TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #16

15

Sunyi. Yang terdengar hanya suara dari detak jantungku yang aku harap hanya aku sendiri yang mendengarnya. Memalukan kalau sampai Rayhan ikut mendengar. Bisa-bisa dia berpikir aku cewek menggelikan dan norak. Baru dekat begini saja sudah deg-degan. 


Bukan tanpa alasan aku tidak bisa mengontrol detak jantungku. Aku rasa siapapun pasti merasakan hal yang sama kalau berdekatan dengan cowok yang disukainya. Itu wajar, kok. 


Rak-rak buku membentuk siluet hitam memanjang pada tembok. Cahaya yang menerangi kami hanya berasal dari senter di ponselku. Untung saja aku sempat meng-charge sampai penuh sebelum aku keluar tadi. Jadi bisa bertahan sampai pagi.


Hening. Entah sudah berapa lama kami saling diam. Sepertinya Rayhan tidak berminat membangun percakapan lebih dulu. Dia lebih senang membolak-balik buku di tangannya. Sesekali mendekatkan bukunya ke cahaya ponsel, sebentar kemudian kembali ke posisi semula. Aku sendiri bingung harus mulai darimana. Aku bukan tipe cewek yang mudah menarik perhatian lawan bicara yang bisa dengan mudah menemukan topik yang menarik untuk dibahas. Aku lebih sering mengikuti arus yang sudah dibangun dan sesekali memberi komentar kalau dibutuhkan. Membosankan? Mungkin iya. Mungkin itu juga sebabnya Rayhan tidak mengajakku mengobrol sejak tadi. Aku bukan lawan bicara yang asyik. 


Mataku kembali melirik Rayhan. Dia tetap berada di posisi semula. Kelihatannya bercengkrama dengan buku di tangannya lebih menarik daripada mengajakku bicara. Dia tidak bicara lagi sejak tadi. Aku sendiri juga bingung memulai obrolan dari mana. Kira-kira topik apa ya yang menarik untuk dibahas? Rayhan suka ngobrol tentang apa? Aku terlalu sibuk berdebar-debar sendiri, otakku jadi bekerja lambat. Sudahlah, Rayhan kelihatannya tidak berminat sama sekali ngobrol denganku, jadi kenapa aku repot-repot mencari bahan obrolan? Tapi saling diam seperti ini tidak enak juga.


“Eh, Sesil…” akhirnya aku memutuskan mengajaknya bicara lebih dulu. Rayhan mengangkat kepalanya menatapku. “Sesil, cewek cantik yang rambutnya bergelombang. Kamu kenal, kan?”


“Hmmm.” Rayhan kembali mengalihkan pandangan pada buku di tangannya.


“Kemarin dia cerita kalau kamu nggak mau kasih tahu dia alamat rumah sama nomor ponsel kamu. Tahu nggak, dia cemberut terus lho. Di sekolah dia…”


“Hmmm.” Rayhan tidak mengalihkan pandangan dari buku di tangannya. 


“Ngomel-ngomel terus.” Aku tertawa. “Dia fans berat kamu, lho.”


“Hmmm.” 


Aku nyengir. Ternyata responnya di luar dugaanku. Aku kira semua cowok senang kalau diajak ngobrol tentang cewek cantik yang kagum dengannya. Tapi Rayhan si ‘Tuan Hmmm’ menanggapinya dingin-dingin saja. Perhatiannya tetap pada buku yang dipegangnya seolah topik yang aku angkat tidak menarik minatnya sama sekali. 


Kami diam lagi. Yang terdengar hanya tarikan napas kami berdua bergantian. Dan juga detak jantungku yang sejak tadi sibuk menaikkan ritmenya. Aku diam-diam mengamatinya dari samping. Aku tidak heran kenapa Sesil begitu memujanya. Dia memang memiliki bentuk wajah yang menarik. Ganteng. Ya, hidungnya lebih mancung dari penduduk asli kebanyakan. Terlihat serasi dengan alis matanya yang tajam dan alisnya yang hitam. Bentuk bibirnya proporsional. Bagaimana menggambarkannya, ya? Aku tidak punya pengalaman apapun yang berkaitan dengan lawan jenis, tapi bentuk bibirnya cocok dengan hidungnya yang mancung. Aduh, apa sih yang aku pikirkan? Seharusnya aku panik karena harus terkurung disini semalaman, bukannya malah sibuk menilai ketampanan cowok di depanku ini. Astaga.


“Eh, si Ray sudah makan belum, ya? Jam segini pasti dia sudah lapar. Apa dia nggak apa-apa, ya?” Aku mencoba mengganti topik. Siapa tahu dengan membicarakan kucingnya, Rayhan akan tertarik mengajakku ngobrol. “Eh, dia nggak apa-apa, kan? Terus, dia makan apa, dong? Kasihan si Ray.”


Rayhan mengangkat kepalanya menatapku. Dia menopangkan sikunya pada lutut. Bibirnya sedikit ditarik membentuk senyuman tipis. “Kamu jadi banyak bicara, ya? Aku baru tahu, lho. Padahal kita bertetangga.”


“Eng… nggak.” Aku menunduk. Duh, receh banget, sih. Disenyumin begitu saja deg-deg-anku langsung kumat. Untung saja cahaya dalam ruangan hanya remang-remang. Kalau tidak bisa-bisa Rayhan menyadari perubahan rautku yang aku yakin sudah berwarna ungu sekarang. 


Jam berapa sekarang? Aku memindahi sekeliling mencari disebelah mana jam dinding dipasang. Tidak ada dimanapun. Apa sudah malam banget, ya? 


“Kenapa?” Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari buku di tangannya. Melihat buku itu aku jadi iri karena dia mendapatkan lebih banyak perhatian Rayhan daripada aku yang duduk di sebelahnya. 


“Jam. Jam berapa sekarang?”


Rayhan membalik ponselku. “Delapan lewat lima menit.”


“Oh, masih sore, ya.”


“Hmmm.”


Kami diam lagi. Dasar menyebalkan, apa tidak ada kalimat yang lebih panjang daripada ‘hmmm’? Memang sih, ‘hmmm’ mudah diucapkan karena tidak perlu membuka mulut saat mengatakannya. Tapi yang mendengarnya jadi sebal, kan?


Daripada tidak melakukan apa-apa, akhirnya aku membuka segel novel yang tadinya akan aku berikan pada Sesil. Memang belum aku bayar, sih, tapi tidak apa-apa karena aku masih berada di lokasi bersama penjaga tokonya pula. Lagipula aku tidak berniat kabur sebelum membayar, kok. 


Aku tenggelam dalam novel yang aku baca. Aku tidak lagi memperhatikan Rayhan yang duduk bersila di sebelahku. Detak jantungku juga sudah mulai normal. Kalau tahu begini, seharusnya sejak tadi aku menyibukkan diri membaca daripada terus sibuk memikirkan cara membangun obrolan dengan si Tuan Hmmmm itu. Apalagi dia tidak memberikan respon seperti yang aku harapkan. Menyebalkan. 


Lihat selengkapnya