer dapat memiliki berat hampir seberat massa bulan.
Gravitasi didapatkan dari sebuah benda yang memiliki massa yang begitu tinggi sehingga mampu mempengaruhi apa pun yang berada di sekelilingnya. Bahkan, hanya gravitasi yang memiliki kecepatan yang sama dengan cahaya dan bisa membelokkannya.
Dengan demikan, karena dahsyatnya gravitasi sebuah lubang hitam, maka tidak akan ada yang mungkin bisa lolos dari jeratannya.
Tidak ada cara lain untuk keluar dari lubang hitam; selain melaju lebih cepat dari cahaya dan atau memutar balik waktu hingga sebelum berada di event horizon.
Keduanya tidak mungkin dilakukan.
Begitulah apabila kita terjebak dalam godaan fana perayaan cinta yang salah. Tidak ada upaya untuk dapat keluar dari lezatnya melakukan lagi dan lagi, kecuali sebuah niat kuat dan tekad abadi untuk bisa keluar dari itu semua.
Bahkan untuk sekadar berada di luar event horizon.
Hal itu akan tetap menjebak dan sulit untuk keluar.
Waktu terus berlalu, layaknya rangkaian kereta api yang disuguhkan Semboyan 5, melaju begitu sombong dan tanpa ampun. Tak terasa keindahan fana ini berakhir, terhenti oleh masa yang sudah menunjukkan pukul 21.30, dan ini adalah saatnya untuk kembali ke bus.
Kami hanya beradu pandang antara hasrat dan kalbu yang berada di singularitas. Meninggalkan segenap rasa dan rahasia yang akan kusimpan rapat hanya untuk kami berdua.
“Lo kemana aja sama Talita, Tam?” tanya Andri sejurus saat kami mau naik ke atas bus ini.
Kulirik ke arah belakang kubah utama. “Dari tadi ngeliatin bintang sama Lita di sana.”
Talita yang saat mendekap erat lenganku hanya mengangguk dan tersenyum ke arah Andri. “Bagus loh, coba deh kamu ke sana.”
“Girang amat lo, Lit?” Andri keheranan dengan intonasi bicara Talita, menyiratkan kebahagiaan yang mungkin hanya ia sendiri yang tahu.
“Gimana gak girang,” ujarnya cepat, “coba deh kamu ngeliat bintang sama orang yang kamu sayang.”
Andri menggeleng cepat seraya memandangku sinis.
“Ngeledek aja lo, Lit,” Andri bersungut menanggapi lisan Talita.
“Masa kamu yang lebih ganteng dari Tama gak punya pacar?”
Ia menggeleng cepat sekali lagi. “Tama mah pake pelet.”
“Pelet ikan kali ye,” tukasku cepat.
Kami bertiga lalu tertawa seraya melangkahkan kaki ke atas bus yang sudah mulai disesaki dengan siswa kelas, termasuk Nadine dan Shinta yang sudah duduk di sana. Mereka menatap kami dengan pandangan yang berbeda dan diakhiri dengan senyuman yang saling bersambut dengan Talita.
Sungguh tidak ada seteru antara mereka bertiga. Hanya saja sebuah tatapan kurang bungah dari sorot mata Nadine saat aku melewatinya. Namun, sejurus ia langsung mengganti pandangan itu dengan senyuman yang pahit dan agak terpaksa.
Kuhela napas seraya membalas senyumannya dan langsung menuju ke bagian belakang bus ini.
Aku memilih untuk memisahkan diri dari mereka bertiga, bergabung bersama barisan lainnya yang berada di bagian belakang bus ini. Sejenak kunikmati empuknya jok penumpang seraya embusan blower Thermo King yang lembut menerpa wajahku dengan suhu beberapa centigrade lebih tinggi dari udara luar. Aku yakin kompresor piranti penemuan Michael Faraday yang lalu disempurnakan oleh Willis Carrier dan diaplikasikan oleh Ralph Peo pada kendaraan bermotor ini tidak menyala; hanya kipasnya saja yang tiada pernah lelah berputar.
