"Sudah masuk musim hujan, ya?" Rere membalikkan kursinya menghadap mejaku. "Gue suka banget pas gerimis kayak gini. Kesannya jadi romantis. Momennya kayak pas gitu."
Aku tertawa. Romantis dari mana? Daya imajinasinya memang patut diacungi jempol. Aku yakin setelah lulus SMA nanti dan mulai kuliah dia bisa menjadi penulis roman yang terkenal. Daya khayalnya luar biasa.
Aku melihat ke luar jendela. Sinar matahari yang tadinya tampak garang tidak berdaya setelah awan tebal datang menyelimuti dan mulai menumpahkan isinya. "Gue juga."
Dunia berputar begitu cepat. Rasanya belum lama kemarau datang, sekarang sudah berganti musim saja. Tidak terasa juga umurku tujuh belas tahun sekarang. Dan ini adalah tahun terakhirku di SMA.
Sehelai daun kering diterbangkan angin masuk melalui jendela yang terbuka. Hawa dingin dan lembab mengingatkanku dengan saat itu. Saat dimana aku pertama kali melihatnya. Udara yang dinginnya terasa sama, gerimis yang sama, bahkan angin yang berhembus semilir juga sama. Astaga, kenapa aku mengingatnya lagi? Padahal aku sudah berjanji akan memulai hidup baru disini. Masih bisa melihatnya melalui layar kaca saja sudah cukup bagiku. Meskipun terkadang rasa rindu ini tidak dapat ditahan lagi. Mengetahui dia baik-baik saja sudah membuatku lega.
"Ujian udah dekat, ya," Rere menggumam. "Kalau kita udah lulus, kita kuliah di kampus yang sama, ya? Biar kita bisa sama-sama terus."
"Sayang banget Lo sama gue, ya?" Aku tertawa.
"Iya dong, Ta," sahutnya. "Lo yang paling rajin kasih gue contekan."
"Sialan," omelku yang segera dibalasnya dengan tertawa.
"Waah, nggak diragukan lagi. Selera Lo emang lumayan." Teriakan Sheila membuat kami menoleh.
"Iya dong." Jawabnya disusul tawa Xena. "Benar, kan? Gue nggak salah pilih, dong." Dia membuat gaya imut sambil menangkup kedua pipinya.
"Apa, sih?" Sahut Rere. Aku pun ikut menatap mereka penasaran. Pasti masalah cowok. Ya, tidak jauh dari itu, sih.
"Ini foto pacarnya Xena." Sheila mengacungkan layar ponsel ke arah kami.
"Wah," kami berseru bersamaan.
"Lihat, dong?" Rere mengulurkan tangan menerima ponsel yang diberikan Sheila.
"Mana, mana?" Aku ikut menjulurkan kepala. Penasaran juga. Meskipun pembicaraan masalah cowok tidak selalu menarik minatku, rasa ingin tahu tetap saja ada. Apalagi ini pacar Xena. Gadis manis berlesung pipit yang mudah sekali mendapatkan pacar. Diantara kami berempat, Xena lah yang paling sering ganti-ganti pacar. Hari ini bilang putus, tidak sampai seminggu kemudian dia sudah mendapatkan pacar baru lagi. Semudah menyobek kertas saja. Anehnya dia tidak pernah terlihat sedih meskipun baru saja putus dengan pacarnya.
"Ah, biasa saja." Rere mencebik yang langsung mendapat pelototan Xena.
"Lihatnya jangan sambil merem, dong," serunya tidak terima. "Dilihat dari sudut manapun Vincent emang keren."
"Yang bilang jelek siapa?" Rere membela diri. "Gue nggak bilang jelek kan, Ta?"
"Gue nggak percaya penilaian elo." Xena mengambil ponsel dari tangan Rere. "Gue lebih percaya Tita." Dia mencebik, lantas mendekatkan ponselnya ke arahku. "Gimana, Ta? Keren, kan?"
"Keren, kok."
"Tuh, kan. Tita aja bilang keren, kok." Kami sama-sama tertawa.
"Eh, Ta, kalau elo?" Aku spontan menoleh pada Rere yang menopang dagu dengan tangannya sambil menatapku.
"Apa?" Jawabku. Aku sama sekali tidak mengerti dengan pertanyaannya.
"Elo udah punya pacar?" Dia tersenyum manis. Khas Rere kalau sedang ada maunya.
"Nggak ada," jawabku lantas tertawa. "Kalau ada kalian pasti tahu, kan?"
"Serius?" Rere mengernyit. Tatapannya menilai seperti presenter gosip yang sedang mengulik kisah selebriti bintang tamu acaranya.
"Iya. Apa sih yang bisa disembunyikan dari kalian?" Aku tertawa lagi. "Kalian kan lebih ahli dari agen rahasia CIA."
"Eh, belum ada?" Sheila ikut-ikutan menatapku tidak percaya. "Serius?"
Aku mengangguk.
"Bohong," sambar Xena. "Tita kan cantik."
Aku mengedik. Aku tahu kalau aku cantik. Bukan aku terlalu percaya diri, tapi dia sering bilang begitu. Sering sekali. Sapaan pertama teleponnya adalah 'hei, cantik'. Selalu begitu. Ya ampun, kenapa ingat dia lagi, sih?
"Waktu di SMA kamu dulu sebelum pindah kesini?" Astaga, mereka tidak berniat melepaskan ku kali ini. Biasanya mereka tidak akan membahas lagi kalau aku sudah bilang tidak ada. Sialan.
"Nggak ada." Aku menggerakkan tangan supaya terlihat lebih meyakinkan.
"Ish, bohong." Rere mencebik. Aku tahu mereka tidak percaya. Biar saja.