Awalnya Sesil dan Amanda akan langsung pergi setelah menurunkanku di parkiran supermarket. Entah kenapa dia jadi berubah pikiran. Sesil ikut masuk. Mau tidak mau Amanda ikut masuk juga karena dia pulang dengan Sesil.
Sesil sesekali celingukan. Sebenarnya apa yang sedang dicarinya? Aku kenal betul dia. Kalau sedang tidak ada maunya, Sesil tidak akan betah membuntuti orang yang sedang belanja seperti ini. Sesil mengedarkan pandangannya ke sekeliling seperti sedang mencari sesuatu.
“Lo lagi cari apaan sih, Sil?” Aku tidak tahan untuk tidak bertanya. Aku semakin penasaran dengan tingkahnya.
Sesil menggeleng. “Nggak, sih. Tadi pas di parkiran kayaknya gue lihat Rayhan masuk sini, deh. Tapi di dalam kok nggak ada, ya?”
Astaga. Jadi itu maksudnya dia mengikutiku sampai ke dalam. “Salah lihat kali.”
“Nggak. Beneran dia, kok.” Sesil sekali lagi mengedarkan pandangan. Amanda hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Sesil. Aku mengedik saat tatapanku dengan Amanda bertemu.
“Apalagi yang perlu dibeli, Ta?” Tanya Amanda sambil mendekat. Aku menunjukkan catatan yang kupegang.
“Eh, itu dia.” Aku dan Amanda spontan mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Sesil. “Benar kan gue bilang. Gue lihat dia masuk kesini tadi. Gue nggak mungkin salah lihat.”
Amanda terlihat mendesah bosan, lantas mengarahkan bola matanya ke atas. “Astaga, Sesil. Dia belum jadi artis aja lo udah heboh gini, gimana ntar kalau dia udah jadi artis papan atas? Bisa-bisa lo nginep bikin tenda di depan apartemen dia. Jangan lupa bawa kompor sama panci. Kalau lapar lo tinggal nyalain kompornya bikin indomie sambil nungguin dia pulang.”
Aku tidak dapat menahan tawa mendengar kalimat sarkas Amanda.
Sesil mengedik tidak peduli. “Kalau terus nggak sengaja ketemu gini, berarti jodoh, dong.”
“Nenek elo yang bilang?” Amanda menoyor kepala Sesil. Sesil nyengir.
“Eh, dia hidup sendiri, ya?” Ujarnya sambil terus memperhatikan Rayhan memilih barang di rak. “Samperin, yuk. Nggak sopan kalau udah kenal kalau ketemu nggak menyapa.” Tanpa menunggu persetujuan Amanda, Sesil menarik lengannya menghampiri Rayhan.
“Kalian aja, deh,” aku langsung menolak. “Masih ada yang harus dibeli.” Tanpa menunggu jawaban mereka berdua, aku berbalik ke arah yang berlawanan.
“Hai, ketemu lagi disini. Lagi belanja?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan Sesil. Apa dia tidak bisa memikirkan pertanyaan lain selain itu? Kalau berada disini jelas belanja, dong. Masa mau nonton. Ada-ada saja dia.
“Belanja juga?”
“Cuma ngantar teman.” Kali ini Amanda yang menjawab. “Dia lagi milih barang disitu.” Aku cepat memalingkan wajah menghindar. Aku yakin Amanda pasti menunjuk tempatku berdiri. Aku pura-pura tidak mendengar, sibuk memilih barang yang akan aku beli.
“Oh,” Rayhan menjawab pendek. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang mereka bicarakan. Biar saja mereka asyik ngobrol, aku tidak berniat ikut bergabung. Bukannya tidak tertarik, tapi aku tidak mau terlihat salah tingkah di depan mereka. Aku bisa saja bersikap biasa saja, tapi detak jantungku terus meningkat kalau dekat dengan Rayhan. Aku tidak bisa bohong kalau aku tertarik pada cowok itu.
Aku menghela napas, lantas bergerak sedikit menjauh. Aku menuju rak makanan instan. Aku penyuka segala jenis mie. Meskipun mama sering mengomel karena aku sering mengkonsumsinya, aku tetap harus memiliki stok di rumah. Aku hanya akan membeli satu atau dua saja. Ya ampun, kenapa ditaruh di rak paling atas, sih. Ditumpuk pula. Jadi susah ambilnya, kan.
Aku berjinjit dan mengulurkan tangan. Karena sulit menggapai tumpukan paling atas, tubuhku sedikit oleng. Ditambah lagi rasa kaget waktu tanganku menyentuh tangan seseorang yang akan mengambil cup mie yang berderet sejajar dengan mie yang akan aku ambil.
Karena kaget, spontan aku menurunkan tangan dengan cepat sampai sikuku membentur pundaknya. “Maaf, maaf.”