Waktu itu mendung, gerimis lagi. Tapi nggak tahu kenapa aku merasa pemandangan waktu itu indah banget. Ternyata pertemuan singkat itu Rayhan mengingatnya. Seharusnya aku merasa senang karena itu berarti dia menaruh perhatian padaku meskipun itu kecil. Namun rasa senang yang aku rasakan beriringan dengan kecewa dan sakit hati yang kembali timbul ke permukaan. Dia tahu. Rayhan tahu semuanya.
Aku mengintip rumah sebelah melalui jendela samping. Sepi. Sepertinya dia belum pulang. Tadi pagi aku melihat Rayhan berangkat kerja, itu berarti dia mendapat giliran jaga pagi. Aku tadi mengintip lewat jendela waktu dia lewat di depan rumah. Bukankah seharusnya dia sudah pulang sekarang? Apa toko buku sangat ramai sehingga dia harus mengambil lembur? Kemana dia pergi sepulang kerja?
Astaga, apa sih yang aku pikirkan? Bisa-bisanya aku mikirin orang lain yang jelas-jelas orang itu tidak peduli padaku. Buang-buang energi saja!
***
Untung saja Amanda maupun Sesil tidak membahas kejadian kemarin. Semoga saja mereka sudah lupa. Beruntung karena terhalang hari libur, jadi ada jeda untuk aku tidak bertemu Sesil dan Amanda. Sejak berangkat tadi aku sudah khawatir kalau Sesil atau Amanda akan bertanya kenapa aku tiba-tiba berlari pulang tanpa pamit pada mereka. Amanda juga tidak membahas kata-kataku waktu itu. Dan semoga saja dia tidak akan pernah bertanya.
Sampai bel pulang pun tidak ada satupun dari mereka yang membicarakan tentang hari Jumat kemarin. Sesil juga tidak heboh menceritakan Rayhan begini, Rayhan begitu seperti biasanya. Begitupun Yoshua dan Ale yang sempat penasaran seperti apa cowok idola Sesil yang bernama Rayhan setelah akhirnya mereka bertemu. Yoshua maupun Ale tidak menyinggungnya sedikitpun.
Rumah masih sepi begitu aku sampai. Mama tidak memberitahu akan pulang telat. Berarti jam kepulangan mama jam delapan seperti biasanya. Aku spontan mendekat ke jendela samping begitu masuk ke dalam. Sepertinya ini menjadi kebiasaan baruku, mengintip tetangga sebelah. Lucu bukan? Kadang aku melihat Rayhan mondar-mandir di dekat jendela, tapi lebih sering aku tidak melihat apapun karena gorden jendela rumah Rayhan ditutup. Semoga hari ini Rayhan berdiri di dekat jendela sehingga aku bisa melihatnya. Sejak pertemuan terakhir kami Jumat kemarin, kami belum bertemu lagi. Ya, meskipun aku mengintipnya melalui jendela kalau dia lewat tapi tetap saja berbeda. Rasa deg-degannya tetap sama, sih, tapi tetap saja berbeda.
Gorden jendela Rayhan terbuka. Apakah dia ada di rumah sekarang? Eh, tunggu. Bukankah itu Ray tertelungkup di dekat jendela. Tapi kenapa dia tidak bergerak? Aku menyipit menajamkan pandangan memperhatikan yang tampak di rumah sebelah. Benar, tidak bergerak. Jangan-jangan terjadi sesuatu…
Secepat kilat aku melesat keluar dan langsung menggedor pintu rumah Rayhan. “Apa kamu di dalam? Kamu di rumah nggak?”
Tidak ada jawaban. Aku takut kalau aku berteriak sekali lagi akan mengundang tetangga datang melihat. Gawat kan kalau sampai ada yang datang dan melihatku sedang menggedor-gedor pintu rumah laki-laki lajang. Pasti jadi bahan omongan panas waktu para ibu-ibu berkumpul mengerubungi tukang sayur.
“Ya ampun, kenapa saat gawat kayak gini pintunya malah dikunci sih?” Kataku panik setelah tidak mencoba membuka pintu yang ternyata masih terkunci. “Apa dia belum pulang, ya? Gimana, dong?” Aku mondar-mandir di teras rumah Rayhan dengan panik. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke depan kompleks mencari tukang ojek yang mengantarku ke toko buku tempat Rayhan bekerja. Saking paniknya aku lupa mengganti seragam sekolahku.
Tanpa memperdulikan tatapan heran tukang ojek, aku melesat masuk ke dalam toko buku. Rayhan terlihat sibuk di depan mesin kasir. Antrian di depannya mengular. “Terima kasih. Saya tunggu kunjungan Anda berikutnya,” katanya ramah pada salah satu pembeli. Kata-kata yang aku hafal diluar kepala jika mengunjungi toko ini.
Aku langsung menuju antrian terdepan tanpa memperdulikan omelan orang-orang yang aku serobot antriannya. Rayhan mengernyit melihatku tiba-tiba ada didepannya. “Ada apa?”
“Cepetan pulang,” seruku tanpa peduli tatapan heran pengunjung lainnya. “Kayaknya kondisi Ray lagi nggak beres. Aku lihat dia nggak bergerak di dekat jendela.”