Taman Bintang

Akhmad Sekhu
Chapter #2

Bab II : Ketika Duka Menyeruak

Langit tampak begitu cerah bagi orang-orang yang bangun pagi langsung meringankan langkah kakinya pergi ke masjid, kemudian membasuh wajahnya dengan air wudhu untuk segera menegakkan shalat subuh, yang terasa menyejukkan kehidupan.

Tanah Gunungkidul di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta basah oleh siraman embun semalam. Kabut tebal masih menyelimuti daerah yang dikenal asal nenek moyang kerajaan Mataram yang penuh misteri. Mungkin karena itu masyarakat disitu sampai sekarang masih ada yang menganut paham kepercayaan pada roh dan kekuatan gaib. Jatuhnya pulung gantung semalam adalah sebuah fenomena alam yang sangat menakjubkan, yang sampai sekarang masih menjadi misteri.

Menyibak kelopak pagi, adzan subuh sayup-sayup masih menabuh genderang kesadaran bagi para penghuni dunia. Ada yang beranjak dari tempat tidur segera shalat subuh kemudian bergegas menggeser mimpi dengan tugas keseharian. Ada yang tetap meringkuk di tempat tidur ingin lebih lama lagi bermimpi. Ada yang lain lagi, baru pulang berjaga malam, seperti Gilang dari pertemuannya dengan Mayang di atap rumah.   

Pulang sampai depan rumah, Gilang dibuat heran karena mendapati begitu banyak orang yang mengerubungi pintu. Ada yang sangat lain dari biasanya, bukan kerja, tidur, atau berjaga, tapi orang-orang mengerubungi pintu seperti semut-semut mengerumuni gula. Kemudian beberapa saat, Gilang kini termangu depan pintu itu.

Gilang pun jadi berpikir, apa yang terjadi? Mengapa mereka mengerubungi pintu? Lamat-lamat terdengar gagak berkoak-koak, suaranya begitu sangat menyayat, bukankah burung itu yang selalu menjadi tanda kematian, tapi kematian siapa? Sungguh Gilang kini dikecam berbagai pertanyaan yang menggelisahkan tak berkesudahan.

Kemudian, Gilang menajamkan indra pendengarannya, suara orang banyak tahlilan yang terdengar begitu sangat menggetarkan, barulah ia percaya akan adanya kematian, tapi kembali ia bertanya, kematian siapa? Sungguh Gilang dibuat penasaran, amat sangat penasaran, siapa yang meninggal? Kenapa banyak orang yang tahlilan di rumahnya? Kenapa banyak orang ramai di rumahnya? Pertanyaan-pertanyaan yang banyak bersliweran di hatinya, tapi yang pasti ia harus siap hadapi apa pun akan terjadi nanti.

Gilang jadi ingat ucapan Mayang yang kini seperti akan jadi kenyataan. “Mas, pulung gantung tadi jatuh ke arah rumahmu! Jadi cepet pulang, Mas! Cepet-cepet cegah kesialan! Jangan sampai keluargamu kena! Aku sayang sama sampeyan dan keluargamu. Ayo, pulanglah, Mas!”

“Pulung gantung?” bisik Gilang dalam hati mempertanyakan lagi, “Kenapa harus pulung gantung yang jatuh ke arah rumahnya? Cepet-cepet cegah kesialan?”

Gilang mengingat ucapan Mayang dengan rasa penasaran yang sangat besar dan kini menjadi firasat yang tidak enak dalam hatinya. Sambil mengingat-ingat ucapan Mayang dan teringat ia dan Mayang saat bersama di Taman Bintang di atap rumah, menyaksikan pulung gantung yang kata Mayang jatuh ke arah rumahnya, Gilang merasa diri terdorong oleh kekuatan entah apa namanya, untuk melangkah maju ke depan menembus kerumunan orang-orang yang berkumpul di rumah.

“Beri jalan anaknya yang baru pulang!”

“Iya-iya, ayo biarkan dia masuk ke dalam!”

Terdengar suara orang-orang yang mengerumuni rumah mempersilakkan Gilang berjalan membelah lautan manusia untuk bisa masuk ke dalam rumah.

Mendapat firasat yang tidak enak, Gilang mempercepat langkah ke dalam rumah. Matanya tiba-tiba nanar memandang sekitar yang penuh tanda tanya. Sampai di dalam rumah, betapa dia sangat kaget karena melihat Pak Santosa, bapaknya, membujur kaku dengan berkain kafan.