Telah habis sudah rasanya waktu yang terlalui begitu manis bersama gadis itu barusan. Entah mengapa, kehangatannya benar-benar masih terasa hingga ke sekujur tubuhku.
Gadis itu.
Entahlah, semuanya terasa begitu istimewa.
Tidak ada hal biasa saja yang berada padanya.
Kuhela napas panjang seraya tersenyum sendiri mengingat apa-apa saja yang telah terjadi. Sungguh, aku tidak mendengarkan kabar miring yang sejak tadi hinggap di indra. Bahkan Nadine dan Shinta beberapa kali mengklarifikasi hubunganku dengan mereka.
Sudahlah, masa bodoh.
“Tam,” panggil Nadine seraya raksasa Swedia ini sudah menurunkan sedikit suspensi udaranya. “Bisa ngobrol sebentar berdua aja gak?”
Aku mengangguk pelan, seraya menggeser sedikit posisi dudukku. “Di sebelah gue aja.”
Ia tersenyum pahit. “Bisa keluar sebentar gak? Gue udah izin sama Kepsek.”
Denyut jantungku langsung melonjak bak turbocharged yang sedang spooling. Sungguh, segalanya langsung menaikkan adrenalin dalam pagutan lembut jemari mungil Nadine yang memimpin langkah untuk menuju ke suatu tempat.
Langkahnya begitu ringan seraya kami makin menjauh dari keramaian. Hanya ada rumah-rumah warga yang berjarak cukup jauh dan perjalanan kami terhenti di sebuah tikungan jalan yang langsung mengarah ke sebuah bukit dengan barisan lampu-lampu rumah penduduk yang bertebaran di sana.
Ada dua warung yang masih terlihat terbuka, tetapi tidak ada seorang pun pembelinya. Ia menghela napas lalu melangkah masuk ke sebuah jalan yang tidak dilapisi tarmak. Jemarinya masih begitu fasih memagut tanganku seraya terus berjalan memasuki kawasan ini.
Langkah kami terhenti di pekatnya pepohonan besar yang menutupi hampir seluruh pendaran cahaya, menyisakan hela napas Nadine, terdistorsi bersama dengan suara alam.
“Sorry,” ujar Nadine pelan, “bukan maksud gue bikin lo takut. Tapi gue gak tahan,” ujar Nadine.
Secepat kilat ia lalu memagut tubuhku, begitu erat.
Sungguh aku tidak dapat memungkiri bahwa aku cukup terhentak oleh sambaran tubuh gadis ini.
Aku dapat dengan jelas merasakan getaran demi getaran yang ditranslasikan ke raga ini.
Aku dapat dengan jelas mengendus harum tubuh gadis ini dengan indraku.
“Lo kenapa?”
Ia mendekapku lebih erat. “Gue kangen sama lo. Gue pengen malem ini abisin malem sama lo. Maafin gue kalo gue childish.”
Kuusap pelan kepala gadis ini. “Wajar, Nad. Semua orang gak ada yang mau disaingin, termasuk seorang Nadine Helvelina.”
Ia lalu merenggangkan pagutannya. “Maafin Nadine ya. Maaf atas semua keegoisan Nadine.”
Aku mengangguk pelan. “Gue juga minta maaf kalo tadi siang udah ngomong gitu sama lo. Gimanapun lo yang udah ada buat gue akhir tahun kemaren pas gue tifus. Buat gue itu udah cukup jadi bukti apa yang lo pendam ke gue dari SMP.”
“Tapi itu semua Shinta yang nyiapin,” ujarnya pelan, “bukan Nadine. Shinta yang nyiapin sampe lobby, tetapi Nadine yang rebut.”
Kuhela napas panjang. “Nad, gue gak peduli. Soalnya biarpun Shinta yang nyiapin itu, tetep lo yang jagain gue Nad.
“Lo yang nyuapin gue pas gue gak mau makan,” ujarku lalu memandang wajahnya yang hanya disinari pendaran cahaya temaram sang Luna yang menelusup di antara pepohonan.
“Lo yang ke suster pas gue muntah-muntah. Lo juga yang hubungin orangtua gue pas gue gak bisa apa-apa. Itu semua tetep berarti buat gue Nad.”