TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #31

30

Ray bergelung di dekat kakiku. Aku sedikit berjingkat merasakan geli akibat bulu panjangnya yang menyentuh kakiku. Dasar pemalas. Setelah makanannya habis, tidak ada yang dia lakukan selain bergelung sambil menggoyangkan ekornya. Pantas saja tubuhnya semakin bulat dari hari ke hari. Aku berani bertaruh belum sampai lima menit mata kucing abu-abu itu akan terpejam.


Aku melirik Rayhan yang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Dia duduk di lantai dengan memangku gitarnya. Di telinganya terpasang earphone yang terhubung dengan ponselnya. Kalau sudah begitu tidak mungkin mengajaknya ngobrol, kan? Padahal dia mengirim pesan padaku supaya aku segera mampir ke rumahnya sepulang sekolah. Tapi apa? Dia malah mengacuhkanku sejak tadi. Kami hanya mengobrol selama lima menit setelah aku datang. Setelah itu Rayhan sibuk dengan gitar di tangannya. Dan aku duduk diam di sofa ditemani satu kantong besar cemilan yang Rayhan beli sebelum aku datang. Kalau maksudnya dia ingin menambah berat badanku dengan memberi camilan sebanyak ini, maaf saja, dia tidak akan berhasil. Sudah aku bilang kan kalau aku memelihara naga buas dalam perutku. 


Aku mendesah bosan lantas meletakkan ponselku di meja. Sejak tadi aku hanya bermain ponsel sambil menunggu Rayhan selesai. Mataku rasanya sudah panas akibat menatap ponsel terlalu lama.


Tidak lama kemudian Rayhan melepas earphone dari telinganya. Sepertinya kegiatan bertapanya sudah selesai meskipun dia belum melepaskan gitar dari pangkuannya. Ini saat yang aku tunggu-tunggu. Aku lantas mendekat sebelum Rayhan disibukkan lagi dengan hal lainnya. 


Rayhan menoleh setelah menyadari gerakanku. “Kenapa? Bosan, ya?”


Yaelah, pakai ditanya lagi? Tidak peka banget sih cowok ini. Tidak ada yang tidak bosan kalau hanya duduk ditemani sekantong besar cemilan dan kaleng soda tanpa berbuat apa-apa. “Nggak,” aku menggeleng. “Ada temannya, kok.” Aku menunjuk meja.


Rayhan tertawa. Dia mengacak rambutku dengan tangannya yang bebas. “Kamu nggak pintar bohong.”


Aku hanya nyengir. “Aku baca berita tentang Blue di berita online tadi. Ternyata kamu udah punya banyak penggemar. Hebat.”


“Hmmm.” Rayhan sibuk mengencangkan senar gitarnya. 


“Kalian udah akrab, ya? Sering latihan bareng, ya?”


“Kamu kira aku berhari-hari nggak pulang kemana?” Rayhan mengetukkan jarinya di dahiku. “Pacar kamu ini bukan tipe orang yang suka keluyuran tanpa alasan.”


Aku nyengir lagi. “Mereka orangnya kayak apa, sih? Kalian seumuran? Ganteng-ganteng, ya.”


“Biasa saja,” jawab Rayhan malas. “Aku yang paling ganteng.”


Aku mendelik. “PD banget, sih.”


Rayhan tidak menjawab. Dia kembali sibuk mengotak-atik gitarnya. Aku mendesah kesal merasa diacuhkan. Memang ada yang salah dengan pertanyaanku? Aku memang sudah melihat semua personil Blue di portal online. Tidak sulit mencari berita tentang mereka. Mereka adalah salah satu pendatang baru di industri musik tanah air yang paling sering di sorot. Tapi tidak ada salahnya kan kalau aku bertanya langsung? Menyebalkan.


“Kalau...” Kata-kataku terputus oleh dering yang berasal dari ponsel Rayhan. Astaga, gangguan lagi. 


Siapa yang menelepon Rayhan? Pak Hotma, si Jim-Jim itu atau temannya yang lain? Aku jadi penasaran apa yang dibicarakannya. Karena Rayhan hanya menjawab pendek-pendek saja. Dia lebih sering menjawab iya tanpa embel-embel lagi di belakangnya. 


“Ya, aku mengerti.” Rayhan masih mengobrol dengan orang yang meneleponnya. 


Aku mendesah bosan. Kalau begini aku pulang saja. Tidak ada hal lain yang bisa aku kerjakan disini selain duduk melihat Rayhan yang sibuk dengan dunianya sendiri.


Rayhan menjauhkan ponsel dari telinganya saat melihatku berdiri. “Mau kemana?”


“Pulang. Kamu kayaknya sibuk, deh. Ntar malah ganggu.”


Rayhan meletakkan ponselnya. “Itu tadi dari ibuku.” Dia ikut berdiri. 


“Ibumu pasti sayang banget sama kamu, kan?” Pertanyaan klise, aku tahu. Tidak ada satu ibu pun di dunia yang tidak menyayangi anaknya. 


“Begitulah.” Rayhan mengedik. “Karena aku anak tunggal, kadang kekhawatirannya suka berlebihan. Apalagi sejak dia tahu aku mulai meniti karir.”


“Wajar, sih. Dunia hiburan itu keras persaingannya. Ya, meski aku orang luar, papaku dulu sering cerita persaingan antar para public figure. Nggak heran sih, kalau ayah dan ibu kamu khawatir sama anak cowoknya yang kayak gini.” Aku menekankan jariku ke perutnya.


Rayhan mengangkat bahu. “Ayahku sudah nggak ada sejak aku masih SD. Sakit paru-paru.” Dia lantas menghembuskan napas panjang.


“Maaf, aku nggak...”


“Nggak apa-apa,” dia memotong. “Lagian udah lama juga.”

Lihat selengkapnya