TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #7

6

“Gimana sekolahmu hari ini?” Mama menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada masakannya. 


“Baik, kok.” Aku mengeringkan tangan setelah menaruh piring terakhir. 


“Mama sibuk banget belakangan ini. Maaf ya, Ta.”


Aku menoleh menatap mama. Mama yang masih dengan setelan kerjanya kelihatan lelah. Aku sedang di dapur saat mama pulang tadi. Rencanaku menyiapkan makan malam sebelum mama pulang tidak terlaksana. Kalau aku tidak kelamaan bengong di jalan tadi, aku sudah sampai rumah sebelum hujan deras. Semua gara-gara cowok itu. Jadi aku baru masuk dapur saat mama tiba di rumah. Melihat raut lelah mama, aku menyarankan agar dia istirahat saja sementara aku menyiapkan makan malam untuk kami. Tapi mama berkeras membantu. Akhirnya kami memasak berdua di dapur. Dan seperti sebelumnya, jadinya aku yang membantu mama, bukan mama yang membantuku. Karena kegiatan memasak delapan puluh persen dikerjakan mama dan aku sisanya. 


“Mama nggak perlu minta maaf, kan? Kalau ada yang perlu minta maaf itu dia, bukan mama.” Aku menunduk. “Mama nggak perlu kerja keras buat hidup kita kalau dia…”


“Ta.” Mama mengusap punggungku. “Kita sudah sering bicara ini, kan?”


Mataku memanas. Aku menahan napas supaya air mataku tidak keluar. Mengingatnya selalu membuatku emosional. Bagaimana tidak, kami dulu sangat dekat. Malah aku lebih dekat dengan papa daripada mama. Seperti kebanyakan anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka. Akupun begitu. Aku sangat mengagumi sosoknya yang tenang dan berwibawa. Ya, papa adalah idolaku.


Dulu, papa sangat mencintai aku dan mama. Baginya kami adalah dunianya. Aku kira kebahagiaan kami akan bertahan selamanya. Ternyata tidak. Lama kelamaan semuanya berubah. Papa mulai sibuk dan jarang ada waktu untuk kami. Sering tidak pulang dengan alasan ada tugas keluar kota dari kantornya, dan semakin lama alasan itu semakin dibuat-buat yang memicu keretakan keluarga kami. Pertengkaran-pertengkaran kecil mulai terjadi. Dan akhirnya terbongkarlah semuanya. Rahasia yang selama ini papa sembunyikan dengan rapi. Seperti bom waktu yang telah habis masanya, setelah meledak justru malah menghanguskan semuanya. Aku yang sangat mengagumi papa tidak dapat menyembunyikan kekecewaan setelah tahu kenyataan yang sebenarnya. Papa jahat. Sedih, kecewa dan sakit hati membuat sebagian hatiku mulai membenci papa. Aku tidak menyangka papa menyakiti mama. Dan sejak saat itu aku mulai menjauhinya. Aku tidak peduli raut kecewa papa saat melihatku menjauh. Menurutku itu belum sepadan dibanding sakit hati mama, juga aku.


Aku menunduk dan mendesah. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya lupa. “Maaf, ma.”


“Sebentar lagi siap.” Mama berusaha membangun kembali suasana ceria diantara kami. “Ambil piring gih!”


Aku segera mengangguk. Aku berusaha kembali ceria supaya usaha mama tidak sia-sia. Kasihan mama juga kalau aku terus terlihat sedih. Aku memang kecewa, tapi mama lebih kecewa. Aku sakit hati, mama lebih lagi. Dan sekarang yang mama punya hanya aku, aku akan selalu berusaha membuatnya tertawa lagi. Papa bisa menyakiti mama, tapi aku tidak akan melakukannya.


“Hmmm…” 


Mama langsung mengangkat kepala menatapku. “Kenapa, Ta?” Mama memang selalu bisa menebak isi pikiranku. “Ngomong aja.”


“Aku ada janji sama Sesil dan Amanda.”


“Kalian mau pergi?” Mama langsung bisa menebak.


Aku mengangguk. “Boleh nggak, Ma?”


Mama tertawa. “Boleh dong. Tapi pulangnya jangan malam-malam, ya?”




Sesil memarkir mobilnya. Mataku mengawasi kafe rekomendasi Sesil tempat nongkrong kami malam ini. Dilihat dari luarnya oke, sih. Nuansa anak mudanya sangat terasa. Sesil memang patut diacungi jempol kalau soal memilih. 

Lihat selengkapnya