TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #46

45

Aku kembali melihat pintu masuk kafe. Mereka belum datang juga. Sudah setengah jam aku menunggu. Apa mereka tidak tahu kalau menunggu itu pekerjaan paling menyebalkan? Iya sih, aku tahu mereka orang sibuk, tapi bisa dong sedikit on time. Ini sih namanya kebangetan. Aku sudah memesan gelas yang kedua, tapi jangankan batang hidungnya, baunya saja belum tercium sama sekali.


Mungkin juga ada baiknya mereka terlambat dari jam yang sudah kami sepakati. Aku butuh sedikit waktu lagi untuk memantapkan hati dengan keputusan yang aku ambil. Tidak ada pilihan sebenarnya. Apapun pilihanku rasanya seperti makan buah simalakama. Maju kena mundur kena. Ya, kurang lebih seperti itu. Mengambil keputusan ini bukan aku ambil dalam waktu singkat. 


“Hai, Ta. Sori ya gue telat,” Darryl langsung menempati kursi di depanku.


“Berdua aja?” tunjukku pada Darryl dan Mike. “Marcell dan Vano?”


Mike mengangguk. “Yang lain ada keperluan. Nggak apa-apa, kan?”


Aku menggeleng. “Aku tahu kok kalian orang sibuk. Sori kalau aku ngrepotin.”


Darryl menyipit. “Mau ngomong apa, sih? Kenapa Ray nggak diajak?”


Aku tertawa pelan. “Aku mau ngomong sesuatu tentang Ray. Masa Ray-nya juga diajak, sih? Nggak sopan banget ngomongin orang langsung di depannya.”


Mike dan Darryl ikut tertawa. “Ada apa?”


Aku menarik napas panjang sebelum mulai menyampaikan tujuanku menemui mereka. Rasanya berat, tapi mau tidak mau aku harus mengatakannya. “Aku mau minta tolong.” Aku menunduk mengamati piring keik yang isinya tinggal separo.


“Kok perasaan gue nggak enak, ya?” Darryl tertawa pelan. 


Aku mengangkat kepala menatap mereka bergantian. “Ray ngajakin liburan besok. Ja...”


“Apa?” Mike membelalak langsung memotong kata-kataku tanpa sopan. “Apa dia gila? Besok pagi kita berangkat ke Medan. Dasar sinting. Fix, dia memang sinting.”


“Makanya, jemput Ray ke apartemen sebelum jam delapan. Jam delapan dia jemput aku di rumah.” Aku berhenti sebentar lantas melanjutkan, “Kalau sebelum pergi Ray lihat kalian, diingatkan soal musik dan impiannya, dia pasti nggak akan pergi. Nggak ada yang mencintai musik seperti dia.”


“Hei, tunggu...!” Mike menyela. “Ini apa-apaan sih kalian berdua?”


“Dia sengaja melakukan itu.” Aku memilin jari. “Aku nggak mau Ray ninggalin dunia yang sudah membesarkan namanya. Musik adalah dunianya.”


“Tapi kalau Ray udah mutusin...”


“Mike!” seru Darryl memotong kata-kata Mike. “Dengerin Tita dulu. Pasti dia punya alasan kenapa melakukan ini.”


“Tapi Ray emang sayang banget sama Tita,” sambar Mike. “Kita semua tahu itu. Lo ingat kan, gimana khawatirnya dia pas gosip tentang mereka itu lagi ramai-ramainya? Dia kayak orang gila mikirin keadaan Tita.”


“Aku nggak raguin itu, kok,” aku menyahut.


“Jadi, apa alasan lo lakukan ini?” Darryl menyipit.


“Ray waktu itu spontan aja ngambil keputusan. Dia nggak mikir panjang waktu bilang mau ninggalin Blue.” Aku mengedik. “Apapun yang diputusin dengan buru-buru hasilnya nggak baik, kan?” Aku membalas tatapan mereka yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan dariku. 


“Meskipun sekarang dia ingin berhenti, tapi aku yakin itu cuma keinginan sesaat saja. Dia bisa saja menyesalinya di kemudian hari,” aku melanjutkan. “Saat menyesalinya dia sudah nggak bisa kembali lagi. Aku nggak mau itu sampai terjadi. Makanya aku minta tolong sama kalian. Bujuk Ray. Dia nggak akan pergi kemana-mana kalau lihat kalian besok pagi.”


Darryl dan Mike terdiam cukup lama. Berulang kali Darryl menarik napas. “Terus, gimana sama kamu?”


“Mama akan nikah sebentar lagi,” aku menghela napas. “Suami barunya akan pindah tugas ke Surabaya.”


“Jadi, kamu bakalan ikut pindah ke sana?” tanya Mike.


Aku mengangguk. “Tolong jangan kasih tahu Ray.”


“Tapi, Ta...” 

Lihat selengkapnya