TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #25

24

Dia datang. Rayhan pulang. Pertanyaanku selama seminggu ini akhirnya terjawab. Rayhan baik-baik saja. Rasa lega seketika membanjiri hati. Pikiran burukku selama Rayhan pergi tidak benar. Ya ampun, dia menyebalkan. Bikin orang panik saja. Apa dia tidak berpikir kalau aku khawatir dia pergi tanpa kabar selama seminggu. Ya, meskipun sebelum pergi dia pamitan, sih. Tapi setelah itu tidak ada kabar, kan? 


Kami saling menatap tanpa ada yang memulai berbicara. Rayhan perlahan memangkas jarak lantas berdiri tepat di depanku. Rayhan terlihat sedikit kaget melihatku di rumahnya. Apa dia lupa kalau dia yang minta tolong merawat si Ray selama dia pergi? Jadi tidak aneh dong kalau aku ada di rumahnya sekarang? Atau jangan-jangan dia mengira aku sedang menunggunya? Ya, meskipun tidak sepenuhnya salah, rasanya gengsi kalau aku ketahuan berharap dia pulang secepatnya.


“Kamu sudah pulang,” kataku lebih dulu memecah kebisuan. “Jadi tugasku selesai, kan? Aku pulang.” Aku mengayunkan langkah melewatinya. 


“Tita.” 


“Ya?”


“Bisa kita bicara sebentar?”


Aku mengernyit. Oh, mungkin maksudnya dia ingin berterima kasih karena aku sudah menjaga Ray selama seminggu ini. “Nggak perlu berterima kasih. Aku suka kucing. Karena itu aku mau-mau saja waktu kamu minta tolong jagain Ray.” Kata-kata terima kasih sudah tidak penting lagi. Aku sudah cukup senang akhirnya dia pulang.


“Kasih waktu sebentar saja.” Rayhan mencekal lenganku. “Aku memang berterima kasih kamu mau menolongku menjaga Ray selama aku nggak di rumah. Tapi bukan itu yang mau aku omongin.”


Lampu di kepalaku spontan menyala. Kalau bukan mau berterima kasih lalu apa? Atau jangan-jangan... Ya ampun, masa sih dia mau membahas masalah pernyataan perasaanku waktu itu? Bukankah itu sudah kadaluwarsa kalau dibahas sekarang? Enak saja. Aku hampir mati karena memikirkannya yang pergi tidak ada kabar. Oke, itu terlalu berlebihan. Aku tidak benar-benar sekarat, tapi aku benar-benar khawatir memikirkannya. Sekarang dengan entengnya dia mau membahas hal yang mati-matian ingin aku lupakan. Bahkan aku berdoa siang dan malam supaya Rayhan melupakan semua hal yang berkaitan dengan waktu itu. Huh, yang benar saja!


“Lepasin. Aku mau pulang.” Aku menggerakkan tangan supaya cekalan Rayhan di lenganku terlepas. Alih-alih melepaskan, cekalannya malah semakin erat. Orang ini apa maunya, sih? Kalau dia mengira bisa mempermainkanku, dia salah. Apalagi ini, kenapa jantung ini tidak bisa diajak kompromi, sih? Di saat seperti ini malah menaikkan ritmenya yang mungkin saja bisa didengar Rayhan. Ya ampun. Kalau begini mana dia percaya meskipun mulutku menolak? Menyebalkan.


“Aku kira kamu nggak mau bertemu aku lagi.” Rayhan menatapku dalam jarak yang cukup dekat. 


Aku mendelik. “Apa maksud kamu? Setelah nggak pulang berhari-hari sekarang ngomong sembarangan. Maunya apa, sih?” Aku mencoba menggerakkan tangan. Kali ini lebih kuat. Tapi Rayhan tidak mau melepasnya. “Lepas... sin!” Aku memberinya tatapan tajam yang dibalasnya dengan tatapan lembut. Astaga, apa-apaan ini? Kenapa dia menatapku begitu? Jangan bilang dia berubah pikiran setelah pergi selama berhari-hari. Ini konyol.


Rayhan melihat sekeliling, lantas perhatiannya kembali tertuju padaku. “Kita bicara di dalam saja.” Dia menarikku lebih dekat ke pintu. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci rumah. 


“Nggak ada yang perlu diomongin lagi,” sahutku cepat. “Kamu sudah pulang, jadi tugasku jagain si Ray udah kelar.”


Rayhan tidak menjawab. Dia menyuruhku masuk setelah pintu terbuka. “Masuk dulu. Baru kita bicara.”


“Nggak,” aku menggeleng. Dengan keras kepala aku tetap berdiri di tempatku. 


Rayhan menghela napas. “Oh, jadi kamu mau jadi bahan omongan ibu-ibu satu kompleks kalau ada salah satu dari mereka yang kebetulan melihat kita. Kalau aku sih nggak apa-apa. Nggak jadi masalah. Soalnya aku yakin, satu orang saja yang lihat kita nggak sampai satu jam beritanya pasti sudah tersebar. Kamu mau?”


Aku spontan mendelik. Astaga, cowok ini benar-benar menyebalkan. Kalau dihitung dari skala 1 sampai 10, dia berada di angka 13. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya masuk. Kalau sampai terjadi seperti yang dia bilang gawat juga. Mama pasti langsung ngamuk tanpa intro lebih dulu. Dia kan sudah mewanti-wanti supaya aku tidak terlalu sering berkunjung ke rumah Rayhan. 


“Maafin sikapku waktu itu,” katanya langsung setelah kami berada di dalam rumahnya. “Aku terus memikirkannya setelah kamu pulang. Aku takut kamu marah karena aku tiba-tiba memelukmu.”


Tepat sesuai perkiraanku. Rayhan ingin membahas kejadian waktu itu di rumahnya. Tapi kenapa yang dia bahas bukan pengakuan perasaanku padanya? Aku tahu. Dia merasa bersalah karena waktu itu dia tiba-tiba memelukku padahal dia tidak punya sedikitpun ketertarikan padaku. Kata-katanya di gudang toko buku itu sudah menjelaskan semuanya. Astaga, sopan sekali! Aku saja yang bodoh tiba-tiba mengatakan suka. Baiklah, apapun yang terjadi mari diterima saja. Meskipun rasa sedih tetap ada karena perasaan sukaku tidak bersambut sesuai harapan. Baru saja jatuh cinta sudah harus merasakan sakitnya patah hati. Nasib... nasib.


Aku mendesah, lantas menunduk. “Nggak apa-apa. Aku sudah biasa dipermainkan. Ya, memang sih nggak ada enaknya di php.” Aku mengedik.


“Aku nggak bermaksud seperti itu, Tita.” Rayhan mendekat, memutus jarak.


Aku mendengus dan mengalihkan pandangan. “Kamu memang seperti itu, kan? Pura-pura nggak kenal aku di depan Sesil.”


Dia terlihat sedikit terkejut. “Itu...”


“Apa?” Aku mengangkat wajah menatapnya. Apa dia ingin mencari alasan sekarang? “Semua cowok dimana-mana sama saja. Suka seenaknya.”


“Aku nggak seperti itu, Tita!”


Lihat selengkapnya