Memori otak mudah sekali menyimpan suatu hal yang indah dan menyenangkan. Setelah melihat sesuatu yang sama, mata akan langsung mengenali bentuk visual yang sudah dikagumi pada pertemuan sebelumnya. Tanpa harus menggali memori terlalu lama, otak akan langsung merespon perintah yang diberikan. Ya, itulah yang aku alami sekarang. Memang jarak kami lumayan jauh, tapi aku hafal dengan posturnya yang jangkung. Tidak, aku tidak salah mengenali. Itu memang dia. Meskipun aku baru melihatnya sekali, namun aku langsung bisa mengenalinya karena aku sudah tertarik padanya waktu melihatnya pertama kali. Tapi bukan berarti aku jatuh cinta pada pandangan pertama seperti di film-film remaja yang sering ditonton Amanda. Bukan, bukan seperti itu. Hanya sebuah bentuk kekaguman pada indahnya makhluk ciptaan Tuhan. Itu saja. Bukankah remaja seusiaku ini mudah sekali merasa kagum pada sesuatu yang dilihatnya meskipun itu hanya sekilas?
“...menyala.” Aku terlalu fokus memperhatikan cowok yang sedang menata buku di ujung rak sehingga tidak begitu mendengarkan ramalan cinta atau apapun itu yang dibaca Sesil.
“Buset, romantis banget,” seru Amanda yang membuatku tersadar sudah memperhatikannya terlalu lama. Untung saja dia tidak sadar. Kalau saja dia sadar aku tengah memperhatikannya, tidak terbayang betapa malunya aku. “Ramalan cinta lo udah kayak cerita di film India aja sih, Ta.”
“Lo lagi lihatin apaan, sih?” Sesil mencolek lenganku.
“Nggak. Nggak lihat apa-apa, kok.” Aku spontan menggeleng.
Bukan Sesil namanya kalau percaya begitu saja. Dia lantas mengikuti arah pandangku. “Apaan sih, Ta. Dari tadi lo fokus banget lihat kesitu.”
Aku hanya mengedik. “Cari di rak lain, yuk! Siapa tahu kita nemu.” Aku menarik tangan Sesil dan Amanda bersamaan.
“Eh, tunggu.” Kaki Sesil tidak bergerak dari tempatnya berdiri. “Bentaran, dong.”
“Apaan sih, Sil? Tita harus pulang cepat, lho,” Amanda mengingatkan.
“Cowok itu…” Tangan Sesil menunjuk ke ujung rak. “Cakep banget.”
Aku dan Amanda menoleh ke arah yang ditunjuk Sesil. Ternyata Sesil juga memperhatikan pegawai toko buku yang sedang menata buku di rak itu.
“Sayang banget sih cowok secakep iti kerja disini,” seru Sesil sedikit keras. “Harusnya dia jadi artis. Pasti penggemar ceweknya bakalan banyak banget.”
Amanda menoyor kepala Sesil pelan. “Kedengaran, bego.”
Sesil tidak peduli. Dia melirikku sambil mengangkat sudut bibirnya. “Ternyata Tita bukannya nggak berminat sama cowok. Dia cuma selektif. Syukur, deh. Ternyata rugi gue khawatirin elo.”
“Apaan, sih?” Jawabku. “Lebay, deh.”
Sesil hanya mengedik tidak peduli. Dia lantas mengambil novel secara acak di rak. Langkahnya ringan, kemudian mengikuti pegawai toko itu yang berjalan ke kasir.
“Dia nggak jadi cari novel kayak punya dia yang hilang itu?” Tanya Amanda heran.
“Nggak tahu.” Aku menggeleng. Aku dan Amanda saling pandang sebentar, lantas mengikuti Sesil yang lebih dulu berjalan ke kasir.
“Kami beli ini.” Sesil meletakkan beberapa novel yang dipilihnya random dari rak. Gara-gara melihat pegawai toko ganteng dia tidak lagi peduli dengan judul novel yang dibelinya. Aku melihatnya sendiri kalau dia dengan asal menariknya dari rak lantas membawanya ke kasir. Jangankan baca sinopsisnya, judulnya saja dia tidak tahu.
Pegawai toko ganteng itu menyebutkan harga. Namun Sesil mengacuhkannya, malah dengan percaya diri mengajaknya mengobrol. “Pegawai baru, ya?”
“Iya.” Dia menjawab pendek saja.
“Kamu mahasiswa atau udah kelar kuliah?” Tanya Sesil lagi.
Pegawai toko itu memberikan senyumnya sebagai jawaban. “Ini bukunya. Terima kasih. Selamat datang kembali.” Dia menjawab formal saja.
Amanda terkikik di belakang. “Rasain! PD banget, sih.”
“Terima kasih juga.” Sesil melangkah keluar, aku dan Amanda mengekor di belakangnya.
“Dasar sinting. Dianya acuh banget lo malah senyum-senyum nggak jelas gitu.” Amanda memutar bola matanya.
“Iya, nih. Apaan sih, Sesil.” Aku ikut tertawa.
Sesil memasang sabuk pengamannya kemudian menoleh pada Amanda yang duduk di jok belakang. “Cowok ganteng memang gitu. Nggak mau kasih lihat sikap ramahnya secara berlebihan. Lagian yang cool kayak gitu malah bikin penasaran. Iya kan, Ta?” Senyum Sesil kian lebar waktu dia beralih padaku.
“Kok gue, sih,” aku mengerutkan bibir.
“Iya, nih. Sesil aneh, deh.” Amanda dari belakang menimpali. “Yang dari tadi sibuk menarik perhatian siapa? Kok malah Tita yang lo jadiin tumbal.”
“Elo mending diem, deh,” jawab Sesil acuh.
“Sialan,” Amanda mengomel.
Cowok yang tadi itu, maksudku pegawai toko buku tadi adalah cowok yang sama dengan yang aku temui waktu itu. Setelah melihatnya dari dekat, dugaanku tidak salah. Itu memang dia. Pertanyaanku adalah apakah dia juga mengenaliku?
**