TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #20

19

Hari ini sepertinya mood-ku melorot ke dasar. Sejak akhir pekan kemarin rasanya malas mengerjakan sesuatu. Sejak pulang dari jejo malam itu perasaanku belum juga membaik. Kata-kata Rayhan waktu Sesil bertanya tentangku terus terngiang-ngiang. Huh, apa-apaan dia. Pura-pura tidak kenal. Sok cool.


Aku memilih tetap di kelas waktu istirahat siang. Kali ini aku tidak ikut Sesil dan Amanda makan siang di kantin. Kalau biasanya meskipun membawa bekal, aku akan ikut menikmati bekal makan siangku di kantin bersama mereka. Tapi tidak kali ini. Aku sedang malas bergerak. 


Kelas sepi di jam istirahat seperti ini. Hanya tinggal aku dan dua siswa lain yang memilih tetap tinggal di kelas menikmati bekal yang kami bawa dari rumah. Bukan hanya mood-ku, tapi selera makanku juga ikut menurun. Aku menutup kotak bekal yang masih berisi setengah. Padahal menu bekalku hari ini adalah menu favoritku. Tapi tetap saja tidak mampu menggugah selera makanku. 


Aku menelungkupkan badan di meja lantas perlahan memejamkan mata. Bayangan pertama yang melintas adalah Rayhan. Astaga, kenapa dia lagi? Sejak kemarin bayangannya selalu rutin menyambangi. Setelah malam itu aku belum melihatnya lagi. Apa ini artinya aku merindukan Rayhan? Ya ampun, ini konyol!


Aku nyaris terjengkang waktu benda dingin tiba-tiba menempel di pipiku. Aku lantas mendelik setelah melihat pelakunya. Yoshua terpingkal. Dasar, kurang kerjaan!


“Kaget, ya?” Yoshua menarik kursi.


“Sialan,” aku mengomel. “Itu buat gue?” Aku menunjuk botol air mineral yang dibawanya. 


“Lo mau?”


Aku mengangguk.


“Nih.” Yoshua menyodorkan air mineral yang dibawanya yang langsung berpindah ke kerongkonganku.


“Lo kayak jerapah yang nggak minum berhari-hari.”


Aku mencebik. “Cerewet.”


Yoshua tertawa lagi. “Gue juga udah jadi fansnya Rayhan, lho.”


“Hmmm.” Aku memutar bola mata. 


“Rayhan itu ternyata baik, lho.” Yoshua meringis. “Dia hebat banget.”


“Hmmm.”


Yoshua melipat tangan di mejaku. “Kenapa kemarin lo pulang duluan?”


Aku menghela napas. “Tiba-tiba gue nggak enak badan.”


Yoshua memiringkan kepala menatapku. “Lo aneh.”


Aku mengernyit. “Aneh gimana?”


“Kalau menyangkut masalah Rayhan, lo jadi aneh, Ta.”


Tanganku yang memegang botol air mengambang di udara. Yoshua menatapku. Raut jahil dan cengengesan yang biasanya berubah serius. Aku membalas tatapannya sebentar, lantas mengalihkan pandangan keluar jendela. 


“Gue lihat lo di parkiran kemarin, tapi lo malah pulang lebih dulu nggak pamit sama kita.”


Aku mendesah sebal. “Lo salah lihat kali.”


Yoshua berdecak. “Mata gue belum minus, Ta.”


“Tempatnya kan nggak terang banget, bisa saja lo salah mengenali. Bisa saja yang lo lihat itu orang lain, bukan gue.”


“Gue lihat kok waktu lo tiba-tiba keluar.” Yoshua menopang dagu melihatku.


“Gue nggak tahan sama AC.” Aku memutus pandangan, dan kembali menatap ke luar jendela.


“Sejak kapan?”


Aku memutar bola mata. Ini anak kenapa, sih? Apa tidak ada topik lain selain berbicara soal Rayhan? Bikin perasaanku semakin tidak enak saja. Menyebalkan. “Sejak…”


Yoshua tersenyum. “Lo nggak tahu kan kalau kemarin gue ikutin elo sampai parkiran?”


Aku spontan menatapnya. “Bohong,” sahutku cepat.


Yoshua malah tertawa. “Beneran. Gue belum pernah lihat muka lo kayak kemarin. Kayaknya lo lagi nggak butuh teman buat ngobrol. Makanya gue nggak samperin elo. Gue balik lagi ke dalam. Gue lega banget waktu lihat lo masih disana pas gue keluar bareng yang lain.”

Lihat selengkapnya