TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #18

17

Sepertinya Amanda tidak mengatakan apapun pada Sesil. Soalnya Sesil tidak minta penjelasan apapun. Sikapnya pun tetap seperti kemarin-kemarin. Amanda juga tidak membahas lagi kejadian minggu lalu. Memang sih, dia kaget waktu tahu Rayhan yang menempati rumah kosong tepat di sebelah rumahku. Tapi sikapnya kembali biasa beberapa saat kemudian. Amanda hanya bertanya sedikit tentang Rayhan, itupun hal yang umum-umum saja. Seperti sejak kapan Rayhan tinggal disana, bagaimana keseharian Rayhan, itu saja. Setelah itu dia tidak menanyakan apapun lagi. Semuanya berlalu begitu saja. Dan sejak kejadian itu aku belum bertemu Rayhan lagi meskipun rumah kami bersebelahan. Aku hanya melihatnya waktu dia lewat depan rumah dan seperti biasa aku mengintipnya lewat jendela. 


“Ray bilang weekend nanti dia terakhir tampil di jejo.” Sesil mengawali percakapan setelah kami duduk bertiga di pojokan kantin. Amanda dan Sesil tidak membawa bekal, jadi aku ikut mereka menikmati bekal makan siangku di kantin. 


“Lho, kenapa?” Amanda urung menyuap. Aku hanya menjadi pendengar saja seperti biasanya, kalau tentang Rayhan aku enggan berkomentar kalau tidak ditanya. Takut menyinggung perasaan Sesil kalau aku salah bicara lagi seperti waktu itu. 


“Katanya dia udah dikontrak sama label musik,” Sesil memberitahu. Dia terdengar bersemangat.


“Beneran?” Mata Amanda melebar.


Sesil mengangguk. “Iya. Tapi nggak jadi penyanyi solo, sih. Dia bergabung dalam sebuah band.”


Jadi begitu? Akhirnya apa yang diimpikannya terwujud. Rayhan yakin kalau dia mampu untuk itu. Dia cukup percaya diri. Yang akhirnya kepercayaan dirinya itu membawanya menuju impian. Apa ini ada hubungannya dengan dua orang laki-laki dewasa yang datang melihat penampilan Rayhan waktu itu? Obrolan mereka sangat jelas terdengar dan aku yakin yang sedang mereka obrolkan itu Rayhan. 


“Ta…” Aku mengangkat kepala menatap kepala menatap Sesil. “Weekend nanti lo ikutan, kan?”


Aku melongo. Aku tidak siap dengan pertanyaan Sesil yang tiba-tiba. 


“Ikut ke jejo.” Sesil menarik bibir. “Ikutan lihat penampilan Rayhan di jejo, ya?”


Aku diam untuk beberapa saat. Aku bingung harus menjawab apa. Disatu sisi aku tidak ingin menolak ajakan Sesil karena aku juga sangat ingin melihat penampilan Rayhan. Apalagi beberapa hari ini aku jarang melihatnya lewat di depan rumah. Tapi disisi lain, sinar mata Rayhan yang berbinar mengingatkanku pada papa. Meskipun Rayhan menyarankanku supaya berdamai saja, tapi aku belum bisa. Rasa kecewaku masih terlalu besar untuk memaafkan. Rayhan dan papa menyukai hal yang sama, musik. Dan aku ingin menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan papa.


“Sil…” Amanda berusaha menengahi. “Kalau Tita nggak mau jangan dipaksa.”


Sesil menoleh pada Amanda. “Gue nggak maksa kalau Tita nggak mau.” Sesil lantas beralih padaku lagi. “Ikut ya, Ta. Rayhan adalah Rayhan. Dia beda sama papa kamu.”


“Sil…” Amanda kembali memperingatkan. Pasti dia tidak mau terjadi sesuatu antara aku dan Sesil. “Udah, deh.”


“Gue tahu kok kalau lo lihat Rayhan lo kayak lihat papa, lho.” Sesil melanjutkan. “Impian mereka buat berkarya di bidang musik mungkin sama. Papa lo komposer dan Rayhan penyanyi. Tapi lo nggak bisa menyamaratakan semua orang yang pekerjaannya berhubungan sama papa lo, Ta. Gue nggak tahu apa-apa sih, Ta. Dan gue nggak ada maksud buat ikut campur. Tapi mereka orang yang berbeda, Ta.”


Ya, Sesil benar. Rayhan adalah Rayhan, dia bukan papa. Tapi aku melihat kemiripan pada binar matanya saat bercerita tentang impiannya. Itu yang membuatku enggan berdekatan dengan Rayhan, meskipun aku menyadari rasa sukaku padanya. 


“Ta, kalau…”


“Gue mau, kok,” sahutku cepat. Aku tahu apa yang akan dikatakan Amanda. Tapi aku benar-benar ingin melihat penampilan Rayhan kali ini. Mereka semua benar, mungkin ini saatnya aku mulai berdamai dengan rasa kecewa yang mengukir hatiku cukup lama. Ya, dan mulai sekarang aku akan melihat Rayhan sebagai sosok yang berbeda. Aku tidak akan lagi menyamakannya dengan papa. Meskipun kemiripan dalam sorot matanya yang berbinar masih tetap aku rasakan. 


“Beneran?” Senyum Sesil mengembang.


Aku mengangguk sedikit ragu. Sebenarnya aku tidak yakin dengan keputusanku. Aku melakukan tindakan impulsif dan sedikit terprovokasi oleh kata-kata Sesil. Tapi dalam hati aku mengakui semua yang dikatakannya benar. Ya, mau apa lagi. Aku terlanjur mengiyakan. Tidak mungkin kalau aku tiba-tiba berubah pikiran dan langsung membatalkan, kan? Hitung-hitung menyenangkan Sesil karena aku sering membuatnya kesal akhir-akhir ini. 


“Eh, gue beli minum dulu, deh.” Aku bangkit. Sebenarnya tujuan utamaku bukan membeli minum, tapi aku tidak ingin memperpanjang obrolan tentang Rayhan dan semua yang ada sangkut paut dengannya. Kebetulan juga aku lupa membeli minum tadi waktu masuk ke kantin bersama mereka.  


Lihat selengkapnya