TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #28

27

“Ray, sini!” Aku meletakkan semangkuk makanan kucing di pojok ruangan. Tanpa perlu dipanggil dua kali, si Ray datang dengan menggoyang-goyangkan ekornya. “Makan yang banyak, ya.” Aku mengelus kepalanya yang menunduk di atas mangkuk.


Rumah Rayhan terlihat berantakan. Waktu kesini kemarin aku tidak terlalu memperhatikannya. Aku hanya datang memberi makan si Ray sebentar lantas pulang. Aku memperhatikan setiap sudut. Tumben, tidak biasanya Rayhan berantakan seperti ini. Dia bukan tipe cowok jorok dan berantakan. Setiap berkunjung kesini, rumahnya selalu bersih dan rapi. Tidak seperti sekarang. Banyak benda terletak sembarangan. Buku-buku berserakan di lantai. Juga beberapa bungkus makanan yang belum sempat di buang. Sesibuk apa sih dia? Sampai membersihkan rumah sendiri saja tidak sempat. 


Sudah dua hari Rayhan pergi. Dan dia hanya sekali saja menghubungiku. Itu pun dia hanya mengirimiku pesan yang berisi dua kata. Menyebalkan bukan? Tapi aku mulai terbiasa dengan Rayhan yang seperti itu. Dia memang bukan tipe cowok yang banyak bicara yang semuanya harus diungkapkan dengan kata-kata. Kalau awalnya aku sering merasa sebal, aku lebih mencoba memahaminya sekarang. Dalam segi usia Rayhan lebih dewasa, begitu juga cara berpikirnya. Aku tidak mau dia menganggapku anak kecil yang sering merengek karena merasa kurang mendapat perhatian.


Baru saja aku menyandarkan punggung di sofa, aku mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Rayhan pulang? Siapa lagi kalau bukan dia. Selama menjadi tetangganya aku tidak pernah melihatnya memiliki tamu. 


Aku menghambur ke depan. Kebetulan sekali dia pulang waktu aku masih disini. Suara langkah kaki mencapai teras terdengar dari balik pintu tempatku berdiri. Ya ampun, mendengar langkah kakinya saja sudah membuatku berdebar-debar.


Aku melongo setelah membuka pintu lebih lebar. Memang benar Rayhan pulang, tapi ternyata dia tidak sendiri. Dia datang bersama dua laki-laki dewasa. Yang satu hampir seumuran dengan Rayhan, atau mungkin sedikit lebih tua. Sedangkan yang satu berpakaian lebih resmi, memakai jas abu-abu dan berkaca mata. Dia sepertinya seumuran dengan papa. Rasanya aku pernah bertemu orang ini. Tapi dimana? Aku belum bisa mengingatnya, tapi yang jelas wajahnya tidak asing.


“Kamu siapa?” Laki-laki yang lebih muda yang berpakaian lebih kasual menatapku seolah-olah menilai. 


“Eh?”


“Kamu apanya Rayhan?” Dia bertanya lagi. “Kenapa ada di dalam rumahnya?”


“Sa... saya tetangganya.” Aku tersenyum. Semoga senyumku tidak kelihatan aneh karena aku terlalu kaget mendapat pertanyaan yang tiba-tiba.


Dia mengernyit menatapku, lantas beralih pada Rayhan. “Ray, beneran anak kecil ini tetangga lo?”


“Iya,” jawab Rayhan pendek.


“Cuma tetangga, kan?” Dia menekankan kata tetangga dalam kalimatnya. Sepertinya dia ingin menegaskan posisiku dalam kehidupan Rayhan. 


“Astaga, lo cerewet banget sih, Jim,” Rayhan mendengus. “Dia pacar gue.”


Cowok yang dipanggil Jim itu membelalak. Dia menoleh dan mengarahkan telunjuknya tepat di depan hidungku. “Elo pacaran sama anak kecil begini, Ray? Yang benar saja. Yang lebih dewasa dan lebih cantik daripada anak kecil ini banyak di luaran sana. Astaga! Selera lo beneran aneh.”


Aku menatapnya sebal. Apa-apaan cowok ini? Belum kenal saja sudah mengata-ngataiku. Huh, menyebalkan. Siapa bilang aku anak kecil. Sebentar lagi usiaku tujuh belas tahun. Sebentar lagi aku punya KTP seperti orang-orang dewasa lainnya. Lagian kok bisa sih Rayhan mengenal cowok super menyebalkan kayak dia?


“Sudah, sudah.” Laki-laki yang lebih dewasa itu menengahi. “Nggak enak ngobrol di depan pintu begini.”


Aku langsung membuka pintu lebih lebar membiarkan mereka masuk. “Silahkan.” 


Laki-laki berjas abu-abu dan laki-laki menyebalkan yang Rayhan panggil Jim itu lantas masuk. Si Jim-Jim itu melempar pandangan menyebalkan saat melewatiku. Berbeda dengan yang memakai jas abu-abu, dia bersikap lebih ramah.


“A... aku pulang, ya,” pamitku pada Rayhan waktu kami berhadapan di depan pintu.


“Disini saja,” Rayhan memegang tanganku dan membawaku ke dalam. 


“Tapi...”


“Nggak apa-apa.” 


Kami berempat duduk menghadap meja di ruang tamu rumah Rayhan. Mereka mulai membicarakan hal-hal yang tidak aku mengerti. Aku sama sekali tidak bisa masuk dalam obrolan mereka. Aku hanya menjadi pendengar setia. Kehadiranku memang tidak dibutuhkan disini. Aku seperti tersesat di tempat yang sama sekali asing. Kalau bukan karena permintaan Rayhan, aku tidak akan duduk menjadi obat nyamuk disini. 


“Gimana, Ray?” Laki-laki dewasa yang dikenalkan Rayhan bernama Pak Hotma menyulut rokoknya. “Di sana ada fasilitas-fasilitas yang memudahkan kamu mengembangkan karir.”


“Hmm, gimana, ya,” Rayhan tampak berpikir.


“Mikir apa lagi sih, Ray,” sahut Jim. “Ini langkah besar memulai karir. Pak Hotma ini sudah nggak diragukan lagi kemampuannya. Banyak artis besar yang kepengen Pak Hotma jadi manajer mereka. Bodoh banget kalau lo tolak. Dan ada gue sebagai asisten elo yang siap ngintilin elo kemana-mana.”

Lihat selengkapnya