Meskipun tatapan kami bertaut dalam jarak cukup dekat, tidak lantas membuatku mempercayai apa yang aku lihat sekarang. Aku tahu aku tidak sedang bermimpi, aku terjaga sepenuhnya sebelum dia datang. Aku sudah makan keik, minum soda, dan mengisi perutku dengan berbagai macam makanan yang mereka bawa untuk merayakan ulang tahunku. Atau lebih parahnya lagi aku sedang berhalusinasi. Tidak, tidak mungkin begitu. Makanan yang masuk perutku tadi jelas tidak ada yang menyebabkan aku alergi parah sampai berhalusinasi. Lagi pula aku tidak mempunyai alergi pada jenis makanan tertentu. Aku bukan pemilih soal makanan.
Aku bergeming masih belum mempercayai apa yang terlihat di depanku. Ya ampun, apa karena aku tidak berhenti memikirkannya jadi aku seolah-olah melihat dia berdiri di depanku sekarang. Aku ingin seseorang memberiku cubitan supaya aku segera sadar dari halusinasi parah ini.
“Ta...” Terikan Yoshua spontan menyadarkanku. “Hadiah terindah udah datang, nih.”
“Yuk, yuk kita pulang!" sambung Sesil. “Yang lama nggak ketemu mau kangen-kangenan. Ntar malah gangguin.”
“Iya, nih,” timpal Amanda. “Mana enak sih jadi obat nyamuk. Pulang, yuk!”
“Bye, Mas Ray.” Mereka serempak menyapa seperti paduan suara.
“Ya.” Bukan Rayhan namanya kalau dia membalas lebih panjang. Dasar menyebalkan. Setelah hampir sebulan tidak ada kabar, seenaknya saja tiba-tiba datang.
“Malam, Tante.” Dia menyapa mama lebih dulu. Aku yakin mama pasti kaget melihat Rayhan tiba-tiba datang. Apalagi ditambah omongan tidak senonoh Sesil cs. Setelah ini aku harus mempersiapkan diri di interogasi.
Mama menatap Rayhan lekat. Dia diam saja tidak menjawab sapaan Rayhan. Rautnya datar saja. Apa mama tidak menyukainya?
“Sori, mamaku nggak mau ngomong,” jawabku sekenanya. Maksudku untuk mengusir suasana canggung yang tiba-tiba datang.
Mama tersenyum lantas menggeleng. “Nggak gitu, kok. Tante Cuma kaget aja. Tante sering lihat kamu di TV. Kita dulu bertetangga, tapi belum sempat ngobrol seperti ini.”
Rayhan hanya mengangguk dan membalas senyum mama.
“Supaya nggak mengganggu, Tante ke dalam dulu.” Mama menoleh. “Ta, ajak masuk, gih. Nggak enak ngobrol di pinggir jalan. Kalau keciduk wartawan bisa jadi gosip heboh di akun lambe.” Mama masuk ke dalam lebih dulu. Masih saling diam, aku dan Rayhan mengikuti langkah mama.
Mama segera masuk ke kamarnya. Sedangkan aku dan Rayhan berdiri berhadapan tidak jauh dari pintu setelah aku menutupnya. Kami saling memandang tanpa ada yang memulai percakapan lebih dulu. Aku memang merindukannya, tapi aku menahan diri tidak menghambur ke pelukannya. Aku takut kalau aku salah mengartikan maksud kedatangannya menemuiku. Siapa tahu dia punya maksud lain yang berbeda. Mengajakku putus misalnya. Kalau benar begitu, benar-benar hadiah terindah di ulang tahunku ke tujuh belas.
Rayhan menghela napas sebelum berkata, “Mama kamu baik, ya?”
Aku tersenyum canggung lantas mengedik. “Iya.”
Kami diam lagi. Rayhan tetap berdiri, aku juga belum menyuruhnya duduk. Biar saja dia berpikir aku bukan tuan rumah yang baik. Yang ada dipikiranku saat ini adalah memilih menumpahkan semua perasaan yang aku rasakan sekarang atau diam saja dan menyerahkan semuanya pada cowok tidak peka bin menyebalkan di depanku ini.
Aku menunggunya bicara lebih dulu. Tapi yang dilakukannya hanya diam sambil menatapku lekat. Apa-apaan sih dia? Bikin aku salah tingkah saja. Kenapa dia tidak lantas bicara biar semuanya jelas. Supaya aku tidak capek-capek berharap lagi padanya.
Baiklah, aku akan menunggunya bicara sebentar lagi. Kalau dia masih diam juga, aku yang akan memulainya. Apa dia kira bocah sepertiku bisa dia permainkan sesuka hatinya? Bukan Tita namanya kalau dia akan diam saja.
“Mau apa kesini?” Akhirnya aku tidak tahan menunggunya bicara lebih dulu.
Rayhan mengernyit. “Kok ngomongnya gitu, sih? Aku jauh-jauh datang langsung dari Bandung cuma buat ketemu kamu.”
Aku mendengus. “Aku nggak tanya kamu darimana. Aku tanya mau apa kesini?”
“Kan aku udah jawab mau ketemu kamu, Ta.” Dia mendekat dan tersenyum. “Nggak salah kan kalau pengen ketemu pacar sendiri?”
“Keterlaluan. Kamu pikir berapa lama kamu menghilang? Kenapa kamu nggak pernah menghubungiku?” Akhirnya aku tidak tahan dengan jawabannya yang berputar-putar. “Pindah juga nggak ngasih tahu. Tanpa ngomong apa-apa tiba-tiba ada orang suruhan kamu berkemas-kemas. Kamu juga bawa si Ray.” Ray memang kucing Rayhan. Sebenarnya tidak salah kalau dia membawanya waktu pindah. Tapi cara yang dilakukannya tetap saja salah.
“Bukan kayak gitu, Ta.” Rayhan mengulurkan tangannya yang segera aku tepis.
“Jadi gimana?” Aku menentang tatapannya sebentar lantas menunduk. “Sebaiknya gimana?”
“Tita, dengerin dulu!”
“Gimana baiknya aku sendiri nggak tahu.” Aku mengusap mata. Aku benci menunjukkan sikap emosionalku di depan Rayhan. Tapi air mata ini keluar begitu saja tanpa bisa aku tahan. “Kalau memang kayak gini lebih baik putus, kan? Apa benar aku udah nggak berarti lagi?”