TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #43

42

“Ngapain kita kesini?” Aku memukul punggungnya saat motor Yoshua berhenti di depan gedung apartemen Rayhan. 


“Gue ada sedikit urusan disini,” jawabnya tanpa menoleh. 


“Urusan apa?” Tanyaku curiga. 


“Anu, itu...” Dia sedikit menoleh lantas mengawasi jalan kembali. 


“Teman lo ada yang tinggal disini?” 


“Eh, iya.”


Aku jadi curiga dia tengah merencanakan sesuatu. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba Yoshua dan datang dan mengajakku keluar. Ajakannya keluar itu tidak aneh, sih. Kami sering pergi bersama waktu kami masih SMP dan masih tinggal di kompleks rumah yang sama. Karena kami sekelas dan rumah kami berdekatan. Tapi ceritanya lain sekarang. Kami memang masih berteman akrab, tapi kami hampir tidak pernah pergi berdua kalau tidak ada kepentingan tugas kelompok dari sekolah. Kami lebih sering pergi beramai-ramai dengan Sesil dan yang lainnya. 


“Teman lo masih lama?” tanyaku lagi. Aku tidak mau berlama-lama disini. Rayhan juga tinggal di gedung ini. Jadi ada kemungkinan kami bisa bertemu. Bukan aku tidak ingin. Aku belum siap, itu masalahnya. 


“Sebentar lagi.”


“Gue jadi curiga. Jangan-jangan lo punya rencana...” Kata-kataku terpotong setelah sebuah mobil hitam mengkilap berhenti di dekat motor Yoshua.


“Itu, dia datang.” Tunjuknya.


Mobil itu terlihat tidak asing. Sepertinya aku kenal dengan pemiliknya. Jangan-jangan...


Yup, anda benar! Andai saja aku mengikuti sebuah kuis, aku pasti mendapatkan hadiah utama. Tebakanku tidak meleset satu mili pun. Sialan, Yoshua berhasil mengerjaiku. Seharusnya aku curiga waktu dia ngotot ingin mengajakku pergi. Sikapnya yang sedikit memaksa saja sudah terasa aneh. Bodohnya aku mau-mau saja menurutinya.


Rayhan segera menghampiri kami setelah mobilnya terparkir dengan benar. “Tita?”


“Mas Ray, punya waktu sebentar nggak? Aku mau bicara.” Tanya Yoshua setelah melepas helmnya.


Rayhan mengangguk. Lho... lho! Apa-apaan ini? Bukannya tadi dia bilang sudah janjian? Sialan, aku tertipu lagi. 


“Aku nggak akan basa-basi. Langsung ke intinya saja. Kami udah berteman sejak SMP. Aku tahu banget Tita gimana. Tapi sekarang dia sering nangis. Itu gara-gara Mas Ray.”


“Yosh, apa...” Aku memegang lengannya.


Yoshua mengangkat sebelah tangannya, tanda supaya aku tidak mengganggunya. Apa-apaan sih dia? Aku akan memukul kepalanya supaya otaknya bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Dasar, menyebalkan. Apa maksudnya coba, tiba-tiba berbuat begini tanpa minta persetujuanku. 


“Dia dulu nggak kayak gitu,” lanjutnya. “Setelah ketemu kamu dia jadi rapuh. Mas Ray bawa pengaruh buruk buat Tita.”


“Yosh, udah!” Aku menarik jaketnya. “Kamu apa-apaan, sih?”


“Kalau kamu bisanya cuma bikin dia nangis, aku akan ambil Tita dari Mas Ray.” Yoshua berkata lancar seperti jalan tol tanpa menghiraukanku. 


Rayhan sedikit kaget. Dia menatap Yoshua dengan raut yang entah, aku sendiri tidak bisa menggambarkannya. Mereka saling menatap lama, hingga akhirnya Rayhan menarik bibirnya dan menatapku. “Sori, tapi aku nggak akan menyerahkan Tita sama siapapun.”


Aku melongo menatap mereka bergantian. Kemudian tatapanku berhenti pada Rayhan. Ya Tuhan, aku merasakan debaran ini lagi. Rasa yang sama seperti dulu setiap bertemu Rayhan. 


“Udah, ya. Gue pulang.” Yoshua memakai helmnya kembali. 


“Hei...” Aku spontan menarik jaketnya. “Gue gimana?”


“Ya, nggak gimana-gimana,” Yoshua mengedik. “Kan udah ada Mas Ray? Masa gue disuruh nungguin orang pacaran? Ogah!” Yoshua menstater motornya, lantas menghilang di jalan raya.


“Teman-teman kamu baik, ya?” Rayhan mendekat lantas meraihku dalam pelukannya. “Aku kangen, Ta. Kangen banget.”


“Eh, apa- apa...” Aku berusaha mendorongnya. Tapi Rayhan malah mengeratkan pelukannya.


Lihat selengkapnya