Taman Bintang

Akhmad Sekhu
Chapter #1

Bab 1:Taman Bintang di Atap Rumah yang Indah

Apakah cinta itu kalau bukan diungkapkan? Selalu ada yang mengatakan tanpa tahu arti cinta yang sebenarnya. Demikianlah kita. Tapi angin mungkin tahu jejak musim demi musim yang membuat kita butuh kebersamaan dalam suka maupun duka. Kemudian, pahamilah ungkapan cinta yang semakin tidak kita ketahui arti sebenarnya!

Tapi musim menjadi sebab kebutuhan tempat bernaung dan berlindung untuk kita bertahan hidup, mulai dari gua, rumah sederhana, sampai gedung tinggi pencakat langit yang begitu canggih teknologi bahannya, walau langit sebenarnya adalah atap rumah juga bagi gelandangan yang menyandang sebutan sebagai tuna wisma. Sementara itu rumah-rumah masyarakat Gunungkidul sekarang telah mengalami perbaikan, dari bahan bambu berganti kayu sampai pada akhirnya baru bata jadi omah gedong magrong-magrong.

Malam mengepakkan sayap-sayap kegelapan, dimana pada sebuah teras ruamh, orang-orang desa bercerita kisah mistis tentang pulung gantung, kalang kantung, genderuwo, wewe gombel, siluman, banaspati, kuntilanak, dan segala makhluk lelembut yang membuat berdiri bulu kuduk. Tiba-tiba, angin berhembus sangat kencang membawa suasana tegang hingga mereka yang ketakutan segera masuk ke dalam rumah, betapa rumah bisa jadi tempat yang efektif untuk bisa sembunyi dari rasa ketakutan. Lalu terdengar suara burung kulik mengisyaratkan sesuatu. 

“Hah! Bukankah itu sebagai tanda akan ada kematian yang tak wajar?” tanya salah seorang dengan menajamkan pendengaran tampak masih bertahan di teras rumah.

“Entahlah!” jawab temannya menggeleng kepala.

“Ah, itu mungkin saja tho?” desak orang itu ngotot.

“Eit, tapi keabsahan isyarat itu masih bisa dibantah!” jawab temannya lagi yang kali ini membantah, kemudian untuk menjelaskan, “Karena isyarat itu baru terbukti setelah peristiwa terjadi!”

Tersinggung jawaban temannya yang membantah, burung itu kini malah semakin nyaring suara kulik-kuliknya.

Langit kelam. Bintang berjuang membuat kecerahan dengan kedap-kedip cahaya yang antik, dimana ada yang melihat itu sebagai isyarat dalam bingkai mistik. Mungkin karena itu kalau ada bintang yang jatuh ke bumi dijadikan ramalan, tapi bukankah nasib tak bisa ditebak? Ada yang harus dilakukan, tapi ada yang cukup hanya diimpikan.

Di malam yang ganjil itu, suasana semakin tegang dengan suara anjing yang menggonggong, seperti mengisyaratkan akan ada yang mencurigakan. Tampaknya isyarat itu benar adanya setelah ada yang bergegas dengan gerak-gerik yang memang mencurigakan.

Ada seorang pemuda yang menggerakkan kaki dengan begitu sangat hati-hati karena tak ingin menimbulkan bunyi, kalau bisa ia ingin berlari, seperti angin. Atau apa sajalah yang membuatnya bisa hilang, cling! Bahkan kalau mungkin jadi hantu, walau kemudian ia jadi ketakutan sendiri. Pemuda yang begitu sangat mencirigakan itu adalah Gilang yang dalam samar cahaya menuju ke arah jendela kamar.

Kemudian ia melompat jendela kamar, ada yang membuatnya harus selalu waspada, bukan saja orang-orang, juga benda di sekelilingnya. Tapi bukankah lamun yitna kang miyatani tarlen mung pribadinipun kang katon tinonton kono, asal tetap waspada dan ketenangan yang sempurna maka yang tampak hanyalah dirinya sendiri. Ya, ia harus tetap ingat ucapan yang pernah disampaikan sang bapak yang kini membekali batinnya untuk mantap berjalan ke depan.

Begitu tergesa-gesa, pemuda beralis tebal itu tampak kaget saat kaki menabrak sebuah kurungan ayam sampai ayam yang ada di dalamnya berkotek-kotek. Masya Allah! Semua ini kehendak Allah!

Dia tidak mengerti bahasa ayam tapi justru karena suaranya yang mengundang orang semakin dalam kecurigaan sehingga akan mengacaukan. Maka dari itu apa pun diperhatikan tak terkecuali sebuah kurungan ayam, apalagi ayamnya. Juga anjing terdengar masih menggonggong terus-menerus. Dia berhenti sebentar tengok kiri-kanan melihat keadaan sampai dirasa aman, barulah melangkah lagi.

Remaja ganteng berhidung mancung itu lebih kaget lagi saat kakinya tak sengaja menendang kaleng hingga kalengnya menggelinding sampai menimbulkan bunyi yang kedombrangan. Masya Allah! Semua ini kehendak Allah.

Kembali Gilang haus berhenti dulu unruk mengawasi kanan-kiri. Selang beberapa waktu setelah keadaan dirasa aman, barulah ia melangkah panjang. Dedaunan berguguran melepas kepergian anak rumahan itu ke luar halaman. Suasana rumah kini terasa sangat sunyi. Hanya suara deru angin bersiuran.

