TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #14

13

Bisa jadi hari ini hari keberuntunganku. Ya, meskipun aku tadi bangun kesiangan dan tidak sempat menyiapkan bekal sehingga harus berdesakan di kantin. Tidak beruntung bagaimana, hari ini batal ulangan. Sebenarnya aku tidak begitu siap, sih. Bukan aku tidak belajar semalam. Aku belajar, kok. Sampai hampir tengah malam malah. Cuma masalahnya aku sulit konsentrasi. Gara-gara siapa lagi kalau bukan dia, tetangga sebelah rumah yang meresahkan. Memang cuma aku sih yang bilang meresahkan, padahal kenyataannya seluruh penghuni kompleks bilang kalau Rayhan cowok baik, sopan dan satu lagi, ramah. Astaga, aku selalu memutar bola mata kalau mendengar ibu-ibu kompleks sedang membicarakan Rayhan waktu berkumpul di tukang sayur langganan.


Keberuntunganku yang kedua, aku selamat tidak ketahuan menyusup ke rumah Rayhan tadi pagi. Mungkin kata menyusup terdengar kurang sopan, aku kan hanya berniat melihat keadaan si Ray. Perlu dicatat, Ray disini Ray si kucing abu-abu lucu itu, bukan Rayhan. Ini gara-gara Sesil, kenapa dia memberi nama sama dengan pemiliknya. Rayhan juga, kenapa dia setuju-setuju saja dengan nama yang diusulkan Sesil. Huh, ada-ada saja. Aku tidak tahu kalau si Ray, maksudku kucing itu, tidur di dalam kamar bersama Rayhan. Aku kira dia tidur di ruang tengah seperti biasa. Jadi bukan salahku kalau aku masuk ke kamar Rayhan, kan? 


Aku hampir menjerit waktu Rayhan tiba-tiba membuka mata. Jantungku langsung melorot sampai lutut saking kagetnya. Pasti dia akan melabeliku sebagai cewek aneh bin sinting yang tidak tahu tata krama pagi-pagi begini menyusup ke rumah laki-laki lajang yang tinggal sendiri. Atau julukan tetangga meresahkan berbalik padaku. Setelah ketakutan setengah mati akhirnya aku bisa bernapas lega. Ternyata Rayhan cuma mengigau. Ya ampun, bikin jantungan saja. Rayhan terlihat menggumamkan sesuatu, lantas beralih posisi tidur. Aku tidak dapat menahan tawa. Aku segera menutup mulutku dengan tangan supaya tawaku tidak sampai menghambur keluar. Benar-benar gawat kalau Rayhan sampai terbangun hanya gara-gara mendengar tawaku. 


Aku mengamati wajahnya sebelum pergi. Waktu pulas seperti ini dia terlihat polos. Tapi akan jadi menyebalkan kalau waktunya tiba. Sebenarnya orang macam apa dia ini? Dan layaknya Detektif Conan, aku mengamati keadaan sekitar rumah Rayhan. Setelah aku rasa aman, tidak ada yang melihat, aku langsung melesat ke sekolah. Ya Tuhan, aku tadi ngapain, sih?


“Ta.” Amanda mencolek lenganku. “Kelihatannya lagi senang.”


“Siapa?” Aku memasang raut bingung.


“Ya elo lah.”


“Gue?” Telunjukku mengarah ke hidungku sendiri. Apa benar aku terlihat aneh hari ini?


“Ada apaan, sih?” Amanda merapat. “Cerita, dong!”


“Eh, Sesil mana?” Aku sengaja mengalihkan obrolan. 


“Tuh, kan,” Amanda berdecak. “Asyik banget ngelamun, sih sampai nggak dengar Sesil pamit ke toilet.” Amanda memiringkan kepalanya. “Ada apaan, sih? Lagi senang, ya?”


Aku menggerakkan dua tangan di depan dada. “Nggak, kok. Nggak ada apa-apa.”


“Beneran?” Tatapan mata Amanda menyelidik.


“Iya.”


“Awas bohong.”


Aku nyengir. “Nggak!”


“Ada apaan, sih?” Sesil mendekat diikuti Yoshua dan Ale yang tertawa-tawa di belakang Sesil. Aku dan Amanda serempak menggeleng.


“Hei, ladys, mau dengar cerita nggak?” Yoshua menarik kursi bergabung di mejaku dan Amanda. “Sesil…”


Sesil mendelik. “Eh, lo jangan ngarang cerita, ya?”


“Mana ada,” sahut Yoshua. “Kan elo sendiri yang bilang.”


“Sialan,” Sesil mengomel. “Nyesel banget gue cerita sama elo. Mulut lo ember ngalahin tante-tante lagi pms.”


“Apaan, sih?” Tanyaku penasaran.


“Sesil…” Yoshua melanjutkan tanpa peduli Sesil yang cemberut. “Katanya dia diacuhin sama si Dia.” Yoshua menghamburkan tawa. 


“Apaan! Itu nggak benar,” sambar Sesil.


“Ada apa, sih?” Tanya Amanda menatap Sesil dan Yoshua bergantian.


“Si Sesil…,” lanjut Yoshua. “Dia bilang dia berkali-kali tanya alamat rumah sama nomor ponsel si Rayhan. Tapi dicuekin. Kasihan, kan?” Yoshua tertawa ringan berbanding terbalik dengan kalimatnya.


Jadi begitu. Percaya, sih, soalnya Rayhan itu memang cuek, apalagi sama cewek. Kalaupun dia memberi senyum, senyumnya tipis banget kayak bawang goreng yang diiris tipis-tipis. Aku tidak pernah melihatnya kegenitan sama cewek. Bagus, sih, kalau begitu kan aku jadi tenang. Astaga, mikir apa aku ini? Kenapa aku jadi ge er hanya karena dia pernah memberiku kunci masuk ke rumahnya. Padahal sama seperti Sesil, aku juga tidak tahu nomor ponselnya. Kalau aku minta pun belum tentu dia mau memberi tahu.


Sesil mengarahkan bola matanya ke atas. “Cowok cakep memang harus gitu, kan? Mahal. Nggak kayak elo, diobral pun nggak bakalan laku.”


Lihat selengkapnya