TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #1

PROLOG

Aku menghembuskan napas panjang setelah menutup pintu. Tangisnya masih terdengar samar. Namun setidaknya kami sudah berjarak. Aku tidak bermaksud menyakitinya, membuatnya sedih, menangis atau apapun. Sungguh. Bagaimanapun keadaannya, aku sangat menyayanginya.

Berkali-kali aku menggumamkan kata maaf, meskipun dia tidak mendengarnya namun permintaan maafku ini tulus. Aku pura-pura? Tidak. Tidak ada yang lebih penting selain kebahagiaannya. Senyum dan tawanya sangat berarti. Aku meninggalkannya bukan karena aku tidak menyayanginya, aku hanya tidak suka dengan jalan yang dipilihnya. Aku tahu dia salah, makanya aku tidak membelanya.

Kalau ada yang bilang aku hanya diam tanpa berusaha mengingatkan, tidak, mereka salah. Aku sudah mengingatkannya berkali-kali, bahkan puluhan kali. Aku sudah lupa berapa puluh kali tepatnya aku memintanya meninggalkan laki-laki itu. Namun selalu bantahan dan penolakan yang aku dapat. Keinginanku tidak pernah dia dengar. Apakah aku kecewa? Iya. Tidak hanya kecewa. Aku marah. Apa yang dilihatnya dari laki-laki itu sehingga ibuku menjadi buta tidak peduli dengan latar belakang laki-laki itu? Aku tidak habis pikir. Pilihannya untuk tetap mempertahankan laki-laki berengsek itu seolah tidak ada lagi laki-laki di dunia ini yang pantas dicintainya. Karena cinta itu buta? Bullshit, hanya orang bodoh yang mengatakannya.

"Ibu mencintainya, Ray." Selalu itu yang aku dengar kalau aku memintanya menjauhi laki-laki itu. Kenapa selalu cinta yang dijadikan alasan?

"Aku nggak melarang ibu menikah lagi," kataku mengutarakan ketidak setujuanku. "Semua terserah ibu. Ibu bahagia, aku juga bahagia. Tapi kenapa harus dia?"

"Apa yang salah, Ray?"

"Salah, Bu," bantahku cepat. "Ibu tahu siapa laki-laki itu, kan?"

Dia mengangguk. "Kita nggak bisa memilih dimana hati kita akan berlabuh, Ray. Kalau kamu pikir ibu nggak berusaha menjauhinya setelah tahu dia sudah menikah, kamu salah. Ibu sudah berusaha."

"Kalau ibu berusaha nggak akan seperti ini jadinya, Bu." Aku menggeleng-geleng. Dia memang ibuku, tapi terkadang aku tidak dapat memahami jalan pikirannya. "Dia bukan orang yang tepat untuk Ibu. Nggak ada laki-laki baik yang mengkhianati keluarganya. Tinggalkan dia, atau aku yang pergi."

Aku mengira dengan mengancamnya seperti itu dia akan memilihku dan meninggalkan laki-laki berengsek itu. Namun aku salah. Di belakangku mereka tetap menjalin hubungan. Aku tidak asal bicara, aku melihat mereka bersama beberapa kali. Hingga akhirnya, hari ini, dia mengaku sudah menikah dengan laki-laki itu dibawah tangan.

"Astaga, Ibu!" Aku tidak bisa menyembunyikan kemarahan ku. "Apa yang ada di pikiran Ibu? Apa Ibu nggak mikirin perasaan keluarganya? Istrinya? Anaknya? Ya Tuhan!" Aku benar-benar emosi. Kulit wajahku rasanya panas. Kalau aku digambar dalam tokoh kartun, pasti wajahku digambar dengan tinta hitam dengan kepala mengepulkan asap.

Lihat selengkapnya