TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #21

20

Aku semakin membenamkan kepala ke dalam bantal. Detak jantungku belum sepenuhnya normal. Apa itu tadi? Pernyataan cinta? Ya ampun, ya ampun! Ini mimpi buruk. Benar-benar buruk. Aku tidak pernah membayangkan, dalam mimpi sekalipun, akan menyatakan perasaanku lebih dulu pada cowok yang aku sukai. Dan cowok itu adalah Rayhan, tetangga sebelah yang… Ya, meskipun dia super keren, tapi dia menyebalkan dan suka seenaknya. Dan aku dengan gamblang mengatakan kalau aku menyukainya. Astaga, ini mengerikan. 


Tapi tunggu, Rayhan langsung memelukku setelah tahu aku menyukainya. Apakah itu artinya dia punya perasaan yang sama? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Masalahnya selama ini dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikannya padaku. Sikapnya selalu acuh dan menyebalkan. Tapi tadi dia memelukku, lho? Bukankah itu bisa dijadikan sebuah tanda? 


Tita, teman kami yang rambutnya lurus sebahu.


Yang mana, ya?


Astaga, aku mengingatnya lagi yang langsung menyamarkan persepsiku tentang perasaan Rayhan. Kalau Rayhan menyukaiku dia tidak akan pura-pura kami tidak saling mengenal kalau ada yang bertanya apakah kami saling mengenal, kan? Dia tidak perlu menutupinya dengan berbohong. Bukankah biasanya seseorang akan antusias kalau diajak bicara tentang orang yang disukainya. Jadi kesimpulannya Rayhan tidak menyukaiku. Rasanya tidak rela saat pikiran itu yang melintas. Siapapun, termasuk aku, kalau menyukai seseorang pasti ingin perasaannya dibalas. Jatuh cinta sendiri sangat tidak enak. Rasanya nelangsa banget.


Aku nggak tertarik sama anak di bawah umur. Kata-kata itu sudah menjelaskan kalau dia tidak ada rasa suka sedikitpun padaku. Ya Tuhan, padahal baru kali ini aku merasakan debaran indah waktu memikirkan seseorang. Aku tidak pernah merasakan seperti yang aku rasakan pada Rayhan. Senang waktu di dekatnya dibarengi dengan debaran indah yang membuatku merona dan salah tingkah. Sayangnya aku harus menguburnya dalam-dalam sebelum tunasnya tumbuh. Astaga, nasibku begini amat, sih? Baru saja jatuh cinta, sekarang harus merasakan tidak enaknya patah hati karena cinta sepihak. Menyedihkan.


Aku merubah posisi menjadi terlentang. Menatap langit kamar yang menurutku warnanya tidak secerah biasanya. Apa perasaan suram yang aku rasakan sekarang berpengaruh pada penglihatan juga? Sepertinya kewarasanku mulai berkurang. Dan itu karena seseorang yang bernama Rayhan. Ya, dia. Aku menobatkannya sebagai biang kerok masalah yang melanda hatiku. Aku berlebihan? Biar saja. Nyatanya hidupku baik-baik saja sebelum aku bertemu dengannya. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya sesuai yang aku harapkan. Semuanya jadi kacau setelah aku mengenal Rayhan. Menyebalkan.


Aku mendesah sebal saat pintu rumahku diketuk dari luar. Siapa yang datang disaat-saat seperti ini? Kenapa dia tidak di lain waktu saja, sih. Setidaknya nanti kalau perasaanku sudah membaik. Mengganggu saja! Apa dia tidak tahu aku sedang malas bertemu siapapun. Perasaanku tidak enak. Kacau. Aku tidak perlu menyebutkan lagi penyebabnya. 


Aku mengayunkan langkah malas menuju pintu depan. Semoga saja dia hanya mengantarkan undangan dari tetangga kompleks yang sedang mengadakan acara atau sejenisnya. Jadi aku tidak perlu lama-lama berhadapan dengannya. Rasa malasku sedang berada di ubun-ubun sekarang.


Sesil dan Amanda berdiri di balik pintu setelah pintu terbuka. 


“Udah baikan, Ta?” Tanya Sesil. Mereka langsung menyerbu masuk menuju ruang tengah setelah pintu kubuka lebih lebar. “Yoshua bilang lo nggak enak badan, jadi lo minta izin pulang duluan.”


Aku mengambil tempat di sofa tunggal di samping Amanda. “Udah mendingan, kok. Tadi sempat pusing sebentar.” Aku berbohong. Jelas itu bukan penyebab aku memilih bolos di jam pelajaran terakhir. Itu karena Rayhan. Ya, cowok dingin itu. Dia sangat pintar membuat suasana hatiku berubah menjadi buruk. 


“Lo kenapa, sih?” Amanda menatapku. “Perlu kita antar ke dokter nggak?”


Aku menggeleng. “Gue udah sehat, kok.” Bukan fisikku yang sakit, tapi di dalam sini. Aku patah hati. Tapi aku tidak ingin membaginya dengan Sesil dan Amanda. Setidaknya tidak sekarang.


“Beneran?” Sesil menyakinkan.


“Iya, beneran. Gue udah sehat, kok.” Aku mengangkat kaki ke sofa. “Kalau lo berdua haus ambil minum sendiri, gih. Gue lagi mager.”


Sesil berdecak. “Yang tamu siapa, yang tuan rumah siapa.” Tapi tidak urung juga dia beranjak ke dapur. Sesil dan Amanda sering mampir ke sini sepulang sekolah. Jadi mereka sudah hafal seluk beluk rumah ini. Aku tidak perlu memberitahu dimana letak gelas, teh, atau gula.


“Lain kali kalau mau bolos kasih tahu, dong.” Amanda meraih remot di meja dan mulai menyalakan televisi. “Kita kan bisa bolos bareng.”


“Iya nih, Tita.” Sesil meletakkan tiga kaleng soda di meja dan setoples biskuit. “Enakan bolos bareng-bareng, kan?”


Aku memutar bola mata. Mereka kira sekolah dibayar pakai daun, seenaknya saja ingin bolos berjamaah. Aku akan tetap memilih tetap di kelas sampai bel pulang meraung-raung andai saja isi kepalaku tidak ruwet karena penuh dengan pikiran tentang cowok itu, Rayhan.


Lihat selengkapnya