“Ada titipan buat kamu,” mama menyesap kopinya. Di meja sudah tersaji dua piring nasi goreng dan segelas susu untukku. “Mama taruh disitu.” Mama menunjuk meja kecil di sudut dengan gerakan kepalanya.
“Dari siapa, Ma?”
“Ray,” jawab mama tanpa melihatku. “Pagi-pagi tadi dia kesini. Cuma nitip itu lalu pamitan.”
“Ray nggak nanyain aku?” Aku berharap dia masih peduli padaku meskipun hubungan kami sedang bermasalah. Aku mendesah kecewa melihat mama menggeleng.
“Dia langsung pergi. Kayaknya buru-buru banget.”
Aku menatap sarapanku dengan tidak berselera. Perutku tiba-tiba kenyang meskipun belum ada satu pun makanan yang masuk, hanya segelas air putih hangat setelah bangun tidur tadi. Ternyata mendengar berita yang tidak sesuai harapan membuat selera makanku langsung melorot ke dasar. Padahal aku sudah membayangkan betapa nikmatnya nasi goreng hangat dengan asap yang masih mengepul masuk ke lambungku. Bau yang tercium dari dalam kamarku sempat membuat perutku melakukan protes. Tapi keadaannya menjadi berbeda setelah tiba di meja makan dan mendengar kabar yang mengecewakan.
“Cepat sarapan, gih. Ntar kamu telat, lho.” Mama menunjuk piringku yang masih belum aku sentuh. “Mama berangkat dulu, ya? Jangan lupa kunci pintu.”
Aku mengangguk.
“Habisin,” mama menunjuk piringku lagi sebelum pergi. “Ntar ayam tetangga banyak yang mati gara-gara kamu suka nyisain makanan. Kasihan.”
“Tetangga kita mana ada yang piara ayam,” aku memasang wajah cemberut. Mama tertawa lantas mengusap kepalaku.
Ajak teman teman-teman kamu. Cuma itu yang tertulis di selembar kertas yang dia sertakan di amplop bersama lima lembar tiket. Tidak ada kalimat lain yang dia tulis sebagai pemanis. Mengingat apa yang terjadi diantara kami akhir-akhir ini, apa masih boleh kalau aku merasa kecewa?
“Nah, selamat liburan.” Pak Mus menutup buku absensi. “Tetap jaga kesehatan kalian. Tetap semangat. Kita jumpa lagi semester depan dengan semangat baru.”
Ya, mulai besok libur semester dimulai. Mungkin aku akan melewati liburan semester ini dengan mengurung diri di rumah. Dan baru keluar kalau Sesil atau Amanda bermurah hati mengajakku jalan-jalan. Sama seperti liburan sebelumnya, tidak banyak yang aku kerjakan selain marathon drama korea sampai mengantuk.
Kami sempat merencanakan liburan setelah konsernya selesai. Rayhan ada waktu lowong beberapa hari, dan kami berencana menghabiskan waktu bersama. Sesuatu yang jarang kami lakukan. Bahkan hampir tidak pernah. Tapi ternyata ceritanya menjadi lain setelah liburan semester tiba. Liburan dengan Rayhan hanya tinggal wacana.
“Oh ya, Bapak lupa. Bagi kalian yang di raport kepribadian ada pelanggaran, jangan lupa untuk minta tanda tangan orang tua. Bapak tidak menerima alasan apapun. Oke!” Sambung Pak Mus yang segera mendapat sorakan dari anak-anak. “Tetap jaga kesehatan. Sampai jumpa di semester depan.”
“Gimana, nih? Kita beneran nggak datang ke konser perdana Blue, ya?” Sesil mendesah sebal setelah Pak Mus meninggalkan kelas. “Kita nggak kebagian tiketnya.”
Aku menyodorkan amplop ke depan Sesil.
“Ini apa?” dia melongo.
“Tiket konser Blue. Buat kalian,” aku menjawab.
Sesil spontan membelalak. “Beneran?”
Aku mengangguk yang lantas disambut teriakan gembira mereka berempat.
“Gue bilang juga apa?” Yoshua menyambar amplop yang kutaruh di bangku Sesil. “Lo nggak percaya Tita, sih.”
“Habisnya Tita bilang lupa nggak ngomong ke Rayhan waktu itu.” Senyum Sesil melebar.
“Nggak mungkin Ray nggak kasih Tita tiket,” Amanda merangkul lenganku. “Ya kan, Ta?”
Aku hanya mengangguk saja.
“Cuma empat?” seru Yoshua setelah mengeluarkan isi dalam amplop.
“Gue udah ambil satu, kok,” aku memberi tahu mereka.