“Gilang, bapakmu nekad!” kata Emak Citra, emaknya, dengan bersimbah air mata mendekapnya erat-erat. “Semalam bapakmu bunuh diri dengan seutas tali yang menjerat lehernya.”

Gilang merasa mendapat kenyataan yang sangat menghentak, bagaimana mungkin bapaknya bisa nekad melakukan itu? Bunuh diri! Dia masih tak percaya dengan yang dilakukan bapaknya.

Untuk beberapa saat lamanya, Gilang diam saja tapi pandangan tetap tertuju pada jasad bapaknya yang telah membujur kaku. Matanya mulai berkaca-kaca hingga tanpa terasa butir-butir air mata hangat mengalir deras di pipi wajahnya yang telah sangat pucat.

Sang emak melepas dekapan untuk kemudian turut meratapi jasad sang bapak. Kemudian Fitri, adik Gilang yang semata wayang itu, mulai pecah tangis sejadi-jadinya. Juga Mbok Tijah, pembantu yang setia itu ikut larut dalam kesedihan.

Gilang tetap masih diam saja dan kini dihatinya menggumpal banyak sekali pertanyaan; ada masalah apa sampai bapaknya nekad bunuh diri? Apa masalah tanah warisan keluarga yang kepemilikannya digugat saudaranya di pengadilan, ataukah masalah hutang ditagih rentenir yang bunganya begitu sangat berlipat-lipat, ataukah apa? Sebagai manusia berakal pikiran, semestinya bapak punya solusi atas permasalahan yang dihadapi.

“Kenapa Mas baru pulang sekarang?” suara Fitri tiba-tiba menyentak. “Jadinya bapak mati bunuh diri!”

Gilang, sang kakak, tetap diam dengan wajah yang banjir air mata, dan kini ia menatapnya dengan tatapan tajam memberi pengertian akan situasi pada saat itu yang tidak memungkinkan dirinya cepat pulang.

“Apakah kalau aku cepat pulang bisa mencegah bapak bunuh diri? Kenyataannya sudah takdir bapak demikian!” gumam Gilang dalam hati masih penuh tanda tanya, betapa ia memandang orang-orang yang begitu banyak sekali mengerubungi rumahnya seperti para saksi yang kesaksiannya begitu memberatkan jatuhnya hukuman sang bapak yang nekad bunuh diri.

Tiba-tiba Gilang ingin menggugat bapaknya, apa alasannya sampai nekad bunuh diri? Alasan apa pun tentu tak ada ampun. Bapak secara alamiah harus bisa menjaga diri sendiri karena bunuh diri bertentangan dengan hukum alam, bapak adalah bagian dari keluarga sehingga bapak bunuh diri berarti melukai keluarga, dan kehidupan adalah pemberian Tuhan pada manusia, karena itu bapak yang mencabut kehidupan itu berarti bapak berdosa kepada Tuhan. Masih belum cukupkah penjelasan ini, Pak? Gugatan Gilang yang datang berkelebatan itu tak terjawab karena sang bapak telanjur sudah jadi mayat.

Orang-orang yang mengerubung kini seperti merangsek ke dalam rumah, seperti menjatuhkan vonis hukuman paling berat bagi bapak yang bunuh diri. Mereka seperti mengeluarkan kata-kata seenak udelnya; Bunuh diri? Iiih, sungguh ngeri! Menegakkan bulu kuduk, menyayat perasaan, dan mengiris-iris hati terdalam, betapa tragis mengakhiri hidup bunuh diri! Akhir hidup yang paling menyedihkan. Pandangan hidup yang gelap. Jalan hidup yang buntu.

Gilang sebagai anak mbarep, anak sulung, itu makin berani menggugat bapaknya: “Aku tak habis pikir bapak begitu nekad berani bunuh diri. Bapak mungkin punya hak melakukan bunuh diri, tapi aku juga punya hak mencegah bunuh diri bapak!”   

 Emak Citra, Fitri, dan Mbok Tijah masih menangis tersedu-sedu. Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka, kecuali air deras mengalir dari kelopak matanya yang sembab. Air mata selama yang jadi simbol dari penderitaan hidup mereka yang datang bertubi-tubi.

