TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #26

25

Saat bersama Rayhan, aku tidak ingin memikirkan apa-apa lagi. Termasuk hal yang sempat membuatku menjauhinya. Mulai sekarang aku harus memandang semua hal dari sudut pandang yang berbeda. Seperti yang Rayhan bilang, aku tidak bisa memandangnya hanya dengan satu arah. Untuk bisa menyimpulkan dan menilai sesuatu, memang harus melihatnya dari berbagai sudut pandang untuk mengetahui sisi yang tidak bisa dilihat. Menilai sesuatu, khususnya seseorang, tidak bisa hanya berdasarkan kemiripan dengan orang-orang terdekat kita. Meskipun mereka memiliki kemiripan secara fisik ataupun ada sedikit kemiripan sifat, mereka pasti memiliki sisi yang berbeda. Yang berbeda itu tidak akan bisa ditemukan kalau hanya dilihat dalam satu kilasan mata. Untuk mengetahuinya memang perlu mendalami sifat dan karakter seseorang. Dengan terus menghindar, tidak akan mendapatkan apapun kecuali hanya prasangka buruk yang lama-lama akan meracuni hati. Ya, seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang.


“Kenapa, sih?” Rayhan mengernyit menatapku. “Kayaknya nggak nyaman gitu masuk rumah pacar sendiri.”


Aku melongo. Dia bilang pacar? Dia kan belum bilang suka, istilah anak remaja seusiaku belum nembak, belum menyatakan cinta. Sudah ngaku-ngaku sebagai pacar. Rayhan ini gimana, sih? Jadi cowok kok nggak peka banget. Seenaknya sendiri.


“Masuk, yuk.” Rayhan menarik tanganku setelah pintu terbuka. Aku mengikutinya sampai ke ruang tengah. Pemandangan yang langsung terlihat adalah si Ray yang sedang bergelung malas di pojok ruangan. 


“Jangan ganggu, biarin aja.” Peringatan Rayhan menghentikan niatku yang ingin mendekati si Ray. Aku berbalik dan menempati sofa yang menghadap jendela. Juga menghadap rumahku. Eh, tunggu dulu. Terakhir kali aku kesini sofa yang aku tempati ini tidak menghadap jendela. Sejak kapan Rayhan memindahkannya? Jangan-jangan maksud Rayhan menggeser sofanya supaya bisa mengamatiku melalui jendela rumahnya yang sejajar dengan jendela rumahku yang hanya dibatasi pagar tembok yang tidak seberapa tinggi itu. Ya, pasti maksudnya begitu. Astaga, aku mikirin apa, sih?


“Di rumah nggak ada apa-apa. Kalau kamu lapar aku pesenin makanan.” Rayhan mengambil tempat kosong di sebelahku.


“Ta... tadi udah makan, kok.” Aku menunduk. Gugup memang selalu menjadi nama tengahku kalau aku bersama Rayhan. 


“Nggak apa-apa kan kalau makan lagi? Masa udah kurus kayak gini masih mau diet.” Rayhan mengeluarkan ponselnya. 


Dia bilang aku kurus? Memang perawakanku seperti ini. Diisi makanan sebanyak apapun tetap tidak bisa membuatku terlihat sedikit gemuk. Aku seperti memelihara naga di dalam perut yang menguras habis isi perutku begitu diisi. Ya ampun, menyebalkan. “Itu termasuk body shaming,” kataku sebal.


Rayhan tertawa lantas mengacak rambutku. “Aku kan jujur, Ta. Nggak kayak kamu.”


“Aku?” Telunjukku mengarah ke hidung. “Aku bohong soal apa?”


Rayhan berdecak. “Pura-pura menghindar padahal naksir.”


“Siapa?” tanyaku pura-pura bodoh. Padahal aku tahu siapa yang Rayhan maksud. Lagi pula kenapa harus dibahas, sih? Bikin aku malu saja!


“Kamu. Siapa lagi.” Tawa Rayhan meledak. Astaga, dia memang menyebalkan. 


Aku terus memperhatikan sampai Rayhan menghentikan tawanya. Kalau sedang tertawa seperti itu dia terlihat seperti anak kecil. Dan aku menyukainya. Lebih menyukainya.


“Kenapa, sih?” Rayhan mengernyit.


Aku menggeleng. “Aku suka lihat kamu tertawa kayak gitu. Kelihatan lebih manusia.”


Dia mengetukkan jarinya di dahiku. “Kamu jangan pasang muka jutek terus. Nanti cepat tua.”


Mau tidak mau aku ikut tertawa. “Garing.”


“Aku tahu, kok.”


“Ah, iya. Ini...” Aku membuka resleting depan tas sekolahku lantas memberikannya pada Rayhan. 


“Apa?” tanya Rayhan tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya. 


“Kunci rumah.”


“Kenapa dibalikin?” Rayhan beralih menatapku.


“Ini kan kunci rumah kamu. Nggak mungkin juga aku simpan, kan?”


“Payah.” Rayhan mengetukkan jarinya di dahiku. Kebiasaan barunya yang entah kapan dimulai. “Aku kasih kunci itu ke kamu supaya kamu bisa ngurusin si Ray kalau aku nggak ada.”


Aku melongo. Astaga, jadi Rayhan punya maksud terselubung dengan memberiku kunci rumahnya. Aku kira karena status kami naik tingkat dari tetangga sebelah rumah menjadi pacar sekarang, makanya dia memberikan kunci rumahnya padaku. Ternyata supaya aku bisa jadi baby sitter-nya si Ray. Betul kan apa yang aku bilang, Rayhan itu menyebalkan.


Lihat selengkapnya