TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #10

9

Suara ini seperti suara kucing semalam. Aneh sekali. Suara itu terdengar tidak begitu jauh. Aku pasti mimpi. Ya, ini mimpi. Aku hanya merasa bersalah karena membiarkan kucing malang itu. Sehingga aku masih merasa mendengar suaranya. Ya, pasti begitu. Aku menarik selimut, semakin membenamkan kepala ke bantal.


Suara kucing itu belum hilang juga. Sekarang malah terdengar jelas. Sepertinya dia berada di dekat sini. Setahuku di sekitar sini tidak ada yang memelihara kucing. Jadi suara itu pasti berasal dari kucing semalam. Aku menyibak selimut. Niatku untuk bangun lebih siang gagal gara-gara suara kucing itu. Beberapa saat setelah tiba di rumah, aku kembali ke tempat kucing itu semalam. Tapi kucing abu-abu kecil itu sudah tidak ada lagi disana. Aku tidak tahu kucing itu pergi atau ada yang memungutnya untuk dipelihara.



Rumah sudah sepi waktu aku keluar kamar. Mama pasti sudah berangkat ke kantor. Hari Sabtu begini mama lebih sering mengambil lembur. Dia baru akan full di rumah hari Minggu. Aku tidak menyalahkan mama, sih. Soalnya kebutuhan kami banyak. Dan kami hanya menggantungkan diri dari gaji bulanan mama. Papa memang masih mengirim jatah bulananku melalui mama. Tapi aku tidak pernah mau menerimanya. Mungkin karena rasa kecewaku padanya teramat besar. Memang sampai saat ini aku belum bisa memaafkan papa meskipun mama berulang kali menyarankan untuk berdamai dengan keadaan. Tapi entah kenapa aku belum bisa. Rasanya masih berat.


Dapur sudah rapi dan bersih. Mama pasti sudah merapikannya sebelum berangkat. Sepiring nasi goreng hangat dengan telur mata sapi diatasnya tersedia di meja makan. Aku jadi merasa bersalah pada mama, seharusnya aku membantunya tadi. Aku jadi menyesal bangun terlambat hari ini.


Aku membuka kulkas, mengambil sebotol air mineral lantas menenggaknya hingga tandas. Rumah sebelah tampak jelas terlihat dari jendela dapur. Tapi tunggu, kenapa gorden jendela rumah itu terbuka? Apakah ada yang menempati rumah itu sekarang? Kapan, ya?


Itu, kan… Aku bergerak mendekati jendela. Jendela yang letaknya sejajar membuatku mudah melihat ke jendela rumah sebelah. Kucing abu-abu semalam berdiri di dekat jendela dengan menggoyangkan ekornya. Syukurlah kucing itu ada yang memelihara sekarang. Kasihan kalau terlantar. Kucing itu bukan jenis kucing liar yang bisa bertahan hidup di alam bebas dan mengais makanan dari tempat sampah. Nanti aku akan membeli makanan untuk kucing itu sekaligus berkenalan dengan tetangga baru. Aku rasa itu ide bagus.




Aku berdiri mengamati pintu rumah sebelah yang tertutup rapat. Aku jadi ragu untuk mengetuknya. Mengganggu tidak ya kalau sepagi ini aku datang berkunjung? Apalagi sekarang weekend. Sebagian orang lebih suka bermalas-malasan saat akhir pekan begini.


Aku spontan melompar mundur saat pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Pemilik rumah keluar dengan membawa plastik sampah di tangannya. Tunggu dulu! Aku tidak salah lihat, kan? Aku sudah bangun tadi, aku juga sudah mandi bahkan sudah berjalan sampai minimarket depan komplek. Jadi tidak mungkin aku masih bermimpi. Jadi penghuni baru rumah ini…


Dia mengernyit menatapku. Dan yang lebih menyebalkan lagi dia melihatku dengan tatapan yang menurutku aneh. Atau itu hanya perkiraanku saja karena aku terlalu kaget?


“Se… selamat pagi,” aku menyapanya lebih dulu. “Ru… rumahku di sebelah.”


“Oh, tetangga sebelah. Ada apa?”


Aku nyengir. “Aku dengar ada yang tinggal di sebelah rumah.”


“Jadi?”


Aku melongo. Cowok ini maksudnya apa, sih? Tidak ada ramah-ramahnya sama sekali. Apa dia tidak pernah belajar menghormati tamu? Menyebalkan. “Aku…”


“Sebentar,” potongnya tidak sopan. “Aku buang ini dulu.” Dia mengangkat sedikit tinggi kantong plastik hitam di tangannya. Tidak lama kemudian dia kembali. “Kamu tadi mau ngomong apa?”


Astaga, cowok ini menyebalkan sekali. Kalau tidak ingat etika kesopanan, aku akan melepas sandalku dan melemparkan padanya. Dia sangat M-E-N-Y-E-B-A-L-K-A-N. Semuanya ditulis dengan huruf kapital dan ditebalkan.


“Aku melihat kucing itu dari jendela,” aku menjelaskan supaya dia tidak salah sangka dengan kedatanganku ke rumahnya pagi ini.


“Hmm, kebetulan sekali,” gumamnya.

Lihat selengkapnya