April 2006.
Lunglai rasanya aku berjalan menuju ke kamar setelah hikayat yang begitu epos berlangsung bahkan sejak sang Sol belum sepenuhnya bertakhta di atas zenit. Entah apa yang akan terjadi kepadaku setelah segenap keajaiban demi keajaiban muncul di hadapan.
Aku masih menganggap apa-apa yang terjadi barusan adalah representasi bunga tidur; sangat tidak masuk dalam logika berpikirku sebagai remaja biasa yang jauh dari kata ideal.
Terlebih dengan apa yang Teana katakan pada akhir pertemuan barusan. Segalanya terasanya amat fana, begitu santer menelusup ke dalam hati dengan retorikanya.
Talita, sungguh pesonanya tak terelakkan. Bak Fernando Alonso yang memenangkan Grand Prix Australia pada perhelatan Formula One awal bulan kemarin, begitu cepat dan presisi, seolah-olah begitu tepat mengisi and raceline di hati dengan kecepatan yang luar biasa.
Nadine, ketulusan seorang ketua OSIS yang perfeksionis itu memang tidak diragukan. Namun, tendensinya akan egosentris yang absolut kadang tidak dapat diterima. Ia rela mengorbankan segalanya dan menyingkirkan apa pun demi mendapatkan tujuannya. Entahlah, perasaanku tidak pernah berubah kepadanya, seburuk apa pun perlakuannya.
Shinta, ia adalah Sagittarius A*, pusat gravitasi Bimasakti, segalanya bertumpu, berpusat dan berevolusi mengelilingi supermassive blackhole yang berada di sana. Ia adalah benchmark untuk sosok perempuan sempurna. Ia cantik, tubuhnya indah, matanya bahkan bisa mengatakan apa-apa yang ia rasakan, setidaknya kepadaku.
Kuempaskan tubuh lelah ini di atas kursi berbahan kulit sintetis yang sudah mulai retak dan berkelupas. Mencoba melupakan sejenak segenap perasaan itu seraya memandang kosong ke arah langit-langit yang lampunya sudah dimatikan oleh Andri.
Kuhela napas panjang berkali-kali, masih menatap kosong ruang hampa di atas. Tidak sepenuhnya hampa, hanya saja aku mencoba mengosongkan sejenak pikiran tentang mereka yang hadir dan banyak mengubah hidup. Sungguh, aku tidak ingin ada satu hati pun yang terluka karena ketidaktegasan diri dalam memilih gadis yang tepat.
Kupejamkan mata, membiarkan seluruh hawa dingin ini mendekap dalam kesejukan raga yang fana; membiarkan segenap kenangan itu terputar di kepala; mengingat keindahan fana yang terjadi begitu cepat.
Dekapan Nadine.
Pagutan indah Talita.
Jalinan kasih Shinta.
Ah, makin mencoba melupakan ini semua, makin aku tidak dapat berpaling dari kelezatan itu semua.
“Lo udah balik, Tam?” tanya Andri, sekejap membuyarkan seluruh lamunan.
Aku mengangguk pelan seraya menoleh ke arahnya.
“Lo sekalinya dideketin cewek langsung tiga, gimana coba?”
Kuhela napas. “Sebenernya gak gitu sob ceritanya.”
“Terus gimana?” Laki-laki itu sejalan beranjak dari pembaringannya dan duduk di sebelahku. “Sejauh yang kita-kita lihat, lo kayak agresif banget deketin semuanya.”
“Talita terlalu cepet,” ujarku pelan, “gue gak paham kenapa dia bisa begitu cepet nyatain itu. Analisis gue, ada hal yang belum dia ceritain.”
“Tapi lo beneran, gak pernah deket sebelumnya?” Selidik Andri.
Aku menggeleng pelan. “Selain duduk sebelahan pas MOS, gue gak pernah ngobrol sama dia.”
“Kalo Nadine, gue sih maklum,” ujar Andri, “secara dia udah lama banget punya rasa sama lo.”
Aku mengangguk seraya menghela napas dan melempar pandangan ke arah wisma perempuan berada. “Gue udah denger ucapan itu langsung dari dia. Sayangnya dia egois.”
“Ya gimana gak egois, lo aja yang keterlaluan langsung deket sama tiga cewek.”
“Nah terus Shinta?” Selidik Andri lagi.
“Dia itu segalanya buat gue,” ujarku seraya memejamkan mata ini. “Gue udah anggap Shinta lebih dari apa pun sampe dia nerima tembakannya Agung pas class meeting taun kemaren.”
“Bentaran, Tam,” sanggah Andri, “lo bilang Shinta itu segalanya buat lo, tetapi kenapa lo gak perjuangin?”
“Itu salah gue,” ujarku penuh sesal. “Gue tahu dia udah kasih semboyan cinta ke gue, tetapi gue cuek.
“Lebih-lebih, gue rasa, cowok item kurus kayak gue gak pantes buat bidadari sekelas Talita.”
“Apalagi Shinta,” ujarku seraya menunduk. “Jauh, sob, sama level gue.”
“Lo kan emang selalu cuek sama cewek,” balas Andri. “Pas awal taun aja lo dikasih predikat kakak kelas terjutek.”
Aku mengangguk, menyetujui kata-kata Andri barusan. “Gue cuek sama cewek yang gak gue taksir.
“Gue lebih suka slipstreaming terus overtake ketimbang dibuntutin,” ujarku dengan segala ideologi tentang hubungan percintaan.
“Menurut lo deh,” sanggah Andri, “lo kalo milih mau milih siapa?”
“Tata,” jawabku cepat, “gak mungkin milih yang laen.”
“Yang laen?”
Entahlah, segalanya terasa hampa. Aku hanya bisa menghela napas panjang seraya merebahkan separuh tubuh di sandaran kursi ini. “Gue gak tahu. Gue gak mampu akhirin yang gue mulai.”
“Lo itu,” sahut Andri seraya menempeleng pelan. “Udah begitu sama dua cewek terus lo gak bisa akhirin. Kacau lo!
“Lo udah ngerusak anak orang, terus lo bilang gak tau?” Nada Andri tinggi seraya ia menatapku.
Sejenak aku terperanjat mendengar bagaimana cara Andri menasehati. Sungguh sadar ini paham, apa yang telah dilakukan adalah cara yang salah dalam merepresentasikan bagaimana cinta harus diungkapkan. Belum lagi, aku sudah melangkah terlalu dalam di hubungan ini.