Ketika sudah jauh dari rumah, Gilang mempercepat langkahnya. Kali ini lelaki bertubuh atletis itu semakin ingin berlari seperti angin. Atau ingin berkendara apa saja yang bisa membuatnya cepat sampai ke rumah Mayang, kekasihnya, yang pasti sudah gelisah menunggu dirinya.

Pandangan Gilang kini menebar ke sekeliling yang terasa asing karena ia memang berjalan sendirian. Rumah-rumah penduduk desa tampak tertutup rapat dan jalan kampung lengang membuat ia merasa nyaman berjalan.

Di atas, bulan tampak seperti mengambang bersama awan gemawan. Angin bertiup terasa dinginnya sampai membekukan tulang.

 

“Nalika sliramu seger melati

Aku kumbange nyidamsari…”

 

Waktu diruimu segar melati, betapa aku kumbangnya yang sangat berhasrat sekali…

 

Sepenggal lagu “Nyidamsari” dilantunkan Manthou’s dengan musik campursari itu begitu syahdu terdengar dari kejauhan mengiringi langkah kaki Gilang, lelaki sentimental danm sangat berperasaan, yang kini sedang dilanda kasmaran itu tambah bergairah ingin segera bertemu Mayang di atap rumah.

 

ööö

 

 

Perjalanan panjang Gilang yang begitu sangat menegangkan dan mendebarkan itu akhirnya sampai juga di rumah Mayang. Disitu mata tombaknya tengok kanan-kiri dan setelah dirasa sudah aman kemudian ia memanjat pohon yang cabangnya ke atap rumah. Pohon itu dikerat-kerat sebagai tangga untuk pijakan kaki sehingga ia bisa dengan mudah memanjat pohon sampai di atap rumah.

“Aku harus berjuang, betapa sesulit apa pun jalan yang akan kutempuh demi ketemu Mayang sebagai ibadah cinta yang sangat indah,” gumam Gilang tanpa sadadr keluar.

Baru saja Gilang memanjat dua-tiga kerat pijakan, tiba-tiba terlihat ada seekor ular yang merambat pohon, jalannya ular pelan perlahan-lahan, tapi begitu tahu ada mangsa maka secepatnya dapat mematuknya seketika, betapa ia sangat kaget bukan alang kepalang. Ularnya cukup besar dan panjang. Untung Gilang waspada sehingga bisa mengetahui lebih dulu keberadaan ular.

Ular itu mungkin tak tahu arti perjuangan cinta Gilang untuk bisa bertemu dengan Mayang, sehingga menghalangi jalannya. Pemuda bertampang kalem itu pun diam dengan menahan nafas yang panjang dan menghela nafasnya begitu sangat dipelan-pelankan, betapa itu harus ia lakukan agar tidak diketahu ular sebab kalau sampai diketahui bisa bahaya karena bisa-bisa nanti ia patok ular.

Cukup lama Gilang harus diam dengan menahan nafas yang panjang dan menghela nafasnya benar-benar dibuat pelan, sungguh sebuah ujian ketahanan, hingga akhirnya sampai ular itu pun berlalu, barulah ia lega dan menghempaskan nafas sebanyak-banyaknya, betapa sangat ngos-ngosan. 

Setelah itu Gilang meneruskan pemanjatannya, kali ini kakinya harus kuat-kuat menjejak kerat pijakan dengan badannya menyeimbangkan karena ia harus mempercepat pemanjatan, agar secepatnya dapat sampai di atap rumah, di mana Mayang tentu sudah sangat gelisah menunggu kedatangannya.

Dibayangkannya wajah Mayang yang cantik jelita nan rupawan, yang menambah Gilang untuk lebih semangat lagi melakukan pemanjatan. Mungkin inilah yang dinamakan energi cinta yang dapat memberi tenaga dan semangat yang berlipat-lipat. Tak terbayangkan sebelumnya ia harus memanjat pohon, tapi demi cinta harus ia lakukan. 

Sampai di atap rumah, Gilang masih harus berjuang lagi, berjuang-berjuang, sungguh penuh perjuangan, dan kali ini ia mendapat serbuan debu yang dibawa angin kencang. Hingga mata Gilang jadinya kelilipan. Ukh!

Untung hanya beberapa butir debu. Kemudian Gilabg maju selangkah ke depan, ia hampir tergelincir karena lincinnya permukaan atap yang lumutan. Ups! Untung ia bisa cepat berpegangan talang. Sungguh ia nyaris jatuh! 

Gilang mencoba memandang ke bawah, kepalanya jadi pusing, sebenarnya ia ketinggian, tapi demi Mayang, harus ia lakukan, apa pun resikonya. Kali ini, ia fokus pandangannya ke atap rumah, dimana Mayang berada menunggu dirinya. 

“Selamat malam orang muda!” sebuah suara lembut merdu menyapa yang samar-samar tapi jelas terdengar.

“Selamat datang cinta!” terdengar lagi suara menyapa yang kali ini menyemangati.

Gilang, sang pejuang cinta itu pun celingukan tengok kanan-kiri tapi sepertinya tidak ada siapa-siapa selain hanya dirinya yang kini sedang berhadapan dengan sang kekasih.

“Halo, May!” Gilang menyapa dengan berusaaha berdiri di talang tembok sambil menyingkirkan beberapa debu yang masih melekat di pelupuk matanya.

Serangkaian kalimat harus secepatnya Gilang sampaikan, “Maaf, aku datang telat.”

Lihat selengkapnya