TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #48

47

Seperti yang dia bilang, terlalu sering terjadi kebetulan di dunia ini. Ya, seperti hari ini. Biasanya seseorang memiliki firasat jika akan mengalami kejadian tidak terduga atau bertemu dengan kenalan lama yang sudah lama tidak dilihatnya. Entah itu lewat mimpi, atau kejadian-kejadian lain yang bisa dijadikan pertanda. 


Tapi tidak denganku. Aku tidak bermimpi apapun semalam, malah tidurku nyenyak-nyenyak saja. Ya, meskipun tidak senyenyak biasanya, sih. Selama enam bulan ini, semalam aku merasakan lagi seperti yang aku rasakan waktu pertama kali pindah ke Surabaya. Aku anggap itu wajar karena aku baru saja membuka kenangan yang selama ini aku bungkus rapi. Terlebih lagi kado ulang tahun yang aku dapat darinya membuatku mau tidak mau mengingatnya lagi. 


Dan sekarang kami berdiri berhadapan. Tatapan saling bertaut namun tidak ada diantara kami yang memulai obrolan dengan kalimat pembuka. Aku sendiri belum pulih dari rasa kaget. Kalau dia, aku tidak tahu apa yang membuatnya terus diam sambil menatapku. 


Lama tidak bertemu ternyata tidak banyak yang berubah darinya. Dia memang terlihat lebih matang dari pada enam bulan yang lalu, tapi tatapan mata itu masih tetap sama. Masih tajam namun tersimpan kelembutan disana. 


Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya memecah keheningan lebih dulu. “Lama nggak ketemu, ya? Apa kabar?”


Kalimat wajar yang akan diucapkan pada kenalan lama yang tidak dijumpainya dalam kurun waktu yang lama. Ya, bukan hanya dia, aku rasa siapa pun pasti kata-kata itu yang terlontar pertama kali kalau bertemu dengan teman lama. Anehnya, aku merasa sedikit kecewa. Ya ampun, aku ini. Bagaimana aku bisa menaruh harapan pada orang yang bukan siapa-siapa? Ya, sekarang kami bukan siapa-siapa. Hanya kenalan yang lama tidak bertemu dan kebetulan waktu kembali mempertemukan kami. Kecewa atau apa pun itu tidak boleh hadir dan mengganjal perasaan. “Baik.”


“Syukurlah.” Dia tersenyum. “Nggak nyangka banget bisa ketemu kamu disini. Sudah enam bulan ya kita nggak ketemu? Kamu kelihatan jauh lebih dewasa sekarang.”


“Ah...” Aku bingung bagaimana harus menjawab. Apa aku juga harus memujinya kalau dia kelihatan lebih ganteng sekarang? Tidak, tidak. Bisa-bisa dia mengira aku belum move on lagi. Menyedihkan, bukan? “Terima kasih.” Untuk sekarang kelihatannya kata-kata itu yang paling aman.


“Besok aku ada konser di sini.” Tanpa dia memberitahu pun aku sudah tahu apa yang membawanya terbang dari Jakarta ke Surabaya. Mulai beberapa bulan lalu sejak berita tour Blue dirilis, penggemarnya se-Surabaya sudah heboh. Tidak terkecuali teman-teman sekolahku. 


Aku memberikan senyuman lebar. Semoga saja tidak kelihatan aneh. “Oh, iya. Teman-teman sekolahku sudah heboh sejak bulan lalu.”


“Sayangnya aku nggak pegang tiketnya. Aku nggak tahu masih ada atau nggak. Mungkin Jim...”


Aku menggerakkan tangan. “Eh, nggak apa-apa. Teman-temanku bilang sudah dapat tiketnya, kok.” Iya, mereka sudah dapat tiketnya. Aku yang kasih ke mereka, dari paket yang dikirim Yoshua yang dia dapat dari Jim. Ribet, kan?


“Oh.” 


“Iya,” aku mengangguk. 


Rayhan mengalihkan pandangan sebentar, lantas kembali menatapku. “Eh, yang itu tadi pacar kamu, ya?”


Aku melongo, lantas buru-buru mengangguk. “I... iya.”


“Oh, gitu ya?”


“Iya.”


Kami kembali saling diam beberapa saat. Beruntung aku melihat Petra berjalan menuju ke arah kami berdiri. Jadi aku bisa melepaskan diri dari suasana canggung ini.


“Eh, maaf, ya. Kami mau pulang.” Aku menunjuk Petra yang berjalan semakin mendekat. Aku harus membuat Rayhan pergi sebelum Petra sampai diantara kami. Kalau tidak, dia pasti akan meminta penjelasan yang sama sekali tidak ingin aku jelaskan. “ Bye, Ray.”


Bye, Ta.” Dia langsung berbalik dan mengayunkan langkah menjauh. 


Mataku tidak bisa lepas darinya meskipun Rayhan sudah menghilang bersama taksi yang membawanya pergi. Perasaan tidak rela karena kehilangan seketika muncul tanpa bisa aku cegah. Aku tahu, perasaan seperti ini tidak boleh ada. Hubungan kami sudah berakhir sejak enam bulan lalu. Dan aku yang memilih meninggalkannya. Seharusnya aku tidak perlu menyesalinya, kan?


“Siapa, Ta?” Aku tidak mendengar langkah kaki Petra. Tahu-tahu dia sudah berada di sampingku.


Aku menunduk dan dengan cepat mengusap pipi. “Orang tanya jalan, doang, kok.”

Lihat selengkapnya