Setelah masuk ke ruangan kepala sekolah, aku merasakan telapak tanganku berkeringat. Padahal AC ruangan cukup dingin. Beberapa pasang mata langsung terarah padaku setelah aku dibawa masuk. Pak Mus selaku wali kelasku mendekat, mengusap punggungku sebentar lantas membawaku ke depan meja di mana kepala sekolah sudah menungguku. Bu Intan, guru BK melambaikan tangannya menyuruhku duduk di sampingnya.
“Prastita Maharani Hermawan, kelas XI IPA I?” Kepala sekolah menatapku dari balik kacamatanya yang melorot sampai hidung. “Benar kamu punya hubungan dengan artis bernama Rayhan?”
“Saya mengenalnya, Pak,” jawabku pelan sambil menunduk.
“Jadi kabar yang beredar itu benar?”
Perlahan aku mengangguk.
Bapak kepala sekolah menarik napas. “Saya sangat menyayangkan kejadian seperti ini. Wartawan sampai bergerombol di depan gerbang masuk. Ini bisa mengganggu kenyamanan siswa lain.”
“Pihak sekolah tidak mau kejadian ini sampai mengganggu kenyamanan belajar para siswa.” Bapak Kepala Sekolah melanjutkan. “Sekolah ini dikenal dengan prestasinya, bukan karena sensasi yang dibuat siswanya. Kalau sampai media massa masuk ke lingkungan sekolah, ini sangat mengganggu. Bisa bersekolah di sini itu tidak mudah. Harus melalui serangkaian tes dan seleksi yang ketat. Kamu sendiri pernah merasakannya bukan? Bersaing dengan ribuan siswa waktu mengikuti tes masuk?”
Aku mengangguk lagi.
“Siswa yang diterima di sekolah ini tidak sembarangan. Kalau bukan karena dia berprestasi di bidang akademik, pasti punya kelebihan di bidang lain, olahraga dan seni. Jangan sampai kredibilitas sekolah ini turun hanya karena gosip murahan seperti itu. Kamu sebagai siswa sekolah ini sudah seharusnya menjaga nama baik sekolah. Dan kejadian seperti ini tidak seharusnya terjadi. Kamu mengerti, kan?”
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain mengangguk.
“Sebagai siswa tugas kamu hanya belajar. Menjaga nama baik sekolah, di mana pun dan kapan pun. Jangan sampai sekolah kita menjadi sorotan hanya karena salah satu siswinya tertangkap basah masuk ke apartemen bersama laki-laki dan fotonya diunggah di akun gosip yang disaksikan ribuan bahkan puluhan ribu pasang mata. Ini bukan sebuah prestasi, tapi ini memalukan. Kamu paham?”
Aku mengangguk. Ya Tuhan, aku pasrah dengan hukuman yang diberikan pihak sekolah.
“Biaya sekolah disini tidak murah,” lanjutnya lagi. “Kasihanilah orang tua kamu yang banting tulang mencari uang untuk biaya sekolah kamu disini.”
“Saya minta maaf, Pak,” aku berkata pelan. “Kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi.”
Kepala sekolah mengangguk-angguk. “Saya akan memanggil orang tua kamu kalau hal seperti ini terjadi lagi. Ini peringatan pertama dan terakhir. Kamu mengerti, kan?”
Aku mengangguk. “Saya janji, Pak.”
“Bagus.” Kepala sekolah lantas bangkit. “Bu Intan sebagai guru BK, tolong beri dia pengarahan.” Kemudian tatapannya beralih pada Pak Mus yang berdiri di belakangku. “Dampingi siswi Bapak. Saya serahkan semuanya pada kalian. Saya ada rapat komite lima belas menit lagi. Semoga mereka tidak menyinggung kejadian hari ini. Benar-benar memalukan!"
Setelah mendapatkan pengarahan dan nasihat dari guru BK, aku diijinkan kembali ke kelas. Aku beruntung tidak di skors atau di beri hukuman yang lain. Kalimat-kalimat yang mereka jejalkan terasa memenuhi otakku. Rasanya aku tidak sanggup berpikir lagi. Ya, ampun ini berat.
Koridor menuju kelas rasanya lebih panjang dari biasanya. Aku tidak mampu menggerakkan kakiku lebih cepat. Langkahku berat seperti ada beban ribuan kilo diikatkan pada kedua kakiku. Aku memang tidak mendapat hukuman dari sekolah, mereka hanya memberi peringatan. Mama juga tidak dilibatkan dalam masalah ini. Bukan tidak, tapi belum. Aku diberi peringatan kalau kejadian ini terulang, pihak sekolah akan memanggil mama ke sekolah. Belum lagi tatapan tajam dan bisik-bisik para siswa yang bergerombol seperti dengungan lebah yang membuat hati berdesir khawatir. Seisi sekolah pasti sedang membicarakanku sekarang.
“Tita!” seru Sesil dan Amanda bersamaan setelah melihatku. Mereka berempat bergerombol menungguku di pintu kelas. “Kepala sekolah bilang apa?”
Aku mendesah lantas menggeleng. Mereka pasti tahu dari raut wajahku yang tidak bersemangat.
“Ke kelas, yuk!” Ale berjalan mendahului. “Nggak enak ngobrol di lorong gini. Anak-anak pada kepo tuh lihatin kita.”
Tanpa bicara lagi kami mengikuti Ale yang berjalan lebih dulu ke bangkuku. Mereka mengerubungiku setelah aku duduk. Mereka diam menungguku bercerita.
Aku menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya pelan-pelan. “Peringatan aja, sih,” aku mengedik setelah menyelesaikan cerita. Aku berusaha menampilkan raut yang biasa saja seolah aku sendiri tidak merasa tidak terbebani. Karena aku tahu mereka khawatir. “Kalau ada kejadian kayak gini lagi, sekolah bakalan manggil nyokap.”