TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #8

7

Aku meletakkan tas di bangku dengan tergesa. Hari ini aku sedikit kesiangan. Aku bangun tiga puluh menit lebih lambat dari biasanya. Bunyi alarm yang setiap hari kupasang dijam yang sama tidak bisa membangunkanku dari alam mimpi. Bahkan mama bilang lebih dari sekali menggedor pintu kamarku, tapi aku tidak kunjung keluar. Aku tidur nyenyak sekali.

Aku mendapati Sesil tengah bengong di bangkunya. Aku mencolek lengan Amanda, lantas menunjuk Sesil dengan isyarat gelengan kepala. “Itu kenapa, sih?”

Amanda mengedik. “Barusan ketemu cowok cakep kali. Mungkin jiwa dia lagi mengembara ngintilin cowok yang nggak sengaja dia lihat di pinggir jalan.”

Aku menutup mulut menahan tawa. Bisa jadi seperti itu mengingat sifat Sesil yang mudah banget kagum dengan apa yang dia temui. Dia tipe cewek yang mudah sekali terpesona tanpa syarat.

“Hai cewek-cewek cantik kesayangan gue.” Yoshua menyapa dengan semringah setelah menaruh tas di bangkunya. “Gimana weekend kalian? Kangen gue nggak? Pasti kangen dong.”

Amanda memutar bola mata malas. “Waktu gue lumayan berharga kalau cuma buat ngangenin elo.”

Yoshua mencibir. Tatapannya pindah pada Sesil yang masih bengong di bangkunya. “Ngapain dia?” Yoshua menunjuk Sesil dengan dagunya.

“Udah bikin PR belum?” Aku tidak menjawab pertanyaannya. Malah memberinya pertanyaan.

“Mana pernah dia ngerjain PR.” Amanda balas mencibir.

Yoshua mengedik tidak peduli. “Sil, pinjam PRnya, dong.” Dia mencolek lengan Sesil.

Tanpa disertai omelan panjang kali lebar kali tinggi seperti biasanya, Sesil langsung merogoh tasnya kemudian menyodorkan buku PRnya pada Yoshua. Padahal biasanya dia paling anti kalau Yoshua mencontek PRnya.

Yoshua melongo. Kemudian secepat kilat menyambar buku yang disodorkan Sesil. Takut cewek itu berubah pikiran. “Tumben lo baik.” Kekehnya.

“Kemarin kami ketemu sama cowok ganteng banget, deh.” Sesil tersenyum lebar. “Pokoknya dia hebat banget. Suaranya juga oke.”

“Dimana?” Tanya Yoshua sambil terus menyalin PR dari buku Sesil.

“Kafe,” jawab Sesil.

“Oh. Yang kalian ceritain itu, ya?” Yoshua mengangguk sambil terus menulis.

“Bukan. Yang ini lain lagi.” Sesil lantas menoleh pada Amanda. “Pokoknya keren benget. Iya kan, Man?”

“Iya.” Amanda mengangguk. “Untuk sekelas penyanyi kafe cowok itu terlalu keren. Lebih pantas jadi artis. Nggak percaya tanya aja sama Tita. Dia juga ikut, kok.”

Yoshua berhenti menulis. Dia membalikkan badan menatapku dengan kening berkerut. “Lo juga ikut, Ta?” Ada nada tidak yakin dalam suaranya.

“Tita ikut, kok.” Sesil mewakiliku menjawab. “Tita aja sampai terpesona, kok. Iya kan, Ta?”

“Hmm.” Aku mengerutkan bibir. “Biasa aja, kok.”

“Apa?” Seru Sesil tidak terima. “Masa seganteng itu lo bilang biasa aja, sih.” Sesil cemberut.

“Hei, kenapa lo sewot sih, Sil,” sahut Yoshua. “Tita ngomong berdasarkan penilaian dia, kok. Kriteria ganteng tiap orang kan beda-beda. Iya kan, Ta?” Aku asal mengangguk saja mendengar pembelaan Yoshua.

“Nggak bisa gitu, dong.” Sesil masih terlihat kesal. “Tita pasti bohong. Orang dia juga asyik menikmati sampai selesai, kok. Gue bisa bedain mana tampang terpesona mana yang nggak.” Astaga, Sesil ngotot banget, sih. Tapi yang dia bilang benar juga, kok. Aku saja yang malu mengakui.

“Gue cuma kaget aja waktu itu.” Aku meringis.

“Bohong, deh,” sahut Sesil. Kelihatannya rasa kesalnya belum hilang.

“Udah, deh,” Amanda menengahi. “Lo terpesona banget sama cowok itu kemarin, jadi kamu nggak perhatiin ekspresi Tita waktu disana.”

Sesil memutar bola matanya ke atas, kemudian mendesah sebal.

“Maaf, deh.” Aku menangkupkan tangan pada Sesil. “Lo yang bilang kalau penilaian gue tentang cowok nggak bisa dipercaya, kan?”

Sebelum Sesil beraksi, Yoshua lebih dulu melompat dari kursinya. “Sialan, dikit lagi kelar. Pak Mus keburu datang,” omelnya. “Alamat dihukum lagi, nih.”

Lihat selengkapnya