TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #24

23

Kalau bukan karena paksaan mama aku tidak akan berada disini sekarang. Aku memang menolak waktu papa menelpon dan mengajak bertemu. Bukan hanya aku belum bisa berhadapan dengan papa, tapi juga karena banyaknya masalah akhir-akhir ini yang membuat otakku penuh dan terasa lambat diajak berpikir. Yang kuinginkan hanya satu, meringkuk malas di atas kasur yang merupakan tempat ternyaman untuk saat sekarang.



Tapi rupanya papa tidak kehilangan akal untuk membuatku meninggalkan zona nyamanku. Dia langsung menelpon mama setelah aku menolak. Dan hasilnya aku berada di sini. Mama tidak akan sungkan menyeretku dari atas tempat tidur kalau aku tidak segera bangun dari tempat tidur. Meskipun aku gigih menolak, mama tetap tidak peduli.



“Mama nggak mau dengar penolakan, Ta,” katanya sambil berkacak pinggang. “Sampai kapan kamu akan terus menolak ketemu papa?”



“Nggak sekarang, Ma.” Aku masih asyik bergelung dalam selimut. "Aku janji lain kali aku nggak akan nolak. Tapi jangan sekarang, Ma. Please."



Mama melipat kening. “Jadi kapan? Bagaimanapun dia, semarah apapun kamu sama dia, dia tetap papamu, Ta! Mama nggak pernah mengajari kamu begitu. Jangan buat mama kecewa sama kamu.”



Aku menarik selimut menutupi kepala. Kenapa mama tidak mau mengerti sih kalau perasaanku tidak baik-baik saja sekarang? 



Mama mendesah kesal lantas menarik selimut dan melemparkannya sembarangan. 



“Ma..” protesku.



“Papa itu sibuk, Ta. Susah cari waktu lowong buat ketemu kamu. Tolong hargai usahanya, dong. Mama tahu kamu masih marah sama papa, tapi itu udah lama berlalu. Sudah waktunya kamu berdamai. Mama tahu kamu masih enggan, tapi seenggaknya lakukan ini buat mama.”



Kalau mama sudah bicara begitu, mau bagaimana lagi? Tidak ada pilihan lain selain segera beranjak meninggalkan tempat tidurku yang nyaman. Meskipun rasa malas rasanya seperti beban berat mengikat erat kakiku.



“Kenapa cuma di aduk-aduk?” Papa mengernyit. “Nggak mungkin kalau kamu masih kenyang, soalnya mama bilang tadi kamu belum makan.”



Yeah, mau cari alasan apalagi? Alasan yang paling logis sudah dipatahkan papa bahkan sebelum aku mengatakannya. Mau bilang kurang pas di lidah atau kurang suka menunya, papa tidak akan percaya sebab ini adalah restoran favorit kami sejak dulu. Tentu saja saat kami masih menjadi keluarga utuh dan bahagia.



“Kamu kenapa?” Papa urung menyuap. “Makanan nggak habis sendiri kalau cuma diaduk-aduk begitu.” Papa menunjuk piringku.



Aku meringis. “Ini dimakan, kok.” Aku mulai menyuap. 



Papa terus mengawasi.“Kusut banget, Ta. Kayak orang lagi patah hati saja.”



Aku tersedak kemudian terbatuk. Pikiranku langsung tertuju pada Rayhan. Sialan. Kemana sih dia sampai sekarang tidak memberi kabar? Apa dia tidak tahu kalau aku terus memikirkannya? Menyebalkan. Untung saja makanan yang hendak aku telan tidak berbalik arah melalui hidung. Papa mengagetkan saja!



“Pelan-pelan, dong.” Papa menyodorkan segelas air yang langsung aku minum sampai setengahnya. “Dugaan papa benar, ya? Sampai kamu kaget gitu.” Papa terkekeh.



Aku memutar bola mata. “Apaan sih, Pa. Nggak lucu.”



Papa malah mengeraskan tawa. “Lho, salahnya dimana, Tita? Kamu kan sudah besar. Nggak terasa anak kesayangan papa yang dulu sering papa gendong di pundak sekarang udah segede ini.”



Papa bilang anak kesayangan? Apa itu lelucon? Kalau memang papa sesayang itu, dia tidak akan pernah mengecewakanku. Bukan malah lebih memilih perempuan itu daripada aku, kan?



Lihat selengkapnya