TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #37

36

Perjalanan ke apartemen Rayhan terasa lama. Mungkin karena ini pertama kalinya pergi kesana, atau bisa jadi karena ingin segera bertemu Rayhan, aku jadi tidak sabar. Menurut cerita Rayhan, dia sama sekali tidak tahu kalau ada orang yang memindahkan barangnya ke apartemen. Dia memang berencana pindah ke apartemen, tapi bukan dalam waktu dekat ini. Jim yang mengatur semuanya. Jadi aku menyimpulkan kalau orang-orang yang mengemas barang-barang Rayhan waktu itu adalah suruhan Jim. 


Obrolanku dengan mama sepulang sekolah tadi kembali berputar-putar di kepala. Aku tidak menyalahkan mama kalau dia memiliki kekhawatiran terhadap hubunganku dengan Rayhan. Sebagai ibu tunggal seperti mama, tidak ada tempat dia membagi keluh kesah dan meminta pendapat. Aku tidak menyalahkan sikap protektifnya padaku.


“Mama nggak setuju kalau...”


“Bukan mama nggak setuju, Ta,” potong mama. “Mama cuma kasih tahu risiko yang akan kamu hadapi kalau kamu pacaran dengan public figure kayak Rayhan. Mama nggak melarang kok kamu mau dekat dengan siapapun. Termasuk dia.”


“Jadi?” Aku memberanikan diri menatap mama.


Mama tersenyum lantas menepuk pipiku pelan. “Mama nggak masalah kamu mau dekat dengan siapa saja. Termasuk Rayhan. Bagaimanapun senyuman kamu yang terpenting buat mama. Mama nggak punya siapapun selain kamu. Mengerti, kan?”


Aku mengangguk. “Jadi gimana baiknya menurut mama?”


“Kamu udah gede, Ta. Kamu punya pilihan. Pilihan mama belum tentu cocok buat kamu, kan? Mama nggak mungkin menolak Rayhan cuma karena dia bekerja di dunia yang sama dengan papa. Terlalu dibuat-buat, kan?”


Aku mengangguk. Kenyataannya memang begitu. Sejak aku menginjak ABG, aku dan mama sering berseberangan kalau soal pilihan. Meskipun itu hal kecil, seperti sepatu, warna baju atau hal remeh lainnya. Pada akhirnya mama mengalah dan membeli sesuai keinginanku. 


Mama meraih tanganku membawanya ke pangkuannya. “Apapun pilihan kamu, mama dukung. Asalkan kamu bahagia. Mama menyadari kalau mama kehilangan banyak senyum kamu sejak mama memutuskan berpisah dari papa. Mama minta maaf.”


“Bukan salah Mama,” sambarku cepat. “Mama nggak perlu berulang kali minta maaf untuk semua hal yang bukan kesalahan Mama. Dia yang salah. Papa yang salah.” Aku menunduk. Jiwa emosionalku muncul ke permukaan. Selalu begini kalau kami membahas papa. Karena aku masih menyimpan sakit itu.


Mama menghela napas. Mungkin dia sudah kehabisan kata-kata membujukku melupakan kesalahan papa dan mulai berdamai. “Mama nggak maksa kamu menerima kembali papa, mungkin sekarang kamu belum bisa berdamai dengan rasa kecewa kamu padanya. Saran mama, jangan menyimpan kecewa terlalu lama. Nggak baik, Ta.” Mama menepuk tanganku. “Satu lagi, kalau kamu yakin melanjutkan hubungan kalian, jangan nilai Rayhan seperti kamu menilai papa. Meskipun mereka berada di dunia yang sama tapi mereka orang yang berbeda. Mengerti, kan?”


Aku mengangguk. “Ya, Ma.” Mumpung mendapat lampu hijau sekalian aku meminta izin mama ke apartemen Rayhan. 


“Nggak lama kok, Ma.” Aku meyakinkan karena raut mama terlihat keberatan. “Aku sudah di rumah sebelum malam.”


“Jam tujuh sudah ada di rumah. Nggak ada tawar-menawar lagi.” Mama bangkit dari sofa. “Jangan sampai kena jepret wartawan. Mama nggak mau besok wajah kamu nongol di akun lambe.”



Rayhan menungguku di lobi. “Lama bener. Kirain kamu nggak jadi datang.”


“Aku pulang dulu tadi. Nggak enak kalau masih pakai seragam. Orang yang lihat pasti langsung tahu aku sekolah dimana. Lagian masa siswi SMA berkeliaran di apartemen jam segini, kan?” Aku memberi alasan. Aku berjalan di belakangnya, tapi kali ini aku tidak menarik bagian belakang kausnya. Rayhan selalu protes kalau aku melakukan itu. Padahal maksudku supaya aku tidak tertinggal. Kaki Rayhan panjang, jadi langkahnya lebar. Sedangkan ukuran tubuhku termasuk kecil untuk ukuran anak SMA. 


“Mama cuma kasih ijin sampai jam tujuh,” kataku lagi.


Rayhan mengerang. “Ya, ampun. Cuma dua jam dari sekarang. Aku kan tadi sudah bilang pulang sekolah langsung kesini. Jadi waktu kamu nggak habis di jalan.”


“Aku juga udah bilang nggak enak kalau kemana-mana pakai seragam. Badanku juga lengket tadi habis olahraga di sekolah. Kan nggak nyaman banget.”


Rayhan berdecak. “Dasar bocah. Kemana-mana harus wangi dan bersih.”


“Kok kamu jadi ngomel-ngomel, sih?” aku protes. “Harusnya kamu yang ke rumah kalau mau ketemu, bukan aku yang nyamperin kamu. Gimana, sih?”


Rayhan menarik tanganku supaya sejajar dengannya. “Ngapain jalan di belakang gitu, sih? Kesannya kayak jalan sama baby sitter aja.”


Rayhan menekan nomor kombinasi apartemennya, lantas menyuruhku masuk. “Pasword-nya tanggal lahir kamu. Jadi kamu bisa kesini kapanpun kamu mau.” Dia menyuruhku masuk lebih dulu. 


“Apartemen kamu jauh dari rumah.” Aku mengamati setiap sudut apartemen. Kesan maskulinnya terasa mendominasi. Tidak terlalu banyak perabot sehingga kesan minimalisnya kental terasa. Tidak terlalu banyak warna, yang tampak hanya putih, coklat dan abu-abu. Cocok dengan kepribadian pemiliknya. “Nggak mungkin kalau aku sering-sering kesini. Mama nggak akan selalu kasih ijin. Belum lagi kalau ntar keciduk tangan usil. Bisa-bisa keesokan harinya jadi trending di akun lambe. Rayhan vokalis Blue memasukkan perempuan ke apartemennya. Bisa heboh, kan?"


Rayhan berdecak. “Kamu kebanyakan nonton acara gosip, sih. Jadinya parno begini.” Tangannya mampir di kepalaku. 


Aku melihat sekeliling. “Ray mana?”


Lihat selengkapnya