TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #11

10

“Ada apa, sih?” Aku meletakkan sebotol air mineral di meja. “Seru banget kelihatannya.”


Amanda menggeser duduknya memberiku tempat. “Sesil, katanya dia sering ke tempat Rayhan,” jawab Amanda.


Sesil nyengir sambil menggaruk kepalanya. “Tapi dia orangnya disiplin banget. Jadi dia nggak mau diajak ngobrol kalau lagi kerja. Nyebelin, kan?”


Amanda berdecak. “Ya, iyalah. Emang dia mau kena tegur bosnya cuma buat melayani lo ngobrol nggak penting. Yang benar saja.”


Aku hanya menyimak obrolan mereka tanpa mau berkomentar. Aku juga belum memberitahu Sesil dan Amanda kalau ternyata Rayhan yang menghuni rumah kosong di sebelah rumahku. Aku rasa mereka tidak perlu tahu. Tidak penting.


Tiba-tiba Yoshua datang bersama Ale, teman seperguruannya dan langsung menyerobot teh botol di depan Amanda. “Apa-apaan, sih, Yosh,” Amanda langsung protes. “Lo bisa ambil sendiri, kan? Main serobot punya orang aja, sih.”


“Maaf, maaf.” Mulutnya minta maaf, tapi teh botol milik Amanda tetap diminumnya sampai tandas. “Gue haus banget ini.” Yoshua nyengir lantas mengelus tenggorokannya.


Amanda mendelik. “Ngapain kesini, sih? Pergi sana!” Usirnya.


“Ini kantin bukan punya nenek lo, enak aja main usir,” Yoshua mencebik. Bukannya pergi dia malah menarik kursi, bergabung denganku, Sesil, dan Amanda. “Kalian nggak bosan-bosannya sih ngomongin soal Rayhan?”


Ale yang duduk di sebelah Yoshua tertawa. “Waah, lo jadi hafal, ya.”


“Gimana nggak hafal, tiap hari itu melulu yang mereka omongin, sih,” Yoshua mengedik.


“Gue jadi penasaran, nih, sama yang namanya Rayhan-Rayhan itu. Pengen lihat orangnya kayak apa sih sampai Sesil heboh gitu. Weekend kesana, yuk?” Kata Ale.


“Ogah,” sambar Yoshua cepat. “Gue nggak tertarik sama sekali. Palingan juga kerenan gue kemana-mana.”


Sesil langsung mencibir. “Iya, kerenan elo kalau nenek lo yang bilang. Ganggu aja, sih. Pergi sana.” Sesil membuat gerakan tangan mengusir. Tapi Yoshua tidak peduli. Dia malah memesan semangkuk bakso dan sebotol air mineral.


“By the way, gawat juga toko buku itu,” Sesil terus bercerita tanpa peduli cibiran Yoshua. “Sekarang banyak cewek-cewek yang datang cuma buat lihat Rayhan. Gue nggak heran, sih. Memang dia cakep banget.”


“Mendengar dari cerita elo,” Yoshua menimpali. “Kelihatannya lo kenal dekat sama Rayhan-Rayhan itu, ya? Lo naksir, Sil?”


Aku spontan menatap Sesil tidak sabar ingin mendengar jawabannya. Benarkah Sesil menyukai Rayhan?


Sesil tidak menjawab. Dia hanya mengedikkan bahunya.


“Kalau memang Rayhan sekeren itu, lo bakalan banyak saingan, dong?” Yoshua terbahak. “Klasik banget sih, Sil. Dari jaman pra sejarah sampai autobot ingin menguasai bumi tetap aja sama ceritanya. Cewek naksir cowok keren yang ditaksir banyak cewek. Lo nggak pengen yang lebih antimainstream gitu, Sil?”


Sesil mengarahkan bola matanya ke atas menanggapi kalimat Yoshua. “Udah hukum alam kalau cowok keren itu banyak yang naksir. Menarik perhatian cowok populer yang diminati banyak cewek itu tantangan. Elo mana ngerti, sih. Yang naksir elo kan nggak ada.” Sesil tertawa diikuti Amanda.


“Sialan,” omel Yoshua.


“Nggak usah nyinyir, deh,” timpal Amanda. “Lo kasih Sesil semangat. Dia kan harus berusaha semaksimal mungkin kalau mau menarik perhatian Rayhan.”


“Hmmm, Sil.” Aku menatapnya sebentar, lantas kembali menunduk pura-pura sibuk dengan kotak bekalku. “Apa lo beneran suka sama cowok itu? Atau cuma suka seperti penggemar biasa?”


Sesil mengernyit mendengar pertanyaanku. “Eh, memangnya kenapa, Ta?” Dia balas bertanya.


“Sebaiknya lo menyukai dia cuma sebatas ngefans aja.” Aku menarik napas. Semoga yang aku katakan ini tidak menyinggung perasaan Sesil. Aku tahu sih kalau Sesil bukan cewek sensitif yang mudah tersinggung, tapi bisa jadi dia tersinggung setelah mendengarnya. “Menurut gue kalau lo suka cowok itu, dalam arti lo naksir dia, lo pasti akan kecewa ntar. Menurut gue, cowok itu tipe cowok yang cuma mikirin dirinya sendiri.”


Sesil spontan memindahiku. Keningnya berkerut menandakan keheranannya. Tidak hanya Sesil, Amanda dan yang lainnya pun menatapku heran.


“Kok bisa?” Sesil menatapku. “Kenapa lo bisa tahu?”

Lihat selengkapnya