“Akhirnya...” Amanda merentangkan tangan dan menghirup napas dalam-dalam.
Sesil membalikkan badan. “Besok jalan, yuk? Kita bertiga hangout seharian.” Senyumnya melebar.
Mata Amanda berbinar. “Boleh juga, tuh. Hitung-hitung nge-refresh otak, kan? Bayangin sembilan hari kita belajar terus-terusan. Hari ini kan terakhir ujian, jadi saatnya kita kasih nutrisi otak. Nggak cuma badan doang yang butuh gizi. Ya, nggak?” Tawanya menghambur disusul tawa Sesil.
Sesil menjentikkan jari. “Setuju. Pokoknya seharian besok kita jalan-jalan.”
“Lo ikut kan, Ta,” tanya Amanda.
“Harus, dong,” sela Sesil sebelum aku menjawab. “Gue bakal standby di rumah Tita mulai subuh. Biar dia nggak punya alasan lagi buat kabur. Soalnya Tita suka banget kabur pas last minute. Nyebelin, kan?”
“Eh, lo nggak janjian sama Ray duluan, kan?” tanya Amanda lagi.
Aku menggeleng. “Nggak, kok.”
“Bagus, deh,” sambar Sesil. “Deal, ya? Kita pergi bertiga besok.”
Aku dan Amanda mengangguk bersamaan.
“Gue harus jadi anak manis seharian ini biar nyokap kasih ijin bawa mobil,” Sesil mengedik. “Hei, kasih gue semangat, dong!”
“Iya, semangat!” jawabku bersamaan dengan Amanda.
Sejak unggahan foto kami di akun lambe yang sempat heboh waktu itu, aku selalu menolak ajakan Rayhan untuk bertemu. Selain itu aku sibuk belajar untuk ujian semester. Dia tidak memaksa karena dia tahu kewajibanku sebagai pelajar. Dan selama aku ujian dia benar-benar tidak meneleponku. Hanya di hari pertama ujian dia mengirim pesan pendek memberi semangat.
Mama juga menyarankan supaya aku menjauhi Rayhan untuk sementara waktu, hanya sampai gosip itu menghilang dengan sendirinya. Menurut mama, gosip itu akan hilang dengan sendirinya setelah mereka bosan. Dan ucapan mama terbukti. Sampai berita itu menghilang, pihak Rayhan tidak mengklarifikasi apapun. Mungkin mereka sengaja melakukannya supaya publik tetap penasaran sehingga terus memperhatikan artisnya.
Selain itu aku masih memikirkan kata-kata Jim. Dia benar kalau berita itu akhirnya menjadi skandal, Rayhan adalah pihak yang paling dirugikan. Tidak terlalu berpengaruh padaku. Paling mereka hanya sebentar membicarakan, setelah bisa akan berhenti dengan sendirinya. Tapi media pasti akan tetap memburu Rayhan. Sampai pihaknya membuka suara mereka tidak akan berhenti. Tapi yang menjadi masalahnya, apakah nanti aku bisa meninggalkan Rayhan kalau keberadaanku di dekatnya hanya menghambat jalannya meraih impian? Bagi Rayhan musik adalah segalanya. Jadi aku harus bagaimana?
Sesuai rencana kemarin, kami bertiga berputar-putar seharian. Kami memang sengaja tidak menentukan tujuan sebelum berangkat. Jadi kami ingin kemana ditentukan dadakan waktu di jalan. Aku lebih sering mengikuti kemana saja mereka mau. Kalau tidak bersama mereka, aku jarang keluar sekedar berputar-putar seperti ini. Jadi aku tidak yakin bisa merekomendasikan tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Menjelang makan siang, Sesil membelokkan mobilnya ke pelataran sebuah kafe. Amanda mengawasi bagian kafe yang tampak dari luar. “Lo yakin kita makan disini?” Amanda terlihat ragu. Mungkin karena penampakan kafe dari luar yang terlihat sederhana. Pengunjungnya juga tidak terlalu ramai jika dilihat dari jumlah kendaraan yang diparkir.
“Jangan lihat dari penampilan luarnya,” jawab Sesil. “Makanan disini enak banget. Gue pernah kesini sekali sama Mas Genta.”
“Beneran?” Amanda masih terlihat tidak yakin.
“Masa gue bohong, sih.” Sesil melepas sabuk pengamannya. “Lo berdua boleh nggak percaya kalau gue yang kasih nilai, tapi ini Mas Genta, lho. Lidahnya kan pelit banget kalau kasih pujian.”
Seperti sudah menjadi kebiasaan, kami memilih meja di pojok dekat dengan jendela besar yang memperlihatkan taman samping kafe. Ternyata kafe ini juga mengusung tema outdoor. Ada beberapa meja disana yang biasa digunakan pengunjung menikmati menu yang disajikan.
“Seharusnya kita tadi milih meja di luar aja,” aku menunjuk ke luar jendela.
Sesil dan Amanda menoleh bersamaan ke arah yang aku tunjuk. “Gue nggak ingat sih kalau ada outdoor-nya juga,” kata Sesil. “Mas Genta bilang banyak musisi dan pengusaha rekaman datang kesini. Siapa tahu kita bisa ketemu mereka, kan?”
“Selera seniman itu memang agak lain, ya?” sahut Amanda.
Obrolan kami terhenti setelah pelayan kafe datang memberikan buku menu. Dilihat dari gambarnya sih kelihatannya lumayan. Terlihat enak seperti yang Sesil bilang. Kami menyebutkan tiga menu yang berbeda. Setelah mencatat pesanan kami, pelayan itu lantas pergi meninggalkan meja kami.
Aku pamit ke toilet sebelum pesanan datang. Beruntung panggilan alam datang saat kami berhenti untuk makan siang. Jadi aku tidak perlu menyuruh Sesil mencari SPBU terdekat untuk mengosongkan kantong kemih.
Telepon dari Rayhan masuk tepat saat aku akan keluar dari toilet. “Ya, Ray?”
“Kenapa nggak kasih tahu kalau udah kelar ujian?” tanyanya langsung tanpa repot menjawab salamku.
“Hmm, baru kelar kemarin, kok.”
“Seharusnya kelar ujian langsung kasih tahu,” suaranya terdengar kesal. “Udah dibilangin kan waktu itu?”
“Iya, tapi...”