Jam istirahat hampir semua siswa berada di luar kelas. Sebagian besar lebih senang menghabiskan jam istirahat dengan nongkrong dan mengobrol di kantin. Hanya sebagian kecil saja yang menghabiskan jam istirahatnya dengan mengunjungi perpustakaan. Ya, hanya golongan siswa-siswi tertentu saja.
Sesil sedang mengikuti rapat OSIS. Sesil memang murid yang aktif. Dia mengikuti berbagai kegiatan organisasi sekolah. Sedangkan aku dan Amanda lebih suka cepat pulang ke rumah supaya dapat segera bergelung malas di kasur ternyaman. Amanda langsung ke kelas keluar dari kantin. Dan aku mampir dulu ke toilet untuk menuntaskan panggilan alam yang mendesak.
“Lo sebenarnya suka, kan?” Aku tidak jadi masuk ke kelas saat mendengar percakapan dua orang siswa di dalam. Itu suara Amanda.
“Suka sama siapa?” Amanda sedang bersama Yoshua di dalam.
“Gue tahu lo suka Tita.”
Apa? Yoshua menyukaiku? Ini tidak mungkin. Amanda pasti salah. Kami memang akrab karena kami sudah berteman sejak SMP. Juga terus sekelas selama tiga tahun. Ditambah hampir dua tahun di SMA. Jadi totalnya hampir lima tahun aku dan Yoshua terus bersama. Tapi tidak ada hal yang istimewa seperti yang Amanda katakan. Yoshua juga tidak pernah memperlakukanku secara istimewa. Malah dia sering menyebalkan daripada baiknya. Jadi mana mungkin tiba-tiba dia menyukaiku. Amanda ada-ada saja.
Yoshua meringis. “Wah, akhirnya gue ketahuan. Padahal gue udah berusaha bersikap biasa saja.”
Jadi benar begitu? Kenapa aku sendiri tidak merasa kalau Yoshua menyukaiku? Apa aku terlalu fokus pada Rayhan sehingga perasaanku pada yang lain menjadi tumpul? Tidak, tidak. Aku belum lama mengenal Rayhan, sedangkan bersama Yoshua sudah hampir lima tahun.
Amanda mengedik. “Awalnya gue cuma nebak-nebak aja, sih.”
“Jangan bilang-bilang sama Tita, ya? Sama yang lain juga. Gue nggak mau hubungan kami jadi canggung. Tita itu orangnya nggak pandai nyimpan perasaan. Tita pasti nggak mau dekat-dekat gue kalau dia tahu gue naksir dia. Makanya kita langsung tahu kan, kalau dia suka sama Rayhan.”
“Sejak kapan?”
“Nggak tahu, ya.” Yoshua menerawang. “Mungkin sudah sejak kami sama-sama di SMP.”
“Selama itu? Dan lo nggak punya keberanian buat ngaku?”
“Bukannya nggak berani, Man. Gue nggak melihat ada tanda-tanda Tita tertarik sama gue. Kalau gue bilang naksir dia, takutnya dia jadi canggung kalau dekat gue. Gue nggak mau itu.”
Ya ampun, sudah selama itu dan aku sama sekali tidak sadar. Itu karena aku yang tidak peka atau Yoshua yang pandai menyembunyikan perasaan?
Aku melihat Amanda menatap keluar jendela. Aku tahu perasaannya tidak enak sekarang. Meskipun dia tidak pernah bilang, tapi aku dan Sesil tahu kalau sebenarnya Amanda naksir Yoshua. Aduh, bagaimana ini? Bagaimana kalau Amanda marah padaku seperti Sesil dan kemarin? Bisa-bisa tahun ini menjadi tahun terburukku di SMA.
“Sori, deh,” Amanda tertawa pelan. “Gue berusaha jodohin Tita sama Rayhan. Jadinya elo patah hati, deh.”
“Wajar, sih. Karena Tita memang naksir sama Rayhan. Tenang aja, gue nggak apa-apa, kok. Tapi, Man. Lo jangan bilang siapa-siapa, ya? Gue nggak mau hubungan gue sama Tita jadi canggung.”
“Tenang aja. Gue bisa banget jaga rahasia. Asal lo nggak bikin gue kesal aja.”
Yoshua berdecak. “Ujung-ujungnya tetap nggak enak.”