TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #34

33

Hal tidak biasa terjadi saat aku mulai masuk gerbang sekolah. Beberapa murid cewek yang bergerombol menunjuk padaku lantas berbisik pada teman di sampingnya. Awalnya aku tidak peduli dengan mereka yang bersikap tidak seperti biasanya hari ini. Sampai hal yang sama terjadi ketika aku berjalan di koridor menuju kelas. Tiga orang siswi yang berpapasan denganku melakukan hal yang sama. Dari situ aku berpikir mungkin ada yang aneh denganku. Tidak hanya satu atau dua orang, hampir setiap kami berpapasan mereka melakukan hal yang sama. 


Sekali lagi aku mengamati kalau-kalau ada yang salah dengan seragamku hari ini. Benar, kok. Hari ini Rabu, jadi aku memakai seragam khas. Aku menelitinya lagi. Mungkin ada yang aku kenakan tapi kelihatan tidak pas di tempatnya sehingga mereka yang berpapasan denganku lantas berbisik-bisik. Tapi kan aku tidak mengenakan aksesoris apapun. Jadi, apa yang aneh menurut mereka? 


Sepatu. Iya, mungkin sepatu. Aku menunduk memeriksa kakiku. Bukan juga. Ini sepatu yang biasa aku pakai ke sekolah. Aku tidak banyak memiliki koleksi sepatu, jadi yang aku gunakan ke sekolah ya itu-itu saja. Kalau kemarin-kemarin tidak ada masalah waktu aku memakainya, jadi tidak mungkin kalau sekarang mendadak menjadi pusat perhatian.


Sama dengan tas. Aku jarang mengganti tas sekolah kalau tidak benar-benar kotor. Jadi tidak mungkin tasku yang terlihat aneh. Aku memakainya sudah hampir sebulan ini. Kalau ada yang tidak beres dengan tasku, sudah dari kemarin-kemarin aku menyadarinya. Akhirnya aku memutuskan bersikap masa bodoh pada mereka. Nanti saja kalau bertemu Sesil atau Amanda, aku akan meminta menilai penampilanku hari ini. Siapa tahu ada yang aneh menurut pandangan orang tapi aku tidak menyadarinya. 


“Anak-anak pada kenapa, sih?” Aku menaruh tas lantas menempati bangkuku. Amanda dan Sesil datang lebih dulu. 


“Memangnya kenapa?” Amanda beralih menatapku.


Aku mengedik. “Gue ngerasa kayak dilihatin terus, deh. Nggak nyaman banget jadinya. Mulai dari gerbang sekolah sampai masuk kelas kelakuan mereka sama. Gue jadi penasaran, kan? Ada yang aneh sama gue, ya?”


Mereka serempak menggeleng. Kalau Sesil dan Amanda bilang tidak ada yang aneh, jadi apa yang membuat mereka menatapku seperti melihat makhluk asing dari planet lain? “Mereka lihatin gue terus. Gue merasa kayak alien yang baru pertama kali menginjak bumi. Atau barang antik yang hilang dari museum dan tiba-tiba muncul di depan mereka.”


“Cuekin aja kali, Ta,” sahut Amanda.


“Tapi sumpah, gue penasaran banget.”


Sesil mengarahkan bola matanya ke atas. “Yaelah, lebay banget sih, Ta. Lo nggak sadar ya kalau ketenaran Rayhan itu berimbas ke elo.”


Aku mengernyit menatap Sesil. “Maksudnya?”


Sesil menutup buku yang dibacanya. “Ya ampun, lo beneran nggak sadar?”


Aku menggeleng. 


“Udah jadi gosip hangat di lingkungan sekolah. Katanya ada anak dari sekolah ini yang pacaran sama Rayhan Blue,” sahut Amanda.


Aku membelalak. “Beneran?”


“Apalagi Rayhan kan pernah kesini,” timpal Sesil. “Habis dia kan menonjol banget. Jadi nggak heran kalau ada anak yang langsung mengenali Rayhan pas lihat dia tampil di TV. Lagian buat lupa pernah lihat cowok secakep dia itu susah.”


Jadi begitu? “Aku nggak mikir sampai kesitu, sih,” kataku jujur.


“Ya mau gimana pun Ray kan udah terkenal sekarang. Orang-orang mulai pengen tahu kehidupan pribadi Rayhan. Pasti kisah cintanya juga ikutan disorot.” 


Kata-kata Sesil membuatku diam. Aku memang tidak berpikir kalau mereka masih mengenali Rayhan. Aku kira mereka sudah lupa kalau Rayhan pernah menungguku di gerbang sekolah. Ternyata yang aku pikirkan terlalu sederhana.


“Hei, kenapa tampang lo tegang gitu, sih.” Sesil melambaikan tangannya di depan wajahku. Tawanya lantas menghambur. “Mendingan pura-pura biasa aja, Ta. Lama-lama mereka juga bakalan biasa lagi, kok.”


“Bener, tuh.” Amanda menjentikkan jarinya. “Nanti lama-lama juga hilang sendiri. Gone with the gossip.”


“Idih, apaan sih, Manda.” Sesil menoyor kepala Amanda pelan. Dasar mereka.


***




“Majikan kamu mungkin nggak pulang lagi hari ini.” Aku menuang makanan Ray ke dalam mangkuk. “Sabar, ya?”


Ray mengeong di dekat kakiku. Aku menganggap itu sebagai jawaban dari kata-kataku. Tidak menunggu lagi, Ray langsung melahap habis isi dalam mangkuknya. 


“Aku pulang, ya.” Aku menepuk kepalanya pelan. “Bentar lagi mama pulang. Aku harus siapin makan malam.” Aku bangkit diiringi tatapan Ray yang terus mengawasiku sampai aku menuju pintu. Waktu aku berbalik untuk melihatnya, kucing pemalas itu sudah bergelung nyaman di atas sofa. 


Mobil hitam berhenti tepat saat aku bersiap meninggalkan teras rumah Rayhan. Aku diam mengawasi dengan harapan Rayhan akan keluar dari mobil itu. Ternyata harapanku terkabul. Rayhan berbincang sebentar, lantas melambai pada mobil itu. Aku tidak bisa melihat siapa yang mengemudikan mobil yang ditumpangi Rayhan. Kaca hitamnya tertutup rapat saat melintas. Mungkin si Jim-Jim itu. Siapa lagi kalau bukan dia. Dia kan asistennya Rayhan.


“Tita?” Rayhan lantas tersenyum begitu memindaiku. “Surprise banget kamu masih disini pas aku pulang.”


“Kaget, aku. Aku kira itu penggemar kamu.” Aku mengusap dada. Aku memang sempat mengira kalau yang datang salah satu penggemar Rayhan. 


Lihat selengkapnya