April 2006.
Cinta merupakan instrumen hati, tulus mendefinisikan konstata, dan ikhlas menjabarkan variabel. Segalanya bertanslasi menjadi harmoni sinus, terkadang indah, tetapi tidak jarang juga getir.
Tidak ada jawaban alpa dalam setiap pertanyaan yang mengarah ke kenyataan perasaan, hanya kadang manusia tidak mampu untuk mengutarakan pendapat kontradiktif dengan kebanyakan orang.
Takut adalah perasaan yang ditimbulkan karena ketidakmampuan biner cinta menguasai seluruh keputusan sebelum di write back, sehingga agitasi tak acuh akan muncul sebagai premis kekalutan yang berujung kepada jawaban alpa.
Padahal, manusia bisa saja menentang itu berdasarkan cinta, tetapi kami hanyalah makhluk lemah. Takut adalah hal yang paling diingat oleh hati dan otak, sehingga banyak orang tidak berani berpendapat berbeda.
Waktu terus bergulir, menaikkan sang Sol ke atas takhta zenit di cakrawala. Sinaran sombongnya lagi-lagi harus tertutup oleh mega mendung yang tidak mau kalah menunjukkan dominasinya di atas Gaia.
Makan siang kami lalui dengan cepat, kegiatan bebas yang benar-benar bebas bagi siswa sudah selesai. Kami diminta naik ke raksasa Swedia ini pada pukul 13.00.
Berbeda dengan pertama kali saat ke sini, aku memilih untuk masuk ke dalam bus terlebih dahulu. Bahkan sebelum sekolah mempersilakan siswa masuk ke dalamnya, aku sudah duduk di tempat yang sama saat berangkat.
Sang sopir tampak terkejut saat aku sudah berada di sini seraya melontarkan tawa kecil. Tampaknya ia mengetahui sedikit banyak tentang dinamika yang terjadi antara aku, Talita, Nadine, dan Shinta.
“Dek, ini mau dinyalain dulu gak A/C-nya?”
Aku menggeleng. “Gak usah, Pak, biar irit solar.”
Tak lama, beliau menyalakan mesin dan meninggalkan kursi pengemudi, membiarkan mesin enam silinder segaris ini mencapai suhu optimal sebelum kami bertolak.
“Sayang,” panggil suara itu, Talita lalu melontarkan senyum seraya berjalan ke arahku.
“Loh, kamu ikutan naik juga?”
Ia mengangguk dan dengan ringan mendaratkan tubuhnya di sebelahku. “Pengennya langsung naik, tapi aku tadi abis jalan sama temen.
“Kamu gak marah kan?” Talita mengatakan itu seolah-olah itu adalah kesalahan besar untuknya.
Aku tersenyum. “Enggak lah sayang. Aku gak masalah sama sekali.”
Ia lalu tersenyum. “Dua minggu lagi, mau kan kita dating?”
Aku mengangguk pasti. “Mau jalan ke Bandung lagi seharian?”
Ia menggeleng. “Gak usah jauh-jauh, di sekitar rumah aku aja. Kalo kejauhan cape di jalan nanti.”
Kami lalu tertawa kecil, sejurus pagutan cepat bibir Talita mendarat lagi. “Makasih udah berbagi sama Shinta ya.”
Sungguh, wajahku terasa panas ketika tepat setelah ia melakukan itu, beberapa teman sekelasku naik ke bus ini. Beruntung tidak ada yang melihat apa yang kami lakukan. Namun, tetap saja apabila ketahuan bisa menimbulkan masalah baru.
“Kamu itu,” gumamku.
Ia hanya menjulurkan lidah. “Biarin aja, palingan kalo ketauan masuk ruang BP.”
Setelah itu, kami pun tertawa lagi.
Jam 13.45, kali ini terlambat 45 menit dari jadwal yang seharusnya, otot torsi mesin enam-silinder-segaris ini pun mulai bergerak untuk bertolak dari wisma yang pasti akan kami datangi lagi saat perpisahan tahun depan.
Miliaran asa dan kenangan yang tercipta di tempat ini. Segala pengakuan berbalut keindahan juga teruntai dari lisan-lisan tulus mereka yang menjadi bidadari tak bersayap untukku.
Berbeda dari saat berangkat ke Bandung, kali ini Talita memilih untuk mendekap lenganku seraya menyandarkan kepalanya di pundak. Tak lama, ia mengenggelamkan diri di dalam lelapnya.
Sebuah keputusan yang tepat, mengingat semalam kami hanya tidur beberapa jam saja. Senang rasanya Talita hanya menjadi seperti itu di depanku. Ia tetap sosok yang sopan dan juga begitu menjunjung harga dirinya di depan banyak orang.
Kali ini, Nadine duduk di seberangku. Sesekali ia meraih tanganku untuk digenggamnya. Aku tahu ada triliunan jelus tersirat dari sorot matanya yang tidak pernah lelah bersembunyi dari balik kacamata Lexington itu.
Lelapnya Talita mengharmonikan dengkuran halus yang jauh lebih merdu ketimbang deru mesin enam-silinder-segaris bus ini. Sungguh, aku tetap akan terjaga untuk menikmati orkestra ini, sangat disayangkan apabila harus melewati semua karena harus tenggelam juga dalam lelap. Aku akan tetap terus terjaga, hanya untuk mendengar helaan napas Talita yang saat ini terlelap.
Bus ini melaju begitu cepat. Kontur jalanan yang menurun dari arah Padalarang membuat kami lekas tiba di tujuan kami. Sekitar pukul 16.15 bus ini sudah terparkir rapi di halaman sekolah. Tak lama, gadis itu terjaga dan langsung menoleh perlahan.
“Udah sampe ya?” tanyanya dengan nada yang parau.