TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #45

44

Makan malam kami berjalan lancar. Om Soni orang yang baik. Itu kesan pertama yang aku dapat setelah berbincang sebentar dengannya. Dia selalu tersenyum dan berusaha mengakrabkan diri denganku. Dia berusaha melibatkanku disetiap obrolannya dengan mama.


Awalnya aku tahu dia sedikit kaget setelah melihatku. Aku yakin dia sudah mendengar berita tentangku dari media online atau berita infotainment. Meskipun aku yakin dia orang yang tidak punya waktu untuk mendengarkan berita gosip receh seperti itu, tapi karena gencarnya berita tentang skandal musisi yang sedang naik daun dengan gadis SMA, aku yakin dia pasti penasaran juga. Aku harap ini tidak mempengaruhi keputusannya menikahi mama.


“Jadi acara pernikahannya kapan?” tanyaku membuat mama mendelik menatapku. 


Om Soni tertawa. “Bantuin Om bujuk Mama, ya?”


“Nggak usah buru-buru,” mama menyesap kopinya. “Semua yang serba buru-buru itu nggak bagus.”


“Buru-buru gimana?” Om Soni mengalihkan perhatian pada mama. “Kita udah lama ngomongin ini. Kamu bilang nunggu Tita kasih ijin. Nah, sekarang kan dia udah kasih ijin. Jadi mau nunggu apa lagi, sih?”


Aku tersenyum melihat mama yang tersipu. Yang aku tangkap dari obrolan mereka, ternyata mereka sudah lama menjalin hubungan. Aku tidak bertanya kenapa mama menyembunyikannya dariku. Dia hanya perlu waktu memberitahuku. Mungkin mama takut aku tidak setuju dia mau menikah lagi.


“Bagaimana kalau bulan depan?” kata-kata Om Soni membuat aku dan mama membelalak.


“Jangan bercanda,” mama tertawa dan mengibaskan tangan. “Bulan depan itu tinggal sebelas hari lagi. Mana cukup waktunya untuk persiapan.”


“Kenapa nggak?” sahut Om Soni cepat. “Kamu bilang nggak perlu ada pesta, kan? Tinggal cari surat-suratnya, daftar ke KUA, beres.” Dia mengedik.


Ya ampun, tawaku hampir meledak melihat gaya bicara Om Soni yang kelewat santai. Apa dia pikir persiapan pernikahan itu segampang membeli kue di supermarket? Tinggal pilih sesukanya, bayar, beres. Aku mengatakan ini berdasarkan pengalaman melihat saudara atau tetangga yang sedang mempersiapkan pernikahannya. Meskipun hanya ijab kabul tanpa resepsi setelahnya, tetap saja membutuhkan persiapan yang tidak sebentar.


Mama mengarahkan bola matanya ke atas. “Kita ini mau nikah. Bukan mau beli sepatu di mall.”


“Udah, biar semua aku yang urus. Kamu tinggal siapkan saja berkasnya.” Om Soni menoleh padaku. “Kamu beneran nggak keberatan, kan?”


Aku menggeleng. “Buat saya yang penting Mama bahagia. Itu aja udah.”


Om Soni tersenyum padaku. “Kamu memang baik.”


“Jangan bercanda, ini beneran nggak lucu,” sambar mama cepat yang disambut tawa ceria Om Soni.

*** 



Empat bulan berlalu setelah berita skandal yang melibatkanku menghebohkan tanah air. Sampai sekarang pun aku masih tidak berani terlihat berdua dengan Rayhan di tempat umum. Ya, aku seperti trauma. Tatapan tajam penuh penilaian dari mereka membuatku sangat tidak nyaman. Aku sudah melewati fase terburuk, dan aku tidak ingin berada di posisi itu lagi.


“Om Soni baik ya, Ma?” Pujian langsung terlontar setalah mobil Om Soni meninggalkan halaman. Aku bahkan langsung memujinya setelah pertemuan pertama kali.


“Beneran?” Mama menaikkan alis. 


“Iya.” Aku memeluk lengannya. Kami lantas berjalan beriringan masuk ke dalam. “Aku yakin dia bisa membahagiakan mama.”


“Makasih ya, Ta.” Mama menepuk tanganku yang masih memeluk lengannya erat. 


“Apapun akan aku lakukan demi mama.” Aku tersenyum lebar. 


Mama membawaku ke sofa ruang tengah. Tempat favorit kami saat menghabiskan waktu berdua. Mama masih belum melepaskan genggaman tangannya. Rautnya berubah lebih serius. Sesekali menarik napas, seperti hendak mengatakan sesuatu yang berat.


“Mama kenapa?” tanyaku lebih dulu.


“Mama...”


“Ada yang mama pikirin?” aku menebak.


Mama mengangguk. “Sebelumnya mama minta maaf. Mama tahu kamu pasti kaget setelah mendengarnya. Tapi...”


“Apa, Ma?” Perasaanku tiba-tiba tidak enak melihat mama yang masih enggan bicara. Pasti ada sesuatu yang terjadi.


“Maafin mama kalau mama nggak kasih tahu kamu sejak awal. Tapi...” Mama berhenti untuk menarik napas. “Bulan depan setelah menikah nanti Om Soni akan di mutasi ke Surabaya. Jadi...”


“Kita ikut pindah kesana, kan?” Aku memotong kata-kata mama.


Mama mengangguk. “Iya, setelah kamu ujian kenaikan kelas. Maafin mama, kalau mama nggak cerita dari awal. Mama tahu ini berat buat kamu. Jauh dari Manda, Sesil dan teman kamu lainnya. Juga dari Ray. Tapi kamu jangan khawatir, kalau kamu nggak setuju, mama bisa batalin pernikahan ini. Belum terlambat kok, Ta.”


Perlahan aku mengangkat kepala menatap mama. Tersirat raut sedih di wajahnya. Binar matanya yang tadinya berseri-seri penuh kebahagiaan, meredup sekarang. Aku tahu meskipun dia bilang akan membatalkan kalau aku tidak setuju pindah ke Surabaya, tapi tetap saja mama menyimpan kesedihan di matanya. 


Saat seperti inilah tekadku membahagiakan mama diuji. Aku tahu keputusan mama ada di tanganku. Satu kata saja dariku bisa mengubah hidup kami ke depannya. Pilihan sulit, tapi aku harus tetap memilih.


Lihat selengkapnya