Wajah di jendela pada sebuah kamar di setiap pagi tak lagi ajek wajah lelaki, tapi kini berubah-ubah wajah, yaitu wajah-wajah perempuan yang kadang Emak Citra, Mbok Tijah, atau Fitri. Ya, kamar yang ditempati Gilang itu kini tak berpenghuni tapi setiap pagi jendela harus tetap dibuka agar udara sejuk masuk menyegarkan kamar, dan limpahan sinar matahari yang menghangatkan kamar.
Kemudian, setiap petang, jendela pun harus ditutup karena angin sudah mulai dingin dan matahari pasti beringsut pergi. Adapun malam, kamar kelelahan bermain dengan angin dan matahari hingga mesti istirahat di peraduan malam. Demikianlah kamar Gilang yang tak dihuni itu tetap terawat.
“Kita harus tetap merawat kamar Gilang!” tegas Emak Citra, kemudian menjelaskan, “Di antara kita juga harus saling ingat-mengingatkan untuk selalu menjalankan tugas membuka-menutup jendela!”
Mereka bertiga bergantian tugas membuka-menutup jendela dan merawat kamar Gilang. Kamar itu kini malah tampak lebih terawat oleh tangan-tangan perempuan yang resikan daripada lelaki yang cenderung awut-awutan. Kamar itu sudah lama ditinggal pergi Gilang yang merantau ke Jakarta, tepatnya sejak acara haul peringatan satu tahun kematian Pak Santosa, bapaknya.
Sang waktu terasa begitu cepat berlalu, bagaikan melontar gantar yang sangat jauh, betapa ternyata sudah hampir mendekati satu tahun lagi kematian sang bapak. Dan Gilang, bagaimana anak mbarep itu menjalani hidup di Jakarta? Itulah yang kini jadi beban pikiran Emak Citra di suatu pagi ketika untuk sekian kali membuka jendela kamar Gilang.
Emak Citra yang sudah berumur tapi masih tetap cantik jelita itu tampak mengerutkan dahi dan bergumam, “Gilang, anakku lanang yang paling cakep di dunia, sedang apa pagi ini?”
Matahari tampak masih malu-malu menyembul di balik awan, betapa sinar yang memancar ke dalam kamar baru terasa hangat-hangat kuku. Dan terasa si angin belum memberi kesegaran kamar, betapa udara tak bergerak dari sisa dingin malam yang pengap. Ada pun sang emak selalu rajin merawat kamar anak mbarepnya, betapa setiap sudut kamar dari langit-langit sampai lantai tak pernah luput dari sentuhannya yang resikan. Ya, keadaan kamar Gilang senantiasa bersih ngecling-ngecling.
Selang beberapa lama kemudian, matahari mulai menghangatkan dan angin memberi kesegaran kamar. Usai merawat kamar Gilang, Emak Citra bergegas ke toko kelontong sebagai mata pencaharian yang cukup untuk menyambung hidup seorang janda dan cukup juga untuk bisa membayar biaya sekolah Fitri, anak bontotnya, anak bungsunya, di MTS alias Madrasah Tsanawiyah, sekolah agama Islam yang setingkat dengan SMP. Sedangkan Gilang, anak mbarepnya, anak sulungnya, yang sudah tamat SMU itu kini kerja di Jakarta tentu sudah bisa membiayai hidupnya sendiri.
***
Pemandangan pagi di Jakarta tampak begitu sangat macet dengan kendaraan padat merayap di jalan raya. Sebuah kota metropolitan yang dalam dekade terakhir tumbuh dan berkembang dengan sangat pesatnya. Jakarta memang selalu diidentikan dengan masalah kemacetan lalu lintas. Bukan Jakarta namanya, kalau bukan tidak macet lalu lintasnya.
Tak terkecuali hari Minggu, pagi-pagi arus kendaraan tetap padat merayap. Orang-orang Jakarta, baik kaya atau miskin, berkendaraan atau jalan kaki, kini sudah tidak nyaman lagi berada di jalan raya. Hal itulah yang membuat mereka tampak berjarak semakin asing dengan kotanya seperti tercermin dari rumah mereka yang berpagar tinggi-tinggi, seperti memisahkan diri dengan lingkungannya.
Tampak kompleks perumahan kontrakan, di mana petak-petak rumahnya cukup banyak dengan setiap petak rumah lumayan luas yang terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi plus dapur. Di antara sesak berjejalnya rumah-rumah, paling depan rumah kontrakan Gilang yang lain sendiri dan paling nyentrik karena penghuninya orang-orang muda kreatif yang “menyulap” beranda rumah bergaya dekoratif.
Pagi itu rumah kontrakan Gilang tampak begitu sepi. Rupanya mereka masih tidur karena semalaman begadang. Orang-orang muda itu Gilang, Choky, dan Gondho yang tidur dalam satu kamar. Rumah itu memang masih sepi. Hanya terdengar suara angin yang sepoi-poi basah bersiuran dan suara Gondho yang tidur mendengkur. Adapun tidur Choky tampak jelalatan. Sedangkan Gilang tidur dengan tenang.
Kemudian, di kamar itu terdengar suara-suara banyak orang yang membicarakan bunuh diri. Suara-suara itu tidak berwujud dan entah datangnya dari mana terdengar samar tapi jelas tegas membuat suasana kamar kini jadi tegang dan sangat mencekam.
“Wah, akhirnya terjadi juga Pak Santosa bunuh diri karena rumahnya memang ketiban pulung gantung!” seru salah seorang di antara mereka yang tampak kritis.
“Aku bilang juga apa, hah? Jin jahat itu mempengaruhi Pak Santosa nekad bunuh diri! Pulung gantung memang membawa kesialan!” sambung yang lain dengan suara sinis.
“Kita harus hati-hati! Bunuh diri itu penyakit yang menular. Kita harus jauhi keluarga yang mati bunuh diri!” sambung lainnya yang terdengar menggelegar membuyarkan suasana tenang kontrakan Gilang.
Suara-suara itu berdengung seperti sekawanan lebah mengerungi madunya, setelah itu dengungnya bergaung hingga bercampur baur. Gilang tak sanggup mendengarnya segera menutup telinga dan menjerit-jerit, “Tidak, tidaaak, tidaaaaak, …..!”
“Selamat pagi orang muda!” terdengar suara menyapa yang samar-samar tapi jelas tegas.
“Selamat datang kenyataan!” terdengar lagi yang kini nadanya meninggi membangunkan Gilang dari mimpi buruk.
Gilang kini terjaga dari tidurnya dan melihat sekeliling tidak ada satu pun orang yang membicarakan bunuh diri Pak Santosa, bapaknya, di kamar itu.
Mendapat mimpi buruk, Gilang segera berdoa, “Ya Allah, aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatan impian.”
Setelah itu, Gilang mengakhiri doa dengan mengusap wajahnya, sungguh, ia tidak ingin mendapat mimpi buruk itu lagi. Beberapa saat lama kemudian, ia berdiam, pelan-pelan terasa ada bayangan seraut wajah di jendela.