TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #35

34

Entah ini sudah hari ke berapa sejak hari kepindahan Rayhan. Aku tidak menghitungnya. Kalau sebelumnya aku selalu bersemangat menanti hari berganti, sebab aku memiliki harapan Rayhan segera pulang. Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Rayhan tidak akan pulang. Sekeras apapun aku menunggunya, dia tetap tidak akan pulang. Orang-orang itu sudah memindahkan semua barang-barangnya ke tempat yang tidak aku tahu.


Tidak hanya kecewa, lebih tepatnya sakit hati. Siapa yang mengira kalau Rayhan akan pergi dengan cara seperti itu. Tiba-tiba pergi tanpa memberitahu kemana dia akan pindah. Aku tahu kok, keadaannya sekarang memang tidak memungkinkan kalau dia tetap tinggal di kompleks perumahan sederhana seperti ini. Tapi setidaknya dia tidak pergi dengan cara seperti itu. Atau seandainya dia tidak ingin aku tahu tempat tinggal barunya, dia bisa bicara baik-baik, kan? Aku tidak akan memaksa.


Tidak ada gunanya terus meratapi kepergian Rayhan. Dengan atau tanpa dia kehidupanku akan terus berjalan. Ya, dunia tidak akan berakhir meskipun kami tidak lagi bersama. Untuk apa berlarut-larut dalam kesedihan, sedangkan dia yang selalu memenuhi kepalaku belum tentu memikirkan hal yang sama. Bodoh kalau aku lantas terpuruk hanya karena seorang Rayhan.


Seperti biasa kantin selalu ramai waktu jam istirahat. Kalau menurutkan keinginan, aku malas berdesak-desakan hanya demi semangkuk bakso. Tapi apa boleh buat, diantara kami bertiga tidak ada yang membawa bekal hari ini. Lagi pula jam pulang masih lama, aku akan kelaparan dan sulit konsentrasi waktu pelajaran kalau tidak mengisi perut waktu jam istirahat.


Pojok kantin adalah tempat favorit kami bertiga. Kami tidak akan mencari tempat duduk lain kalau tempat favorit kami itu tidak ada yang menempati. Yoshua dan Ale ikut bergabung tidak lama kemudian. 


“Gue malas belajar buat ulangan nanti.” Yoshua sangat menikmati isi piringnya. Suapan demi suapan yang masuk ke mulutnya terlihat nikmat. “Gimanapun kerasnya gue belajar, nggak masuk di otak. Sialan.”


Sesil berdecak. “Memangnya kapan sih elo mau belajar? Naik kelas aja lo udah beruntung, kan?”


“Siapa bilang?” seru Yoshua tidak terima. “Nilai ulangan gue nggak pernah di bawah tujuh. Memang kalian pernah lihat gue ikutan remidi? Nggak, kan?”


Ya, Yoshua memang memiliki otak yang encer terlepas dari sikapnya yang cengengesan dan seenaknya sendiri. Waktu SMP kami pernah mengikuti rangkaian tes psikologi dan hasil tes IQ Yoshua sungguh di luar dugaan. Dari hasil tes dia termasuk siswa yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Aku sendiri lebih rendah empat poin dibanding Yoshua. 


“Bisa jadi ulangannya batal,” kata Ale. “Anak kelas sebelah bilang Bu Risma nggak ngajar di kelasnya tadi. Seharusnya mereka ulangan juga jam pertama.”


“Beneran?” tanya Amanda.


“Siapa bilang nggak ada,” aku menimpali. “Kami tadi barengan masuknya, kok.”


Yoshua berdecak. “Ini yang benar yang mana, sih?” Dia menatap kami bergantian. “Kasih info yang benar, dong.”


“Lihat aja ntar,” sahut Ale lantas dia lanjut menyuap.


“Eh, kemarin kayaknya gue lihat Rayhan, deh.” Ale mengganti topik, membuatku spontan menatapnya. “Mobil bokap sebelahan sama mobil Rayhan pas berhenti di lampu merah.”


“Masa, sih? Lo salah lihat kali,” sambarku cepat.


“Beneran,” sahut Ale yakin. “Orang gue lihat dia kasih duit ke pengamen, kok.”


Aku pura-pura bersikap biasa waktu topik mereka bahas berubah membicarakan Rayhan. Aku tidak banyak menyahut, hanya menimpali sekedarnya. Membicarakan Rayhan di waktu hubungan kami memburuk seperti ini langsung membuat nafsu makanku terbang. Bukan hanya memburuk, tapi aku tidak tahu kami masih berlanjut atau sudah putus. Rayhan tidak memberi kabar setelah itu. Aku juga berusaha menekan keinginan untuk tidak menghubunginya lebih dulu meskipun aku ingin memastikan status kami sekarang.


“Ta, lo masih sering ketemu Rayhan?” tanya Yoshua tiba-tiba. Aku tidak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu.


Aku menjawab setelah menyuap. “Nggak pernah.”


Mereka kompak menatapku. Sepertinya jawabanku membuat mereka berempat kaget.


“Dia udah nggak tinggal di rumah yang lama,” aku melanjutkan lantas mengedik pura-pura tidak peduli. “Ray pindah udah hampir sebulan. Gue juga nggak tahu dia pindah kemana. Dia cuma nyuruh orang buat kemasin barang-barangnya. Si Ray juga dia bawa.”


“Tita...” Amanda menatapku prihatin.


“Apa boleh buat, kan?” Aku masih setia menampilkan raut datar. “Namanya juga orang sibuk.”


“Mana bisa kayak gitu, sih?” Sesil sedikit berteriak membuatku mengusap dada kaget. Sesil memang spontan. Aku tidak heran kalau dia langsung kesal mendengarnya.


Lihat selengkapnya