Waktu itu musim yang sama seperti sekarang. Tahun kedua ku di SMA.
“Dia beneran keren, sih.” Suara cemprengnya langsung terdengar begitu aku mendekati pintu kelas. Entah siapa lagi yang Sesil ceritakan kali ini. Saking seringnya dia bercerita tentang cowok yang baru ditemuinya, aku sampai tidak bisa mengingat mereka satu per satu. “Namanya Jo. Lihat deh.”
“Eh, beneran keren.” Yang menjawab itu teman satu bangkuku, Amanda. “Gue mau dong dikenalin sama temannya Jo. Pasti nggak kalah keren juga dong. Biasanya cowok keren berkumpulnya sama yang keren juga.”
Astaga, mana bisa begitu. Kalau aku di dekatnya aku pasti sudah menoyor kepalanya. Dasar, Manda. Tawa keduanya lantas terdengar, bercampur dengan tawa teman sekelasku yang lain. Aku yakin kegembiraan mereka akan langsung surut begitu mendengar kabar yang aku bawa pagi ini. Kabar yang tidak akan disukai mereka. Aku jamin itu.
“Hei, hari ini IPA ada ulangan dadakan,” seruku begitu aku sampai di depan kelas. Seperti dugaanku sebelumnya, hampir semua isi kelas melongo.
“Apa?” Sahutan terdengar dari bangku paling belakang. “Gue belum belajar.”
“Huh, kejam.” Yang lain menimpali. “Mana lagi malas belajar, nih.”
“Aku baru putus kemarin.” Itu suara Reina si selebritis kelas. “Mau belajar pun rasanya percuma. Nggak bakalan masuk di otak.”
“Aku juga malas,” teman sebangkunya menimpali.
“Pasrah aja, deh. Paling kalau nilai jelek nanti remidi.”
Memangnya cuma mereka yang mengeluh. Aku juga belum ada persiapan untuk ulangan. Kemarin aku sibuk membantu mama. Mama mengundang beberapa teman kantornya makan malam di rumah. Sebagai tuan rumah aku ikut mondar-mandir menyiapkan segala sesuatunya.
“Hai.” Aku menaruh tas di meja.
“Gue salut,” kata Sesil tanpa menjawab sapaanku. “Lo masih mau aja lakuin tugas yang bikin mereka sebel sama elo.”
“Ya, mau gimana lagi,” aku mengedik. “Gue ketua kelasnya. Kalau bukan gue siapa lagi, kan?”
“Hei, lihat.” Amanda mencolek lenganku begitu aku duduk di bangku sebelahnya. Dia mendorong ponsel Sesil mendekat.
“Apaan, sih?”
“Cakep, kan?” Sahut Sesil. “Gue dapat fotonya dari Jejo kafe semalam.”
“Siapa ini?” tanyaku.
“Salah satu personil band yang ngisi acara disana semalam. Gimana? Cakep dan keren pastinya, kan?” Senyum Sesil melebar.
“Ooh.” Aku lantas mengeluarkan buku IPA dari dalam tas. Meskipun tidak sempat menghafal semua materi, setidaknya aku tidak mendapatkan nilai kurang dalam ulangan nanti.
“Huuh. Tita selalu gitu, deh.” Sesil menyambar ponselnya lantas menyimpannya. “Memang lo nggak tertarik sama cowok seganteng ini?” Sesil pasti kesal karena responku tidak seperti yang diharapkannya.
“Eh, Sil. Lo kesana buat ngisi perut atau cari cowok sih?” Amanda menyahut dengan wajah polosnya.
Kalau biasanya Sesil akan langsung kesal , tapi tidak kali ini. Dia mengedipkan matanya lantas tersenyum lebar. “Dua-duanya.”
“Mana ada sih anak band yang baik-baik,” sahut Amanda lagi. “Lihat saja contohnya.” Sudut matanya mengawasi Yoshua yang duduk tidak jauh dari bangku kami. “Tuh, sok keren, sok cakep, dan sok-sok lainnya diborong semua sama dia.”
“Benar juga.” Aku tidak dapat menahan tawa. Apalagi saat melihat Yoshua menoleh ke bangku kami dengan raut sebal. Pasti sebentar lagi perang Manda-Yoshua akan terjadi. Tinggal dihitung mundur saja.
“Lo bertiga ngomongin gue?” Nah, benar, kan. Yoshua menghampiri bangku kami. Aku dan Sesil saling pandang. Aku yakin isi kepala kami sama sekarang.
“Nggak ada,” Amanda memutar bola mata. “Sensitif banget sih jadi cowok. Kayak cewek PMS aja.”
“Lo emang nyebelin,” balas Yoshua. “Gue heran Tita tahan temenan sama cewek nyebelin kayak elo. Kalau gue sih ogah.” Yoshua bergidik.
“Sialan,” Amanda mengomel.
Yoshua mengangkat bahu lantas mengalihkan perhatian padaku. “Ta, udah ngerjain PR Bahasa Indonesia belum? Gue nyontek, ya?”
“Buset, sebentar lagi bel masuk,” sambar Amanda. “Apa lo mau ngerjainnya setelah Pak Mus datang? Males banget, sih.”
Yoshua tidak menanggapi, dia hanya mencebikkan bibirnya pada Amanda. “Ta, boleh, ya?” Dia menangkupkan tangan sambil memasang tampang memelas.