TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #40

39

Kami saling menatap. Lama. Rayhan hanya diam, dia tidak berusaha menjelaskan ataupun terlihat ingin mengatakan sesuatu. Wajahnya biasa saja. Raut kaget tidak terlihat di wajahnya. Melihatnya seperti itu, membuatku tiba-tiba menyadari sesuatu. Oh, jadi begitu? Kami saudara tiri. Ini menggelikan. 


Aku menarik bibir. Memang perih, tapi aku tidak akan terlihat lemah di depannya. Tidak, Tita tidak seperti itu! “Kamu nggak bilang pun aku udah tahu sekarang.” Aku menunduk sebentar lantas mengangkat wajah menatapnya lagi. “Wajahmu saja kayak gitu.”


“Tita...”


Aku melihat pintu apartemennya yang tertutup. “Hmmm, jadi gitu, ya?” Aku tertawa pelan. Tapi aku seperti mendengar suara cekikan yang keluar. “Jadi gitu? Bodohnya aku nggak menyadari selama ini.”


“Tita...” Rayhan maju satu langkah lantas berhenti setelah melihatku mengangkat tangan tandanya aku tidak mau didekati.


“Sampai saat ini aku nggak menyadari kalau kamu ternyata punya maksud tersembunyi. Padahal maksud kamu sebenarnya cuma bermaksud jagain aku. Pura-pura kebetulan deketin aku, terus bilang suka.” Aku menarik napas, lantas melanjutkan. “Aku tahu sekarang kalau perasaan kamu sama aku tidak lebih dari sekedar rasa kasihan. Kasihan sama aku karena ibu kamu, aku kehilangan sosok ayah. Ya, semacam perasaan bersalah. Padahal kamu nggak perlu lakukan itu. Kamu salah orang kalau kasihan padaku!"


“Ta, dengerin dulu...”


“Nggak perlu!" sambarku cepat. “Apapun alasan kamu, nggak akan mengubah keadaan. Semuanya tetap sama, papaku nggak akan kembali. Dia milik kamu sekarang.”


“Tita...”


“Cukup, Ray! Kamu nggak perlu susah payah berusaha jagain ibu dan anak malang ini. Kamu cuma buang-buang waktu.”


“Aku nggak pernah punya maksud kayak gitu, Ta.” Rayhan sedikit berteriak.


“Nggak usah bohong!” Nada suaraku ikut meninggi. “Jangan membodohiku lagi.”


Aku segera berlari meninggalkan unit apartemen Rayhan. Aku tidak mau mendengar alasan apapun darinya. Semakin mendengar dia beralasan, hatiku semakin sakit. Selama dengannya aku tidak menaruh sedikit pun kecurigaan kalau dia memiliki garis darah dengan perempuan yang merebut papa. Rayhan memang pernah menyinggung tentang papa dulu, tapi aku anggap itu wajar karena mereka sama-sama tinggal di lingkungan yang sama. Di kota kecil seperti itu gosip mudah sekali menyebar. Tapi ternyata lebih rumit daripada itu.


Aku salut pada diriku sendiri yang tidak menangis di depan Rayhan. Aku masih tidak percaya kalau aku bisa menghadapinya tanpa ada drama air mata yang keluar. Padahal aku merasakan sesak, mau bernapas saja sulit. Mungkin karena aku kaget luar biasa, atau bisa jadi karena sakit yang aku rasakan sudah bertumpuk-tumpuk sehingga hatiku jadi kebas, tidak bisa merasakan apapun lagi. Seringnya aku merasakan sakit karena papa dan perempuan itu sehingga perasaanku menjadi tumpul.


Tentang perempuan itu, aku yakin dia masih mengenaliku dengan baik. Aku sempat menangkap raut terkejutnya yang segera dia sembunyikan dengan senyuman canggung. Kami pernah bertemu meskipun cuma sekali. Tapi dia pasti sudah mengenalku lewat cerita-cerita papa. Ya, kalau papa masih ingat padaku. Aku jadi penasaran bagaimana tanggapannya setelah dia tahu anak laki-laki kesayangannya berpacaran dengan anak dari perempuan yang dia rebut suaminya.  


“Cepat banget, Ta. Nggak ketemu sama Ray? Dia nggak ada di apartemen?” tanya mama setelah membuka pintu untukku.


Aku menatap mama sebentar tanpa menjawab. Lantas segera berlari menuju kamar dan menguncinya.


“Tita... Ta!” Mama mengetuk kamarku. “Ada apa sih, Ta?”


Aku masih enggan menjawab.


“Ta, buka dong!” Mama mengetuk lagi. “Ada apa, sih?”


Aku tetap diam sampai mama berhenti mengetuk pintu kamarku dan mendengar langkahnya menjauh.


Air mata yang aku kira tidak akan keluar lagi sekarang tumpah lebih deras dari biasanya. Rasanya dadaku berdenyut sakit. Aku terlambat mengetahuinya. Seharusnya aku menjauhinya sejak awal. Kalau aku konsisten menjaga jarak, hal ini tidak akan terjadi. Aku tidak akan merasakan kekecewaan yang melebihi rasa kecewaku setelah papa pergi. Itu memang sakit, tapi ini jauh lebih sakit.

Lihat selengkapnya