Aku menarik napas panjang setelah menonaktifkan ponsel itu dan mengembalikan ke tempatnya semula berada. Ponsel itu dan rekaman lagu Rayhan di dalamnya seperti harta pusaka yang memberiku kekuatan hingga saat ini. Karena lagu ini hanya kami berdua yang tahu. Dan kenangan selama bersamanya tetap terpatri diingatan. Aku akan mengenangnya kapan pun aku merindukannya.
Setelah itu aku tidak mendengar kabar Rayhan lagi. Sesekali aku melihatnya waktu dia tampil di acara televisi. Aku juga berusaha menghindari berita apapun yang berkaitan dengan Blue, terutama Rayhan. Aku segera mengganti nomor ponselku setelah pindah, jadi Rayhan tidak bisa menghubungiku lagi. Aku juga sudah mewanti-wanti Amanda dan yang lainnya supaya tidak memberikan nomor ponselku yang baru ataupun alamatku di Surabaya pada Rayhan. Awalnya mereka keberatan karena Rayhan terus menemui mereka, mendesak untuk memberikan nomor ponselku yang baru. Tapi mereka akhirnya menyerah dan mengikuti kemauanku. Aku melakukan semua itu bukan tanpa alasan. Kalau boleh memilih, aku akan tetap memilih bersama Rayhan. Tapi semakin lama aku sadar, keberadaanku di sampingnya bisa menghambat karir musiknya. Buktinya setelah kami berpisah karir musik Rayhan semakin cemerlang dan tidak butuh waktu lama dia bisa mengukuhkan dirinya menjadi musisi yang cukup diperhitungkan di dunia musik tanah air.
“Ta...” Mama mengetuk pintu kamarku. “Ada paket dari Jakarta.”
Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Selintas aku melihat cermin, tersenyum sebentar, melatih rautku supaya bekas kesedihan akibat mengenang masa lalu tidak terbaca oleh mama. Aku tidak mau membuatnya sedih dan merasa bersalah karena membuatku jauh dari mereka. “Dari Amanda, ya?” tebakku.
Mama mengangguk. “Yang ini dari Yoshua.” Mama menyerahkan sebuah kotak coklat bersama amplop coklat yang katanya dari Yoshua. Sedikit kaget juga sih, angin apa yang membuat anak itu tiba-tiba mengirimiku paket. Biasanya kalau dia memberi sesuatu, pasti digabung dengan yang lainnya. Biar hemat ongkos kirim katanya. Ada-ada saja. Padahal berat paket dihitung per kilo gram. Kalau titipannya lebih dari satu kilo kan sama saja jatuhnya. Yoshua memang tidak berubah. Aku jadi merindukan mereka.
“Oh, iya,” mama berbalik. “Om Soni ngajakin kita makan malam di luar buat ngerayain ulang tahun kamu.”
Astaga, bahkan aku sendiri lupa kalau aku ulang tahun hari ini. Malah Om Soni yang mengingatkan. Aku tidak salah dengan penilaianku diawal pertemuan kami. Dia laki-laki baik yang tepat untuk mama.
“Dia juga bilang bakalan pulang cepat hari ini,” kata mama lagi.
Aku mengangguk. Lantas kembali masuk kamar setelah mama pergi. Lebih dulu aku membuka paket dari Amanda. Di dalamnya terdapat sebuah kotak yang lebih kecil dibungkus dengan pembungkus kado berwarna pink dengan pita warna ungu cerah di atasnya. Secarik kertas kecil yang di sertakan dalam kotak menarik perhatianku. Tulisan tangan Amanda masih tetap rapi dan cantik.
Happy birthday, Ta. Gue kangen banget sama lo. Ini hadiah ulang tahun lo dari 'dia' yang dititipin ke gue. Kalau udah sampai langsung kabari gue, ya. Sesil dan lainnya juga titip salam. Liburan nanti kami punya rencana liburan ke Surabaya. Tungguin, ya?
Aku membuka pembungkus kado warna pink kesukaanku. Isinya membuatku membelalak. Sebuah kotak musik yang ukurannya sama dengan Rayhan belikan waktu itu. Irama musik klasik mengalun pelan setelah aku memutar tuasnya. Meskipun Amanda tidak menyebutkan namanya, tapi aku tahu ini dari siapa.
Panggilan video dari Amanda masuk sebelum aku membuka paket dari Yoshua.
“Titaaa,” Amanda dan Sesil spontan berteriak. “Happy birthday.”
Aku tertawa. “Makasih. Paketnya udah sampai.”
Amanda menarik napas. “Sebenarnya gue nggak mau dititipin sih, cuma dia terus mohon-mohon. Gue orangnya kan nggak enakan, gampang kasihan. Jadi ya, gue terima aja.” Dia mengedik. “Tapi semua tentang lo tetap jadi rahasia. Nggak bocor kemanapun, kok.”
“Nggak apa-apa, sih.” Aku mengedik. “Gue emang sempat bilang sama dia kapan-kapan pengen beli lagi. Nggak tahunya dia masih ingat. Padahal udah lama banget.” Aku tertawa.
Kami tidak pernah membahas Rayhan setelah aku memutuskan mengakhiri hubungan dengannya. Baru kali ini mereka membahasnya meskipun tidak menyebutkan nama.
“Yoshua kasih apaan, sih?” aku memperlihatkan amplop coklat yang belum aku buka.
Sesil dan Amanda berpandangan sebentar. Lantas Sesil menyahut. “Lo jangan marah, ya. Kami nggak punya maksud apa-apa, kok.”
Aku mengernyit. “Memang apa isinya?”
“Tiket konser Rayhan,” Sesil menjawab pelan.
“Dapat darimana?” tanyaku heran.
“Jim yang kasih ke kita,” sahut Amanda. “Dia tahu kalau lo pindah ke Surabaya. Tapi bukan kita yang kasih tahu. Beneran. Kali aja lo sama teman-teman lo disana pengen lihat tapi kehabisan tiket, gitu dia bilang.”
“Yoshua udah nolak, sih,” Sesil menimpali. “Tapi Jim maksa. Lo jangan marah sama Yoshua.”
Aku menggeleng. Aku sedang tidak ingin membahas itu sekarang. “Berapa tiket?” aku mengangkat amplop itu sehingga mereka berdua dapat melihatnya.