TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #33

32

Hampir sebulan sejak penampilan Rayhan di Multi TV. Dari berita yang aku ikuti, Blue khususnya Rayhan banyak mendapat sorotan dari pengamat musik. Mereka tidak segan-segan melontarkan pujian tentang penampilan mereka malam itu. Begitu juga musikus-musikus lain yang lebih dulu berkecimpung di dunia musik tanah air memberikan apresiasi positif. Pencapaian yang membanggakan untuk pendatang baru seperti mereka.


Aku senang melihat perkembangan karir musik Rayhan yang berkembang pesat sejak awal kemunculannya. Tapi sejak saat itu aku belum bertemu lagi dengannya. Memang terakhir kami bertemu, aku menghabiskan waktu dengannya seharian penuh. Tapi itu tidak sebanding dengan waktu yang aku habiskan tanpa Rayhan.


Belakangan ini Rayhan lebih sering tampil di berbagai acara televisi, entah itu acara musik atau di undang sebagai bintang tamu sebuah acara. Berita tentangnya di media online pun semakin banyak. Aku selalu mengikuti update terbaru tentang Rayhan dan Blue. 


“Selamat datang.” Perempuan cantik menyapaku ramah setelah aku masuk ke toko buku tempat Rayhan dulu bekerja. Pasti dia yang bernama Ratna, yang diceritakan Mas Johan waktu itu. Soalnya dia perempuan yang sama yang mengobrol akrab dengan Rayhan terakhir kali dia kesini. “Eh, Tita, ya?” Aku tidak heran dia tahu namaku. Rayhan beberapa kali memanggilku di depannya. 


“Iya, Mbak.” Aku tersenyum mengimbangi keramahan yang selalu ditunjukkannya kalau kami datang.


“Tumben sendirian?” tanyanya lagi.


“Kami tadi nggak barengan pulangnya, Mbak.” Aku paham maksudnya. Mbak Ratna pasti hafal kalau aku mampir kesini pasti bertiga. 


“Oh, gitu,” dia mengangguk. “Gimana kabar Ray?”


“Baik, Mbak.”


“Pasti susah ya buat kalian ketemu? Orang Rayhan-nya sibuk gitu.”


Aku tertawa. “Eh, iya.”


Mbak Ratna menepuk lenganku. “Nggak perlu khawatir. Percaya aja sama dia. Rayhan itu orangnya baik, kok. Disini dia yang paling perduli sama karyawan lain. Ya, meski dia nggak banyak ngomong, sih. Tapi memang dasarnya dia pendiam, kan?” Dia lantas tertawa. “Eh, kok jadi ngomongin orang, sih. Kalau butuh sesuatu panggil aja ya, Ta.”


Aku mengangguk. “Iya. Makasih, Mbak.”


Mbak Ratna melambai lantas menghilang di balik rak. Beruntung cowok menyebalkan yang dipanggil Bob itu tidak ada. Kalau dia ada, semakin menambah buruk suasana hatiku. Aku masih ingat bagaimana sikapnya pada Rayhan waktu itu. Seenaknya saja mengatai Rayhan yang tidak-tidak. Padahal belum tentu dia lebih baik dari pada Rayhan. Untung saja Rayhan tidak terpancing emosi meladeni cowok menyebalkan seperti Bob. Malah Bob terlihat kesal sendiri melihat raut datar yang ditampilkan Rayhan. 


Ternyata dugaanku salah. Baru saja memikirkannya aku melihat Bob keluar dari gudang. Dia menyeringai waktu tatapan kami bertemu. Tuh, kan. Baru melihatnya saja sudah membuatku kesal. Kalau tidak mau hariku berakhir buruk, aku harus menghindarinya. 


“Hei, bocah!"


Aku mendengus. Tanpa melihatnya pun aku tahu kalau yang dipanggilnya bocah itu adalah aku. Bob mengayunkan langkah mendekat. Awas saja, kalau dia berani macam-macam, atau bicara sesuatu yang tidak enak di dengar, aku akan melaporkannya pada Mas Johan. 


“Sendirian?” Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. “Atau si Ray udah bosan sama anak kecil kayak elo? Ya iyalah, pasti dia lebih milih yang lebih dewasa dan seksi. Teman artisnya yang kayak gitu kan banyak. Gue jadi kasihan sama elo.” Bilangnya kasihan tapi dia malah tertawa. Dasar cowok sinting.


Aku mengarahkan bola mata ke atas. Ya ampun, ada ya cowok menyebalkan seperti dia? Sekali bicara langsumg aroma cabe yang keluar. Sepertinya dia baru menelan lima kilo cabe yang membuat uap panas ikut keluar dari mulutnya. “Maaf, kayaknya kita nggak ada urusan, deh.”


“Oh, ya?” Tatapannya sinis. Cowok ini maunya apa, sih? “Lo mau tahu sesuatu nggak?”


“Nggak,” sambarku cepat.


“Beneran?” Bob mengangkat alis. “Lo nggak penasaran? Ada hubungannya dengan Ray, lho. Yakin nggak pengen tahu?”


Aku menghembuskan napas lantas menatapnya bosan. “Sebenarnya kamu ada masalah apa sama Rayhan?”


“Nggak ada, sih.” Jawabannya semakin membuatku kesal. Kalau tidak ada masalah apapun kenapa dia terus mencari gara-gara? “Lo tahu nggak, lo udah dibohongi Rayhan malam itu.”


Aku mengernyit menatapnya. Dasar orang aneh. Omongannya pun semakin aneh.


“Itu, pas kalian terkunci di gudang? Lo nggak heran kenapa Rayhan nggak telepon gue atau Mas Johan supaya bukain pintu gudang?”


“Ponsel Ray mati. Baterainya habis.” Jawabku menahan kesal. Memang seperti itu kenyataannya. Rayhan sendiri yang bilang.

Lihat selengkapnya