Kami benar-benar menghabiskan waktu seharian ini bersama. Rayhan sempat mengusulkan pulang setelah hari menjelang sore. Tapi aku menolak. Aku ingin menghabiskan waktu bersamanya selagi dia ada kesempatan. Mumpung jadwalnya sedang kosong. Jarang-jarang kami bisa bersama seharian penuh seperti ini tanpa gangguan. Rayhan memang tidak menonaktifkan ponselnya, tapi dia tidak merespon panggilan atau pesan kalau tidak benar-benar penting.
“Mumpung ada waktu, kan? Belum tentu besok kamu nggak pergi lagi dan pulang beberapa hari kemudian, kan?” Aku memberi alasan. “Kamu bakalan sibuk banget ntar. Belum tentu punya waktu kayak gini lagi.”
Rayhan akhirnya mengalah. Dia melupakan ajakannya. Dia pasrah saja waktu aku menyeretnya kesana kemari ke tempat yang menurutku menarik. Dia juga tidak mengeluh meskipun rautnya terlihat lelah.
Rayhan mengajakku mampir ke salah satu mall untuk mengisi perut. Aku heran dia cepat sekali lapar, padahal belum lama dia baru saja menghabiskan sepotong besar roti.
“Mumpung disini, kita jalan-jalan sekalian,” Rayhan mengelap bibirnya dengan tisu. “Ada yang mau kamu beli?”
“Aku lihat boneka disana tadi bagus-bagus,” katanya lagi setelah aku tidak segera menjawab.
Ya ampun, apa karena aku masih belum genap tujuh belas tahun sehingga dengan santainya dia menawariku boneka? Yang benar saja. Aku memang punya boneka, tapi hanya dijadikan pajangan di lemari kaca di kamarku. Waktu SMP saja aku sudah tidak memainkannya apalagi sekarang. “Aku sudah SMA, masa ditawari boneka, sih? Nggak romantis banget.”
Rayhan tertawa. “Beli boneka kan nggak ada batasan umur? Kalau mau beliin kamu cincin masih kecepetan. Kesannya aku kayak pedofil kalau mengikat anak di bawah umur kayak kamu. Lagian uangku belum cukup buat beliin kamu perhiasan. Yuk, nanti keburu malam. Nggak enak sama mama kamu. Mana pamitnya kamu pergi sama teman-teman kamu lagi. Kenapa nggak jujur aja, sih?”
Aku bangkit mengikutinya keluar dari food court. “Aku belum cerita sama mama kalau aku pacaran sama tetangga sebelah. Kalau tiba-tiba minta ijin keluar sama kamu kan aneh. Ntar mama malah nggak kasih izin.”
Rayhan menjentikkan jarinya ke dahiku. “Mau bagaimanapun bohong itu nggak bagus. Apalagi yang dibohongi orang tua sendiri.”
“Iya, aku tahu.” Aku meringis.
Kami beriringan masuk ke dalam toko. Banyak sekali boneka dipajang memenuhi rak. Sayangnya tidak ada satu pun yang menarik minatku. Kalau dulu Donald Duck selalu menarik buatku, bahkan aku punya satu lemari penuh boneka Donal bebek lengkap dengan tiga keponakannya, Deasy Bebek, dan Paman Gober.
Rayhan menunjuk beberapa boneka beruang besar berbagai warna. Berulang kali aku menggeleng karena memang aku tidak menginginkannya.
“Beneran nggak mau?” Rayhan memastikan. “Biasanya cewek suka Teddy Bear.”
Aku berjalan mendahuluinya. “Aku memang nggak suka boneka beruang. Aku lebih suka Donal Bebek.”
Telunjuk Rayhan mengarah ke satu rak berisi boneka Donal bebek dan krunya. “Tuh, disana.”
Aku menggeleng. “Nggak, deh. Aku udah punya satu lemari penuh, kok.”
“Kan beda kalau yang beliin pacar kamu.”
“Yang lain aja, boleh?” Aku berbalik menatapnya.
Rayhan mengedik lantas mengangguk. “Terserah kamu.”
Aku kembali berjalan mendahuluinya. Kemudian berhenti di sebuah rak yang terletak di pojok toko. “Aku mau ini aja.” Aku menunjuk kotak musik yang ditata rapi di atas rak.
Rayhan mengernyit. “Apaan sih, Ta? Kayak orang jaman dulu aja.”
“Nggak apa-apa, kan? Yang klasik kayak gini lebih menarik,” sahutku cepat. “Waktu kecil aku pernah punya, mirip kayak gini.” Aku mengambil salah satu kotak dan menunjukkan pada Rayhan. “Baru seminggu beli, aku nggak sengaja menjatuhkannya di tangga. Akhirnya rusak, deh. Aku nangis kencang waktu itu.” Aku tertawa mengingatnya. Seberkas kenangan kecil yang masih aku ingat. Karena sejak peristiwa itu aku berusaha menghapus apapun yang berkaitan dengan papa. Meskipun tidak seluruhnya.
“Aku baru diam setelah papa pulang kerja dan janji beliin lagi yang persis dengan yang rusak itu,” aku melanjutkan. “Tapi karena pas beli barangnya tinggal satu itu, yang aku jatuhin itu, papa nggak jadi beliin. Sampai sekarang.” Aku membuka kardus pembungkusnya. Alunan musik klasik terdengar setelah aku memutar tuas kecil di bagian samping.
“Ambil yang kamu mau,” kata Rayhan.
“Aku ambil satu, ya?”