Gilang tiba-tiba ingat cerita dari bapaknya tentang Sunan Bonang yang berdialog dengan Sunan Kalijaga dan Wujil; pati patitising angabekti, nora etang wiwilangan, pan mulih mating jatine yen ana ketang-ketung, yakti sira tan apanggih, kalawan kang sinedya, yen sirarsa temu, sirnakena nafsunira, yen sira wus atemu akaron kapti, kapti anunggil karsa. Tunggil rupa saos nameki, tunggil rasa saos rupanira, tinunggil sarwa-sarwine, sampuning tunggil iku, saha setya pati saurip, larangane tan ana, sandhang pangan iku, sakarsane tunggil karsa wong siniban tan kena andum amemilih, cihna tinunggil karsa.

Mati adalah kebaktian, tiada lagi diperhitungkan, karena orang kembali ke asal. Jika memperhitungkan, kau tidak akan menemukan yang kau harapkan. Dan jika ingin menemukan-Nya, kau harus merusak nafsu-nafsumu. Jika engkau telah menemukan-Nya maka kemauanmu akan bersatu dengan kemauan-Nya. Kau akan bersatu dengan Dia; hanya namanya saja berlainan; kau akan menjadi satu dalam rasa dengan Dia. Sesudah bersatu, kau menyerahkan mati hidupmu, kepada-Nya, bagimu tak ada larangan dalam hal pangan dan sandang. Semua kehendakmu menjadi satu dengan kehendak-Nya. Orang yang telah diampuni, tidak boleh memilih maupun membagi dua, suatu tanda bersatunya kehendak dengan Dia.

Bapaknya Gilang kini telah meninggal yang ditamsilkan sebagai “manunggaling kawula Gusti” persatuan antara manusia dan Tuhan. Bahwasannya bapak meninggal yang bersatu dengan kemauan-Nya, dengan iradat-Nya.

“Bapak kepala keluarga sebagai suri teladan kami, tapi mengapa segala kebaikan yang bapak ajarkan bertahun-tahun itu dinodai dengan tindakan bunuh diri? Oh, janganlah karena setitik nila rusak susu sebelanga!” kata Gilang berharap.

Kemudian, menyeruak terdengar suara orang-orang yang mengerubungi pintu membicarakan sang bapak yang mati bunuh diri.

“Wah, akhirnya terjadi juga Pak Santosa bunuh diri karena rumahnya memang ketiban pulung gantung!” seru salah seorang di antara mereka yang tampak kritis.

“Aku bilang juga apa, hah? Jin jahat itu mempengaruhi Pak Santosa nekad bunuh diri! Pulung gantung memang membawa kesialan!” sambung lainnya dengan suara sinis.

           “Kita harus hati-hati! Bunuh diri itu penyakit yang menular. Kita harus jauhi keluarga yang mati bunuh diri!” sambung lagi lainnya yang kali ini terdengar menggelegar membuyarkan suasana khusyuk kematian bapak.

Suara orang-orang itu bergaung dan bercampur baur. Gilang tak ingin mendengar lalu menutup telinga dan kini hanya bisa menjerit histeris, “Tidaaaaak….!!!”

           ***

 

“Walau bagaimanapun bapak adalah bapak, sebagai kepala keluarga yang harus aku hormati walau mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Mungkin bapak percaya akan adanya kelahiran kembali sesudah hidup ini, masalah keadaan menuju kebahagiaan sejati yang menjadi suatu idaman yang harus dicapai. Bapak menginginkan sesuatu kelepasan dari hidup duniawi yang menyengsarakan ini,” begitu kata-kata yang terus berkecamuk dalam diri Gilang.

Anak mbarep itu yakin bapaknya cukup membawa bekal untuk perjalanan abadi menuju kehidupan kekal dan dia tetap bangga jadi anaknya. Dia berjanji akan melaksanakan wejangan yang telah diajarkannya. Dia tidak menangis agar bapaknya berangkat dengan tenang ke alam akhirat. Dengan doa, dia mengucap, “Selamat jalan bapak!”

Kemudian pemuda berhidung mancung itu mencium kening sang bapak untuk terakhir kali sebagai tanda perpisahan untuk selama-lamanya. Setelah itu, segera dilakukan prosesi keagamaan untuk penghormatan sang bapak, dari mulai memandikan, mengkafani, memshalati, sampai dengan penguburan.

***

Lihat selengkapnya