“Hai, Ray.” Perempuan yang waktu itu terlambat menggantikan shift kerja Rayhan langsung mendekat setelah melihat kami masuk ke dalam toko. “Lama nggak kelihatan. Kemana aja, sih?”
“Ada kesibukan lain, Mbak,” jawab Rayhan.
“Kirain kamu udah resign.”
“Rencananya memang gitu, Mbak. Ini baru mau kasih tahu Mas Johan. Sebenarnya udah telepon buat pamitan kemarin. Tapi rasanya nggak enak kalau nggak ngomong langsung.”
Perempuan itu tersenyum semringah. “Good luck ya, Ray. Ya, meskipun aku rada nggak ikhlas kamu tinggalin. Tapi sukses terus buat kamu, ya.” Dia menepuk pundak Rayhan.
“Makasih, Mbak.” Rayhan tersenyum.
“Sering-sering mampir, ya,” katanya lagi yang dibalas Rayhan dengan anggukan. “Kamu pasti mau ketemu Mas Johan, kan?” Perempuan yang belum kuketahui namanya itu menoleh pada temannya di meja kasir. “Bob, Mas Johan ada di ruangannya nggak?”
Cowok seusia Rayhan itu menggeleng. “Nggak ada. Dia keluar setengah jam yang lalu.”
Aku ingat cowok yang dipanggil Bob itu adalah cowok yang pagi itu membuka gudang waktu kami terkunci malam itu.
Rayhan menoleh padaku. “Nunggu sebentar nggak apa-apa, kan?”
Aku menggeleng. “Aku sambil lihat-lihat, ya?” Aku menuju rak aksesoris yang berseberangan dengan meja kasir. Pembatas buku warna pink itu menarik perhatianku sejak memasuki toko. Sepertinya ini stok baru, soalnya waktu aku kesini dengan Sesil dan Amanda, aku tidak melihatnya.
“Hei, itu kan Rayhan.”
“Mana?”
“Di depan kasir.”
“Masa, sih?”
“Beneran, gue nggak salah lihat kok. Itu Rayhan, vokalisnya Blue.”
Aku spontan menoleh waktu mendengar bisik-bisik dua remaja seusiaku. Perhatian dua cewek itu tertuju pada Rayhan.
“Minta foto bareng, yuk,” cewek yang berkuncir kuda mengeluarkan ponselnya.
“Apa dia mau?” temannya menjawab.
“Pasti maulah,” sahut yang berkuncir kuda lagi. “Aslinya ganteng banget, ya? Lebih ganteng dari yang di TV.”
Mereka berdua semakin heboh waktu Rayhan berjalan mendekat. Keduanya langsung menyambut mengerubungi Rayhan. Aku yang awalnya ingin menghampirinya, spontan menghentikan langkah.
“Rayhan, foto bareng dong.” Rayhan terlihat sedikit kaget waktu kedua cewek itu tiba-tiba menyerbunya. “Boleh, dong?”
“Eh, iya,” jawabnya dengan pandangan mengarah padaku.
Kedua cewek itu langsung menempeli Rayhan dan mengambil beberapa foto. Mereka lantas pergi setelah mengucapkan terima kasih. Entah dari mana datangnya, sekarang muncul seorang lagi yang langsung menempel meminta foto bersama.
“Kak,” cewek itu melambaikan tangan padaku. “Tolong fotoin, dong?”
Aku mendekat dan menerima ponsel yang disodorkannya. Aku mengarahkan mereka berpose. Setelah beberapa jepretan, baru dia melepaskan Rayhan setelah mengucapkan terima kasih.
Aku masih menatap cewek itu sampai dia keluar dari pintu toko. Ya, Rayhan benar. Ini baru permulaan. Tapi aku sudah merasakan jarak yang melebar antara aku dan Rayhan. Rayhan memang terlihat dekat di depanku. Tidak ada penghalang yang menghalangi pandanganku melihatnya. Tapi yang aku rasakan sekarang, Rayhan berdiri jauh dari jangkauanku. Entahlah, apa ini hanya perasaanku saja atau memang sebuah pertanda kalau hubungan kami kedepannya tidak akan mudah.
“Wah, sekarang lo udah jadi orang terkenal, ya?” seruan dari arah meja kasir membuat kami menoleh bersamaan. “Sok banget.” Cowok yang dipanggil Bob itu menatap Rayhan sinis. Terlihat jelas ketidaksukaan pada sorot matanya. Cowok itu kenapa, sih? Tampaknya dia mau mencari gara-gara. Gawat kalau Rayhan terpancing.
Rayhan menatapnya tajam. Rahangnya mengeras menahan emosi. “Daripada lo ngomong yang nggak-nggak, kenapa lo terusin aja kerjaan lo?”