TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #15

14

Cuaca terasa makin panas. Tanpa disadari musim hujan akan segera berakhir. Musim hujan kali ini dipenuhi dengan kejadian-kejadian tidak terduga. Pertama kali bertemu Rayhan, dan anehnya bukan itu saja. Hampir semua pertemuanku dengan Rayhan dibarengi dengan gerimis yang mulai turun. Seperti katanya, banyak kebetulan di dunia ini. Dan itu benar.


Kantor mama mengadakan gathering di puncak. Jadi aku harus menyiapkan makan malamku sendiri kali ini. Terlalu repot kalau harus memasak, lagipula kekuatan makanku tidak seberapa. Sayang kalau banyak sisa, nanti ujung-ujungnya aku buang juga. Jadi aku lebih memilih membeli makan malam di luar. 


Tadi sepulang sekolah aku menawarkan pada Sesil dan Amanda untuk menginap. Ya, kalau mereka sedang tidak ada acara keluarga di akhir pekan seperti ini. Tapi Sesil bilang ada acara keluarga di rumahnya. Kakaknya akan memperkenalkan calon istrinya malam ini. Amanda sempat menyetujui tadi, tapi dia membatalkan karena ada acara mendadak. Alhasil, aku benar-benar melewati malam ini sendirian. Ok, tidak apa-apa. Aku akan makan pizza dan pesta soda sampai kembung sendirian. 


Mumpung keluar, sekalian aku akan membeli novel untuk Sesil. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf atas sikapku yang kelewatan kemarin. Sesil sudah tidak mempermasalahkannya lagi sih, cuma aku masih sedikit tidak enak padanya. Sesil benar, aku tidak punya alasan tidak menyukai Rayhan. Seharusnya aku tidak menghubungkan masalah pribadiku dengan cowok itu. Ya, tapi mau gimana lagi, melihat mata Rayhan yang dipenuhi impian mengingatkanku pada rasa kecewa yang ditorehkan papa. 


Aku melihat jam di ponsel lantas mengantonginya kembali. Belum terlalu malam. Aku akan mampir ke toko buku dan membeli novel untuk Sesil. Toko buku terlihat lengang setelah aku masuk. Tumben di jam seperti ini sudah sepi.


“Novel yang judulnya….”


Rayhan menoleh. “Maaf, toko sudah tutup.”


Apa? Ini kan masih sore. Apalagi ini weekend. Apa pemilik toko buku ini sedang tidak butuh uang sehingga toko ditutup sesore ini? “Oh, baiklah. Lain kali saja.” Aku memutuskan berbalik dan pergi. 


“Judulnya apa, Ta?” 


Pertanyaan Rayhan membuat ayunan kakiku berhenti. Aku berbalik dan bertanya ragu. “Eh, sudah mau tutup, kan? Nggak apa-apa. Besok aja.”


“Masih ada sedikit waktu,” jawabnya ringan. Rayhan meninggalkan meja kasir. “Yuk, aku bantuin cari.”


Aku nyengir. “Jadi ngrepotin, deh.”


“Judulnya apa?”


Aku menyebutkan judul novel yang aku cari, lantas mengikuti Rayhan mencari di rak. 


“Kayaknya disini,” dia berhenti. Dia mengamati isi deretan novel yang berjajar rapi di rak. “Kok nggak ada, ya?”


“Sudah habis, ya?”


“Bentar, mungkin di gudang masih ada.” Rayhan menuju pintu di ujung lorong.


“Eh.” Aku memburunya. “Kalau nggak ada nggak apa-apa, kok. Aku bisa beli kalau udah naik cetak lagi.”


Aku yakin dia pura-pura tidak mendengar. Dia terus menuju pintu gudang dan membukanya. Mau tidak mau aku mengikutinya masuk.


“Hmmm, gimana kabar si Ray. Maksudku kucing itu.” Aku membuntutinya dari belakang. “Dia baik?”


“Sudah segar bugar,” jawabnya pendek tanpa mau repot-repot menoleh. 


“Syukurlah.”

 

Rayhan tiba-tiba berhenti membuatku menabrak punggungnya. Aku spontan melangkah mundur setelah mengucapkan maaf. Dia merogoh saku celananya, menyodorkan dua lembar uang kertas berwarna merah padaku. 


“Ini ganti biaya ke dokter hewan waktu itu. Sori, baru kasih sekarang. Kayaknya kamu sibuk banget, jadi jarang kelihatan di luar rumah."


Aku menggerakkan dua tangan di depan dada. “Eh, ngga… nggak usah.”


“Terima aja. Aku yang makasih udah dibantuin ngurus si Ray.” Rayhan memegang tanganku dan meletakkan uang itu. “Makasih.”


“Eh, iya.” Aduh, mulai lagi. Jantungku rasanya mau lompat keluar saat kulit kami bersentuhan. Ya ampun, semoga saja kulit wajahku tidak berubah jadi ungu sekarang. 


Lihat selengkapnya