“Mas Ray!” Dia menoleh mendengar seruan Sesil. Dengan antusias Sesil langsung berlari mendekat. Tatapan kami bertemu sebentar. Kemudian Rayhan mengalihkan perhatiannya pada Sesi. “Ngapain disini?”
“Kebetulan sedang lowong, jadi aku ajak kucing itu jalan-jalan.” Rayhan menjelaskan. “Di tengah jalan dia lepas, lalu masuk sini. Hmm…, jadi ini sekolah kalian, ya?”
“Lucu banget. Ternyata Mas Ray penyuka binatang juga, ya?”
“Nggak juga. Karena nggak ada yang mungut dia, jadi aku bawa dia ke rumah.”
“Kucing selucu ini dibuang?” Aku melirik Amanda yang mengarahkan bola matanya ke atas mendengar kalimat Sesil. Aku dan Amanda tahu Sesil bukan penyuka binatang, termasuk kucing. “Kapan itu? Dimana, sih? Duh, aku jadi kepo, deh.”
Rayhan tersenyum sambil melirikku. “Rahasia.”
“Oh, jadi itu yang namanya Rayhan-Rayhan itu, ya?” Aku tidak tahu sejak kapan Yoshua berdiri di dekatku. Huh, bikin kaget saja!
“Oh, jadi itu ya,” Ale menimpali. “Ganteng, sih. Lebih ganteng dari bayangan gue. Pantesan Sesil heboh tiap kali cerita tentang cowok itu.”
Yoshua menoyor kepala Ale pelan. “Memangnya lo tertarik juga?”
“Sialan,” omel Ale. “Gue cuma kasih komentar menurut sudut pandang gue.”
Yoshua berdecak. “Begitu doang. Itu sih bukan apa-apa.” Yoshua mengayunkan langkah menjauh diikuti Ale.
Diluar dugaan kucing itu tiba-tiba berlari mendekat setelah melihatku. Dia lantas menggosokkan bulunya di kakiku. Aku spontan melangkah mundur. Kucing itu masih ingat padaku. Ternyata binatang juga mempunyai daya ingat yang tajam.
“Eh, Ta.” Amanda mencolek lenganku. “Kelihatannya lo akrab banget sama kucing ini “
“Lo pernah ketemu kucing ini?” Sesil menatapku heran.
“Eh, itu…” Ya ampun, kenapa tiba-tiba gugup begini, sih? Tinggal menjawab saja tidak sulit, kan? Apalagi waktu melihat Rayhan terus memperhatikanku dengan sedikit menarik bibirnya.
Aku jadi teringat terakhir kali kami bertemu dan mengobrol. Setelah mengucapkan kalimat aneh, aku langsung pergi dari rumahnya tanpa basa-basi lebih dulu. Benar-benar tamu tidak sopan. Aku yakin dia masih ingat kejadian itu. Dan itu membuatku enggan berinteraksi dengannya lagi.
“Ini jantan, kan?” Untung saja Sesil segera mengalihkan perhatian. “Dikasih nama siapa?”
“Belum,” jawab Rayhan singkat dengan tatapan mata terus mengarah padaku. Apa-apaan dia itu. Tatapannya seolah aku harus ikut bertanggung jawab atas kelangsungan hidup kucing itu. Dia yang memungut kucing itu, jadi kucing itu miliknya. Jadi aku tidak sangkut pautnya dengan kucing itu.
“Masih belum dikasih nama?” Sesil menggendong kucing itu.
Amanda bersedekap. “Anak itu kerasukan roh kucing, deh. Dia kan nggak suka binatang.”
“Mungkin kucing pengecualian,” jawabku.
Amanda berdecak. “Gue temenan sama dia sejak SD. Jadi gue tahu banget.”
Aku mengedik.